Tasbih Umi

2,998 kali dibaca

“Du, Badu…!”

“Iya Mi?”

Advertisements

“Lihat tasbih Umi nggak?”

“Lah, bukannya di cantolan kamar.”

“Itu kan yang biasa. Yang elektronik itu loh. Yang kecil.”

Badu tak tahu menahu soal letak tasbih itu. Bentuknya memang cukup kecil, dan berwarna gelap. Sengaja dipilih warna itu agar tak terlalu mencuri perhatian. Umi tak mau bila dia disangka orang alim karena ke mana-mana membawa tasbih. Meskipun, di sisi lain hatinya, dia juga tak peduli apa kata orang. Karena, menurutnya, bila ibadah ikut apa kata orang, tak akan ada habisnya. Cukup meyakini apa yang telah dipelajari. Lalu mengamalkannya.

Siang itu si Badu tak tenang. PR fisikanya mangkrak di atas meja belajar. Ps3 yang sedang diputar untuk mengusir kejenuhannya tetap pada tombol pause. Melihat Umi-nya mondar mandir gelisah, ia tak tega. Terlebih mentari sudah hampir berubah mega. Tapi tanpa tasbih itu, ashar yang dilaksanakan tak akan setenang biasanya. Pikirannya akan melayang menuju setiap sela kecil di antara perabotan, di seluruh penjuru griya mereka.

Umi memang pelupa. Sudah berapa kali tasbih lamanya, yang model biasa, hilang entak ke mana. Tapi Umi tak mau ambil pusing. Dia lantas membeli yang baru. Berbeda dengan yang satu ini. Pernah sekali dia terlupa, hingga malam lantas mencarinya. Bahkan, Badu yang tak salah apa-apa terkena omelannya. Padahal, pemuda bau kencur itu menonton acara kesukaannya di tv, sembari tak henti mengunyah cemilan.

“Kamu tuh Du, kalo orang lagi kesusahan coba bantulah.”

“Udah Mi,” jawabnya singkat.

“Bantu apa!? Kamu cuma ngunyah makanan sambil nonton debat politik.”

“Bantu doa,” canda Badu.

Umi yang geram lantas melangkahkan kaki. Mencubit pipi anaknya itu dengan gemas. Tapi sekarang berbeda. Umi-nya tak marah, tapi hanya menekuk muka sembari terus mencari di setiap sudut rumah. Tak tega dengan peluh Umi yang mula bercucuran. Juga bau kecutnya yang tak tertahan. Karena belum mandi setelah beres-beres rumah dan juga mencari tasbih elektronik tadi. Badu seakan lupa dengan keasyikan PS dan keruwetan PR fisikanya.

Mungkin itu karena peninggalan sang Abah. Saat menyerahkannya pada Umi bar angka terlihat 9998. Satu angka lagi menuju angka maksimal. Lalu Abah menyerahkannya sembari berkata “lengkapi satu lagi, seperti dirimu denganku.”

“Berarti saya hanya berarti satu bagi akang?”

“Iya…”

“Berarti cuma sekecil itu?”

“Iya, memang sekecil itu,” kata Umi pasrah.

“…Tapi cuma satu-satunya. Dan yang paling berarti untuk melengkapi,” lantas senyumnya kembali.

***

Itu yang dikatakan Abah pada Umi sebelum meninggalkan kami. Tepat beberapa hari setelah tasbih itu berpindah tangan. Dan Umi tak pernah melepaskannya lagi. Atau menggantinya dengan yang lain.

Mereka tak berhenti mencari. Badu mengingatkan Umi untuk salat ashar terlebih dulu. Jarum di jam dinding menunjuk antara angka 3 dan 4. Tapi menurut Umi-nya masih ada waktu. Di sela itu Badu bertanya kenapa tak bisa salat sebelum tasbih itu ketemu. Bukankah kewajiban itu antara keterpautan hati dan sang pencipta. Bukan masalah lain.

“Tapi urusan dunia juga harus selesai Du. Biar gak kepikiran pas ketemu (Tuhan).”

“Coba kamu ke rumah Laras, ketemu orang tuanya, tapi PR-mu belum selesai. Apa kamu nyaman ngomong dengan beliau.”

“Iya sudah,” Badu selalu kalah debat dengan Umi-nya. Mungkin itu salah satu alasannya menyukai acara debat di televisi.

Mau tak mau mereka harus menyisir seluruh rumah. Umi sedari pagi memang sudah meratai daerah kekuasaannya itu. Dari mulai bebersih rumah, mencuci, dan menyiram kebun depan dan belakang dan lain sebagainya. Memang makhluk Tuhan yang bernama wanita itu seakan diciptakan lengkap. Beserta dengan keindahan parasnya. Mereka bisa menjelma ibu yang mengurus anak-anaknya. Berubah menjadi kekasih bila bersanding dengan suaminya. Dan kadang bertingkah layaknya anak kecil bila sedang ingin dimanja. Itu tak bisa dimungkiri. Mereka diciptakan sempurna dan juga sebagai penyempurna dunia. Bisa menjadi berbagai hal yang dibutuhkan.

Ashar surah hampir surup. Tinggal beberapa menit lagi. Dan tasbih itu masih belum menampakkan diri. Di mana sebenarnya wujudnya berada. Tak lama ada yang mengetuk pintu. Ternyata seorang tetangga datang dengan membawa buah tangan dari desa. Umi menjamunya sebentar, sekadar ingin menyuguhkan minum dan bercakap. Sedang Badu dengan gigihnya tak berhenti mencari. Sampai letih pikirnya mencari satu barang kecil warisan bapaknya itu.

Dengan menyandarkan badan di kursi, setelah sang tetangga pergi, sekilas dia memandang Umi-nya yang sedang membereskan bekas minuman mereka. Tangan Umi yang sedikit menggenggam sembari mengangkat nampan membuat ujung alis Badu mengkerut. Dia akhirnya membuntuti ibunya itu ke dapur.

“Umi…”

“Iya? Sudah ketemu tasbih Umi?”

“Sebentar,” Badu menangkap satu tang Umi-nya.

“Ini apa?”

“Masyaallah!!”

Pemuda itu menggeleng kepala dan menyuruh Umi-nya segera mandi dan salat. Tasbihnya tak pernah ke mana-mana. Dia menetap di jari manis ibunya tanpa disadari. Dan saat itu juga  angkanya tak berhenti bergerak. Tapi Badu lega, dia berharap dirinya bisa seperti itu. Kebaikan yang dilakukannya terjadi tanpa sengaja. Sehingga dirinya tak mengungkit apa pun dari itu. Bahkan kepada Tuhannya dengan sekadar meminta pahala.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan