Toko Romlah

1,075 kali dibaca

“Harga yang kami tawarkan sudah tertinggi di daerah ini Pak. Coba tanyakan kepada orang-orang yang Bapak kenal atau mungkin pejabat di kelurahan di sini. Harga yang kami tawarkan empat kali lipat dari harga normal,” kata Aldi, staf humas sebuah perusahaan swalayan waralaba.

“Aku tak berniat menjualnya. Walaupun kamu tawar tokoku seharga satu triliun,” timpal Yudis.

Advertisements

“Atau kami tawarkan Bapak sebagai investor swalayan yang hendak kami dirikan. Setiap bulannya Bapak akan mendapatkan tiga persen dari keuntungan perusahaan kami. Kakek akan mendapatkan uang semiliar, dan penghasilan sampai lima juta per bulan. Pengahasilan ini bisa naik jika omzet swalayan kami naik, dan bisa diwariskan selama swalayan yang kami kelola terus beroperasi.”

Sekali lagi kakek itu menolak dengan sangat tegas. “Apa pun yang perusahaan Anda tawarkan untuk toko saya, tidak akan kami terima.”

“Baik Kek, ini kartu nama saya. Jika Kakek ingin mengajukan persyaratan lain kepada perusahaan kami, silakan datang ke kantor kami atau bisa menelepon kami.”

Aldi berpamitan. Seketika anak-anak Yudis menuju ruang tamu.

“Kenapa Ayah masih mempertahankan toko ini? Tawaran mereka sudah terlalu tinggi, Yah.”

“Benar kata Mas Anto. Kemarin toko milik Pak Sul yang lebih besar dari kita hanya laku tiga ratus juta rupiah. Ayah juga mendapatkan bagi hasil lima juta per bulan. Itu sudah sangat tinggi, Yah,” kata Yui, anak kedua Yudis.

Tanpa perkataan, Yudis meninggalkan mereka. Ia menuju ke kamarnya. Ia pun menangis sambil mengeluarkan sebuah baju batik tua kemudian memeluknya erat.

***

Yudis teringat kenangan empat puluh tahun yang lalu ketika Mulyono, ayahnya, berpesan kepadanya agar menjaga Amalia setiap kali menyeberangi Sungai Brantas. Jangan sampai Lia bermain ke pinggir perahu tambang.

“Ayo kita naik perahu. Ingat Lia, jangan pernah melepaskan gandengan tanganku sampai kita melewati tanggul seberang sana!” perintah Yudis kepada adiknya. Lia mengangguk.

“Hari ini kita akan ke rumah Lik Lah. Nanti kita akan mendapatkan uang saku dan jajan yang banyak jika kamu mematuhiku. Jika kamu tidak patuh, Ayah pasti marah dan tidak mengajak kita ke sana.”

Yudis paham nambang1, menyeberangi sungai dengan perahu yang diikat dengan tali besi yang diikatkan dari tanggul sungai itu memang sangat berbahaya.

Sebenarnya banyak korban harta atau nyawa terjadi ketika para penduduk Keludan dan Papar melayang gara-gara mereka menyeberangi Brantas. Mereka tidak berdaya karena memang itulah cara satu-satunya masyarakat kedua desa itu bisa pergi pada tahun 1970-an.

“Alhamdulillah kita sudah sampai, Nak. Ayo naik ke boncengan,” perintah Sarni kepada kedua anaknya.

Yudis dibonceng oleh Mul, sedangkan Sari dibonceng oleh Sarni. Usai tiga puluh menit mereka mengayuh sepeda, meraka sampai ke rumah Lik Lah. Ia menyambut gembira ketika saudaranya dan para keponakannya datang ke rumahnya.

“Bu Lik…,” Lia menyapa Romlah.

“Aduh…, keponakanku yang cantik. Ayo salim dulu…. aku sudah menyiapkan permen.”

***

“Kakek melamun apa?” tanya Sulis, istri Yudis kepada suaminya.

“Aku hanya mengingat masa laluku bersama Lia. Kami selalu bergembira datang ke toko ini ketika masih menjadi milik Lik Lah. Setiap datang ke sini kami selalu diberi uang dan makan jajan sepuasnya.”

“Aku memahami maksudmu, Kek. Ketika kau mau melamarku waktu itu dengan uang tabunganmu, Lik Lah hendak menjual toko ini karena ada pengusaha yang menawarnya dengan harga tinggi. Kakeh malah memilih memakai uang lamaran untuk membeli toko. Akhirnya lamaran kita tertunda tiga tahun.”

“Toko ini bagiku adalah hal kedua yang paling berarti dalam kehidupanku. Banyak kenangan yang tak terlupa bersama keluargaku.”

“Mengapa tidak kauceritakan kepada Anto dan Yuli tentang alasan Kakek tidak mau menjual toko ini.”

***

Pada bulan Desember 1970, hujan sangat deras sejak asar hingga malam. Romlah melarang mereka pulang karena hujan sangat deras.

“Aku harus pulang malam ini, Dik Lah. Kemarin, aku sudah diminta oleh Pak Agus untuk membuat leding di sawahnya. Apalagi malam ini hujan deras, pasti kedelainya kebanjiran. Kalau tidak kukerjakan, besok pagi bisa gagal panen nanti kedelainya.”

“Jika begitu, istri dan anak-anakmu biarkan di sini. Bahaya kalau nambang1 malam-malam. Jalannya licin dan arus sungai makin deras,” pinta Romlah.

“Iya Mas, anak-anak sudah tidur masa kita bangunkan. Aku janji besok pukul 03.00 akan aku bangunkan Mas agar tidak telambat ke sawah,” rayu Sarni kepada Mulyono.

Karena rasa sayangnya kepada keluarganya, hati Mulyono luruh. Ia berniat mengajak pulang keluarganya dini hari nanti.

Suara Kabul yang sedang menyiapkan rengkek2 untuk berbelanja ke pasar membangunkan Sarni. Ia bergegas membangunkan Mulyono dan anak-anaknya untuk pulang. Suara gerimis kecil masih terdengar.

“Kami mau pamit pulang.”

“Brantas biasanya meluap kalau hujan deras. Bahaya lho untuk anak kecil. Apa nggak sebaiknya Mas saja yang pulang?”

“Aku ingin pulang bersama Bapak,” sahut Lia.

Romlah merayu Lia, tetapi mereka tetap besikukuh untuk pulang. Sarni dan Yudis terpaksa mengikuti kemauan Lia. Dini hari itu, mereka menuju tambangan3 yang sangat sepi.

“Tidak ada orang yang mengemudikan perahu.”

Air Brantas terlihat tinggi sampai menyentuh sesek2. Hati Mulyono dan Sarni menjadi kecut.

“Kita tunggu sebentar, semoga saja tukang tambangnya segera dating,” kata Mulyono kepada istrinya.

“Air sangat tinggi. Aku takut Pak, apa sebaiknya kita kembali saja?” kata Sarni kepada suaminya.

“Tenanglah, kita sudah berkali-kali menyeberangi sungai ini. Asal kita hati-hati pasti tidak akan terjadi apa-apa.”

Beberapa menit mereka menunggu, tukang tambang tidak kunjung datang. Hati Mulyono pun mulai tidak sabar.

“Aku akan mengemudikan perahu ini. Kamu jaga anak-anak.” Usai berkata, Mulyono menaikkan kedua sepedanya ke atas perahu.

“Ingat Lia, ini bukan tempat bermain. Pegang tanganku jangan sampai lepas!” perintah Yudis.

Lia hanya mengangguk. Sementara, Mulyono menahan perahu dengan bambu, Sarni melepaskan tambang yang terikat pada sesek. Dengan perlahan, Mulyono mengemudikan perahu. Beberapa menit kemudian mereka sampai di seberang sungai.

“Kamu turun dulu, Bu. Kemudian naikkan ke sesek, Yudis dan Lia!”

Sarni turun dari perahu, berdiri di atas sesek. Arus air deras menyebabkan perahu bergerak naik turun.

“Ayo kalian berdua lekas meloncat ke sini!”

Yudis dan Lia agak ragu meloncat karena goncangan perahu tidak seperti biasanya. Sarni bersiap meraih tubuh Yudis. Sebelum meloncat, Yudis berkata pada Lia,

“Aku meloncat dulu. Tapi jangan kau lepaskan tanganku.”

“Huum, Mas.”

Dengan keraguan, Yudis dan Lia meloncat bersamaan. Loncatan Lia tidak sejauh loncatan Yudis. Karena kaki Lia meleset, tubuhnya yang mungil terjatuh. Yudis memegang tangan Lia dengan erat, mencoba mengangkat Lia dari sungai. Sarni pun hanya mampu memegang tubuh Yudis yang terjatuh karena menahan Lia.

Mulyono yang panik, sontak melepaskan galah yang dipegangnya untuk membantu Yudis mengangkat adiknya ke sesek. Tetapi arus yang deras membuat Yudis tidak mampu menahan Lia lebih lama. Lia hanyut terbawa arus.

“Bu, kamu panggil warga desa untuk mencari bantuan!” Selepas berkata, Mulyono menceburkan dirinya ke sungai untuk mengejar Lia yang terbawa arus.

“Kamu tunggu di tanggul sini saja!” perintah Sarni kepada Yudis.

Terhihat Lia muncul di tengah sungai dan semakin menjauh dari tempat terjatuhnya. Mulyono berenang ke tengah sungai, sambil berpesan, “Nanti temui aku di toko Lik Lah, tunggu saja di sana!”

Yudis hanya melihat ayahnya yang kebingungan mencari Lia di ujung seberang sungai. Ayahnya berkali-kali berhenti untuk menarik napas sambil melepaskan tatapan tajamnya ke seluruh sungai tetapi tak ditemukannya. Yudis semakin takut ketika ayahnya terlihat kehabisan napas hingga timbul tenggelam di seberang sungai.

“Bapak…” Yudis berteriak ketika ayahnya sudah tidak muncul lagi.

Para warga mencari Mulyono dan Lia sampai beberapa hari kemudian, tetapi nihil.

***

Pada tahun 1983, Yudis setiap pulang kerja dari pasar Kertosono menyempatkan diri untuk berkunjung ke toko Lik Lah untuk meminta Lik Kabul melamarkan Sulis.

“Bagiamana kabar ibumu, Yud?” tanya Lik Kabul.

“Alhamdulillah sehat.”

Yudis masih sering ke toko Lik Lah.  Hatinya masih berharap Mulyono dan Amelia datang menemuinya di toko Lik Lah.

“Kamu mungkin tidak bisa menemuiku di toko ini lagi karena kami akan menjualnya.”

Hati Yudis terkejut mendengar ucapan pamannya. Ia khawatir akan kehilangan harapan bertemu Lia dan Ayahnya.

“Mengapa Pak Lik menjualnya?”

“Aku sudah renta, sudah tidak ada yang membantuku berjualan di toko ini.”

Semenjak Lik Lah meninggal, Lik Kabul telah kehilangan semangat bekerja di toko.

Catatan:

1Menyeberang sungai dengan perahu yang diikat dengan tambang dari tanggul satu ke tanggul lainnya.
2Keranjang dari dambu yang diletakan pada boncengan
3Pelabuhan perahu yang digunakan untuk nambang.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan