Tentang Tuhan, dan Apa-apa yang Belum Selesai

1,223 kali dibaca

Meski Ahsan sudah menyelami dunia pesantren hampir sepuluh tahun, ia masih tidak percaya dengan adanya Tuhan. Teman-temannya menyangka ia telah menjadi gila. Bahkan, tidak ada yang mau berteman dengannya karena mengaggap pemikirannya telah sesat. Padahal, ia sudah belajar ilmu soal agama dan tauhid, tidak ada yang lebih gila dari dirinya. Bagaimana ia masih berani bertanya soal Tuhan itu bentuknya seperti apa. Ahsan si gila, begitulah teman-teman memanggil dirinya.

Suatu sore saat liburan pesantren, Ahsan getol mengumpulkan buku-buku filsafat Barat yang ia beli di dekat pesantren. Hampir setiap hari ia membeli tiga sampai empat buku soal filsafat. Bahkan, ia pernah memborong semua buku di warung itu sampai pemilik warung heran. Buku-buku tersebut sebenarnya dikumpulkan untuk didonasikan ke taman baca. Namun karena kebutuhan ekonomi, pemilik toko mau tidak mau harus menjual buku-buku usang itu demi bertahan hidup.

Advertisements

Ahsan memang sedikit berbeda dari teman-temannya yang lain. Hanya ia yang punya tiga lemari berjejer berukuran 2×3 meter di kamarnya. Semuanya berisi buku-buku; satu lemari berisi buku-buku sains, satu lemari berisi kitab-kitab yang dipelajari di pesantren, satu lemari khusus untuk pakaian. Sore itu, ia sibuk merapikan buku-buku yang baru saja dibelinya.

“Gila ya, kamar ini semakin sempit sejak kau membeli lemari baru itu.”

“ Aku tidak membelinya, ini aku buat sendiri dari sisa-sisa lemari bekas.”

“Aku tidak pernah melihat kamu membuatnya, San.”

“Aku tidak perlu menunjukkan apa yang sudah aku lakukan, To.”

Atho hanya diam dan melihat temannya merapikan lemari-lemari buku itu. Pemandangan yang biasa ia lihat selama delapan tahun bersama Ahsan. Atho tahu kalau sahabatnya tersebut memang sudah gila dengan bacaan sejak mereka sama-sama sekolah di SMP. Barangkali, hanya Atho yang paling mengerti soal Ahsan.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan