Tentang Tuhan, dan Apa-apa yang Belum Selesai

1,266 kali dibaca

Meski Ahsan sudah menyelami dunia pesantren hampir sepuluh tahun, ia masih tidak percaya dengan adanya Tuhan. Teman-temannya menyangka ia telah menjadi gila. Bahkan, tidak ada yang mau berteman dengannya karena mengaggap pemikirannya telah sesat. Padahal, ia sudah belajar ilmu soal agama dan tauhid, tidak ada yang lebih gila dari dirinya. Bagaimana ia masih berani bertanya soal Tuhan itu bentuknya seperti apa. Ahsan si gila, begitulah teman-teman memanggil dirinya.

Suatu sore saat liburan pesantren, Ahsan getol mengumpulkan buku-buku filsafat Barat yang ia beli di dekat pesantren. Hampir setiap hari ia membeli tiga sampai empat buku soal filsafat. Bahkan, ia pernah memborong semua buku di warung itu sampai pemilik warung heran. Buku-buku tersebut sebenarnya dikumpulkan untuk didonasikan ke taman baca. Namun karena kebutuhan ekonomi, pemilik toko mau tidak mau harus menjual buku-buku usang itu demi bertahan hidup.

Advertisements

Ahsan memang sedikit berbeda dari teman-temannya yang lain. Hanya ia yang punya tiga lemari berjejer berukuran 2×3 meter di kamarnya. Semuanya berisi buku-buku; satu lemari berisi buku-buku sains, satu lemari berisi kitab-kitab yang dipelajari di pesantren, satu lemari khusus untuk pakaian. Sore itu, ia sibuk merapikan buku-buku yang baru saja dibelinya.

“Gila ya, kamar ini semakin sempit sejak kau membeli lemari baru itu.”

“ Aku tidak membelinya, ini aku buat sendiri dari sisa-sisa lemari bekas.”

“Aku tidak pernah melihat kamu membuatnya, San.”

“Aku tidak perlu menunjukkan apa yang sudah aku lakukan, To.”

Atho hanya diam dan melihat temannya merapikan lemari-lemari buku itu. Pemandangan yang biasa ia lihat selama delapan tahun bersama Ahsan. Atho tahu kalau sahabatnya tersebut memang sudah gila dengan bacaan sejak mereka sama-sama sekolah di SMP. Barangkali, hanya Atho yang paling mengerti soal Ahsan.

“Apakah kamu tahu, To, mereka memanggil aku orang gila?”

Atho masih sibuk dengan kitab Syarah Hikam karya Ibnu Athaillah di tangannya. Lebih baik pura-pura tidak mendengar perkataan sahabatnya itu. Ia tahu percakapan itu akan menuju perdebatan kusir di antara mereka, dan tidak akan selesai. Seperti tahun-tahun yang sudah mereka lalui bersama.

“Apa kau sudah menjadi tuli karena banyak membaca kitab-kitab itu?”

“Jangan ngawur! Ini kitab soal nasihat-nasihat kehidupan.”

“Kalau begitu, kenapa kau pura-pura tuli, To? Apakah kitab itu memang mengajarkanmu seperti itu?”

Bagaimanapun, Atho harus menahan emosi karena guyonan Ahsan. Seperti biasanya, Ahsan memang jago provokasi lawan bicaranya. Tidak cukup dengan perkataan itu, ia mencoba menghampiri Atho yang duduk di pojok kamar sambil membawa Das Kapital. Tentu saja, Atho sudah paham apa yang akan sahabatnya lakukan: berbedat sampai mulut berbusa.

Untung saja, saat itu suasana kamar dan pesantren sedang sepi karena hari libur panjang sudah berjalan selama tiga hari. Mereka sama-sama duduk berhadapan, dengan kitabnya masing-masing. Ahsan mencoba keberuntungan dengan membawa kitab kiri, dan Atho mencoba menetralkan dengan kitab kuning.

“Apakah kau tahu Karl Max?”

“Apa kau tahu Ibnu Athaillah?”

“Tentu saja tahu, To. Kita kan sama-sama belajar kitabnya.”

“Bagus, kau masih ingat.”

“Tapi aku yakin kau tidak tahu Karl Max.”

“Tidak penting juga aku tahu siapa dia.”

Sontak Ahsan tertawa keras seperti biasa, sepeti sebuah ejekan.

“Kenapa kau harus tertawa soal sesuatu yang tidak aku tahu, San?”

Tatapan Atho jelas dengan penuh kejengkelan. Tanpa mempedulikan ucapan itu, Ahsan segera meletakkan bukunya dan mengambil kitab di tangan sahabanya. Dengan penuh kesopanan dan etika kepada semua ilmu, Ahsan meletakkan keduanya di atas lemari supaya tidak berada di bawah kaki. Hal itu membuat Atho sedikit kagum, namun tetap jengkel.

“Biasakan kita saling menghormati saat bicara, jangan sibuk sendiri.”

Dengan senang hati, Atho menerima permintaan sahabatnya untuk membicarakan yang mereka saja tidak tahu apa yang akan dikatakan. Dengan tatapan tajam, Atho mulai membuka pembicaraan yang sudah lama tidak mereka lakukan.

“Mereka menyebutmu gila, karena pikiranmu yang ngawur itu.”

“Ha-ha-ha, semua orang itu pada dasarnya gila, tapi mereka tidak menyadarinya.”

“Maksudnya gimana, San?” tanya Atho heran.

“Mereka menganggap aku gila, padahal mereka juga gila, karena telah mengaggap aku gila. Pada dasarnya, manusia punya kegilaan sendiri-sendiri. Ada yang gila karena cinta, ada yang gila karena harga, ada yang gila karena ilmu, ada yang gila karena merasa benar, dan kegilaan-kegilaan yang lain, To.”

Atho masih heran, “Yang aku tanya itu, kenapa mereka bilang kamu gila, bukan soal kegilaan orang-orang.”

“Aku tidak gila!”

“Memang, kamu itu tidak gila, tapi aneh.”

“Aneh dan gila sama saja, To.”

“Mereka menganggap kau gila sebab bacaanmu itu yang tidak wajar. Di pesantren kok kamu malah baca-baca buku kiri.”

“Lah, bisa saja yang mereka pelajari juga berhaluan kanan, kalau tidak dibarengi dengan pikiran yang waras.”

Perdebatan mereka soal kiri dan kanan berlangsung hampir tiga jam. Saling beradu teori yang ngawur, mereka tetap percaya diri dengan pendapatnya masing-masing.

“Begini, To, apa kamu tahu soal kisah tiga murid HOS Tjokroaminoto?”

“Aku tidak tertarik dengan kisah-kisah seperti itu.”

“Kamu harus tahu, ketiga muridnya itu punya haluan berbeda-beda meski satu guru. Satu jadi Komunis, satu jadi Islamis, satu jadi Nasionalis.”

“Apa hubungannya dengan percakapan kita?”

“Tentu saja kita harus sadar, meski kita tinggal di tempat yang sama, berguru di satu guru yang sama, tapi jalan kita tak perlu sama.”

“Baiklah, lagi pula aku tidak mau sama sepertimu.”

“ Ha-ha-ha, tetap saja, kamu tidak tahu Hegel, Marx, atau jangan-jangan kamu juga tidak tahu Tan Malaka. Heh?”

“Tahulah, Bapak Republik yang terlupakan. Meski aku tak paham soal pergerakan kemerdekaan, tapi aku tahu siapa Tan Malaka.”

Obrolan mereka berakhir setelah azan maghrib memanggil. Atho, yang lebih banyak belajar soal ilmu-ilmu agama sangat paham maksud sahabatnya, Ahsan. Bahwa setiap pendapat harus dihargai dan mereka tak harus selalu sama. Namun, tetap bisa memegang sendi-sendi yang sudah diajarkan di pesantren, apa pun pilihan jalan hidupnya. Tentu saja, meski Atho pernah mendengar Ahsan bertanya soal Tuhan itu siapa, hal itu ditujukan hanya untuk mengetahui respons teman-teman yang lain bila mereka berhadapan dengan orang yang masih mencari Tuhan akan seperti apa.

Sambil berjalan menuju masjid, Atho masih sempat berguyon dengan Ahsan.

“Apakah kau masih ingat Tuhan? Padahal tempo hari kau masih bertanya soal Tuhan itu siapa?”

“Kamu ini, To, tentu saja aku masih hapal jalan pulang.”

“Maksudmu, mereka masih bingung tentang Tuhan, dan apa-apa yang belum selesai?”

“Begitulah manusia, banyak yang belum selesai dengan dirinya masing-masing.”

Gesekan sendal mereka terdengar begitu romantis saat berjalan menuju masjid, dengan kesunyian, keharmonisan. Meskipun Ahsan disebut orang gila, sejatinya dia paham, bahwa dalam agama tidak semuanya harus masuk akal. Ada beberapa hal cukup untuk diyakini dan diimani. Sebab, jika semua harus masuk akal, tak ada bedanya agama dan sains.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan