Tanah Samping Musala

872 kali dibaca

Suara bebek-bebek Pak Rahmat menebar masuk ke setiap celah-celah rumah sekitar jalan yang menuju sawah. Pak Rahmat membawa tongkat bambu dengan kain berbentuk pita di ujung tongkat. Pak Rahmat menggiring bebek-bebeknya memasuki sawah bekas tanaman padi. Sudah tiga bulan ia mencoba peruntungan beternak bebek. Tiga bulan lalu jumlah bebeknya cuma delapan ekor. Sekarang sudah seratus lebih.

Pak Rahmat memang bertangan dingin. Sebelumnya, ia bekerja pada Pak Haji Romli sebagai pengurus ternak dan sawahnya. Semua ternak dan sawah yang digarapnya pasti berhasil. Baru tiga bulan ini Pak Rahmat memutuskan untuk mundur guna mencoba peruntungan baru sebagai peternak bebek.

Advertisements

“Kenapa kamu tidak mau bekerja lagi kepadaku? Apa kamu ingin minta naik upah?”

“Bukan masalah itu Pak Haji. Upah sudah lebih dari cukup. Saya sudah bisa merenovasi rumah dan menabung dari upah yang Bapak berikan. Istri saya ingin saya lebih punya waktu luang untuknya.”

“Lantas kamu mau bekerja apa, Pak Mat?”

“Kami berencana beternak kecil-kecilan dan melanjutkan usaha kebun sayur lahan belakang rumah.”

“Baiklah, kalau kamu butuh pekerjaan sebagai mandor. Kamu boleh datang lagi ke sini.”

Pak Rahmat menjabat tangan Pak Haji, kakinya diayunkan melangkah pulang.

***

Suara adzan salat Jumat memanggil para mutaqin mengisi masjid. Kali ini Pak Rahmat datang terlambat karena ada enam ekor bebek yang masih tertinggal di sawah. Pekerjaan awal sebagai peternak bebek membuatnya belum mahir menggiring bebek-bebek pulang ke rumah. Ketika Pak Rahmat sampai di masjid ternyata khutbah Jumat akan berakhir.

“Yang terakhir, membangun masjid ikhlas karena Allah. Rasul Saw bersabda:

مَنْ بَنَى لِلَّهِ مَسْجِدًا بَنَى اللَّهُ لَهُ مِثْلَهُ فِي الْجَنَّةِ

Siapa yang membangun masjid karena Allah, maka Allah bangunkan baginya (rumah) seperti itu pula di surga.

Demikianlah khutbah ini, semoga Allah menolong kita untuk melakukan berbagai amal ibadah di atas dan juga amal ibadah lainnya, agar rumah dan istana impian kita di surga dapat terwujud. Dan semoga Allah berkenan menghimpunkan kita di syurga Firdaus yang paling tinggi bersama Rasul Saw, para sidiqin, syuhadak, dan salihin sebagaiman Allah himpun kita di siang hari ini. Allahumma amin…

بارك الله لي ولكم في القرآن العظيم ونفعني وإياكم بما فيه من الآيات و الذكر الحكيم أقول قولي هذا وأستغفر الله لي ولكم إنه تعالى جواد كريم ملك رؤوف رحيم إنه هو السميع العليم ……”

Seusai salat Jumat, Pak Rahmat berjanji akan melaksanakan perintah Allah yang telah disampaikan dalam khutbah hari ini sebagai tebusan karena datang terlambat. Seumur hidup, baru kali ini Pak Rahmat datang terlambat. Sebagai rasa penyesalannya dia berjanji jika akan menyisihkan uang kala sempit atau pun lapang.

***

Seribu lebih ekor bebek yang ada di pekarangan yang bekeliaran di belakang rumah mengeleter. Seakan mereka ingin dilepaskan dari kandang. Digembala di lumpur di rawa-rawa dekat sungai. Geleter bebek tidak digubris oleh Pak Rahmat karena panggilan ilahi mulai bersuara.

“Bu, bangunkan Toriq. Sebentar lagi iqamat.”

“Baik Pak, nanti sarapan apa?”

“Alah, sekenanya. Setiap masakanmu pasti terenak yang pernah kutemui.”

“Ah, masa?” sahut Umi yang tering senyum.

“Bener Bu. Kapan aku suka makan di warung?”

Senyum Umi semakin lebar. Dilangkahkan kakinya menuju kamar Toriq. Kemudian ia menepuk-nepuk bahu Toriq.

“Riq, bangun, ayahmu menunggumu untuk berjamaah di musala.”

“Iya Bu.”

Toriq membuka matanya. Ia mengumpulkan kesadarannya. Kemudian Umi keluar, melanjutkan membalik tempe yang digorengnya tadi. Tak berselang lama Toriq keluar kamar dengan memakai sarung dan kopyah coklatnya.

Setelah semua siap, mereka berdua menuju ke Musala Al-Mudzakir, sebuah musala kecil yang berjarak seratus meteran sebelah barat rumah.

“Nanti kamu pulang dulu saja, Riq. Terus kamu bawa bebek-bebek ke rawa pinggir sungai.”

“Bapak tidak membantu saya?”

“Aku masih ada perlu sama Mbah Usup. Setelah sampai di rawa tunggu sampai jam 5.30 ya? Jika aku belum datang, kamu tinggal saja.”

“Baik Pak.”

Ketika sampai di musala, mereka pun bersalaman dengan orang-orang. Setelah itu, mereka menjalankan salat qobliah subuh. Setelah dirasa para jamaah lengkap dan siap, Mbah Usup memberi sebuah tepukan, yang menandakan bahwa salat subuh siap didirikan.

Usai menunaikan salat subuh, Pak Rahmat sengaja tidak pulang. Ia berniat membicarakan tentang tanah Pak Sarjan yang terletak di sebelah timur Musala Al-Mudzakir.

“Assalamuaikum Mbah!”

“Waalaikumsalam, Pak Mat. Bagaimana kabar Bapak?”

“Alhamdulillah Baik Mbah. Mbah juga sehat?”

“Alhamdulillah. Mari masuk ke rumah dulu. Kelihatannya ingin mengobrol peting”

“Ya Mbah.”

Mbah Usup menuju rumah yang berdempet dengan musala. Dibukalah pintu depan rumah, kemudian menuju ke bagian belakang rumah.

“Mbah Tri, buatkan kopi untuk Pak Ramat.”

“Ya, Mbah Kung,” jawab istri Mbah Usup.

“Tidak perlu repot Mbah Sup. Saya ke sini cuma sebentar, tidak ingin merepotkan Mbah Rof.”

“Tidak repot, biasanya saya jam segini juga ngopi. Ada perlu apa kelihatannya penting sekali, sampai-sampai meninggalkan pekerjaan mengangon bebek.”

“Begini Mbah, minggu lalu, para jamaah rutinan tahlil berencana memperluas Musala Al-Mudzakir. Saya melihat murid mengaji juga berkeliling untuk mengumpulkan infak. Apa sudah cukup dananya?”

Mbah Usup berjongkok mencari-cari rekapan infak yang sudah dikumpulkan selama seminggu. Mbah Rof datang membawakan kopi dan tahu goring, lalu diletakkan di meja kayu berpelitur coklat.

“Monggo diminum dulu kopinya, Pak!”

“Inggih Mbah.”

Mbah Usup menarik sebuah buku tulis lalu diletakan di meja. Tangannya meraih gelas kopi.

“Ayo diminum Pak,” dituanglah kopi ke atas lapik, dan Pak Rahmat pun mengikutinya. Senyampang menunggu dingin tangangnya meraih kacamata.

“Ini Pak Mat, kemarin saya sudah menemui Pak Jan. Dia menawarkan tanah 10 ru miliknya seharga Rp 30 juta. Sementara dana yang sudah terkupul dari kotak infak keliling ditambah kas musala Rp 9.765.000. Pemerintah desa membatu Rp 10 juta. Masjid Sabilul Jannah, masjid desa kita, membantu Rp 5 juta. Masih kurang 3.235.000, Pak?”

“Wah terlambat saya berinfak. Ini, Pak, semoga bisa menjadi tambahan melunasi tanah wakaf.”

Setelah menyerahkan amplop, mereka berdua menyeruput kopi yang telah dituang di lepek.

***

Saat sore hari terdengar toa Musala Al-Mudzakir. Bukan mengumandangkan adzan, tetapi mengabarkan kabar duka.

“Assalaikum wa rahmatullahi wa barakatuh. Innalillahi wa inailaihi rajiun, Innalillahi wa inailaihi rajiun, Innalillahi wa inailaihi rajiun. Pak Sarjan telah meninggal dunia. Saya ulangi lagi Pak Sarjan meninggal dunia.”

Para tetangga pun bergegas menuju ke rumah Pak Jan untuk melayat. Pak Ramat dan Bu Umi juga datang melayat. Bu Um mengikuti pelayat perempuan. Ada kelesikan dari para pelayat.

“Pak Jan, meninggal akibat serangan jantung ya?”

“Iya menurut keluarga seperti itu,” cetetuk Bu Reni.

“Apa bener tanah timur musala itu tidak jadi dijual kepada musala keluarga Pak Jan?”

“Benar, Bu Eka. Yang berencana membeli itu Pak Yat, sepupuku. Waktu mau beli saya kasih tahu jika tanah itu akan dipakai musala.”

“Lalu bagaimana tanggapan Pak Yat?” sahut Bu Nar.

“Dia bilang tapi ‘Aku sudah telanjur berjanji menemui Roni’. Lalu kusarankan agar menanyakan kepada Mbah Usup sebelum membeli agar Pak Yat tidak kualat nantinya.”

Bu Umi sengaja menutup kedua telingnya, ia takut nanti telingganya dimintai pertanggung jawaban di akhirat. Tapi, soal berita itu telah menarik hatinya karena berkait dengan suaminya meminta izin menginfakkan seluruh uang tabungannya untuk memperluas musala.

***

Di rumah Pak Usup dudu melingkar Pak Katno, Bu Sarjan, Roni, Mbah Usup, dan Pak Rahmat. Pak Katno, kepala dusun, berniat menyelesaikan masalah dengan hati dingin.

“Assalaikum wa rahmatullahi wa barakatuh, Bapak-Ibu. Saya selaku kepala dusun akan memediasi permasalahan tanah Pak Sarjan yang rencananya akan dibeli oleh Musala Al-Mudzakir.”

“Waalaikumsalam wa rahmatullahi wa barakatuh,” semua orang menjawab.

“Baiklah, berdasarkan pertemuan dua satu setengah bulan yang lalu, Pak Sarjan dan Takmir musala bahwa Pak Sarjan telah bersepakat menjual tanah di timur musala seharga Rp 30 juta. Apa ada pihak keluarga yang keberatan?” Pak Katno bertanya sambil melemparkan tatapan kepada semua orang.

“Saya, Roni selaku anak keberatan Pak. Harga itu terlalu murah. Seharusnya harga tanah di daerah sini harganya sudah Rp 5 juta per ru. Jika dihargai hanya Rp 3 juta, apakah wajar?”

“Begini, Dik Roni. Dulu Pak Sarjan itu menjual dengan harga Rp 3 juta pr ru dengan pertimbangan ingin menginfakkan selisih harganya ke musala. Niatnya agar menjadi amal jariyah beliau dan keluarganya. Sebenarnya beliau juga ingin menyumbang dana juga untuk keperluan pembelian bahan bangunan musala. Tetapi karena dirasa merepotkan karena harus menjual lagi sebagian tanah tersebut, maka dinfakkanlah semua tanah timur musala untuk kepentingan musala dan TPA Al-Mudzakir.”

Roni masih berkeras hati. Penjelasan apa pun yang diucapkan Mbah Usup tidak mempan. Ia ingin agar tanah tersebut dijual dengan harga wajar. Akhirnya Pak Rahmat pun memohon izin bersuara,

“Saya mempunyai jalan tengah. Dik Roni ingin tanah tersebut dijual dengan harga Rp 50 juta. Saya mohon kepada Mbah Usup dan Pak Kasun untuk mengizinkan saya membanyar sisanya?”

Pernyataan Pak Rahmat membuat seluruh ruang menjadi hening sekejap. Semua orang berandai-andai atas pernyataan yang terlontar dari mulut Pak Rahmat.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan