Filosofi Sarung

9,146 kali dibaca

Pada zaman baheula, setidaknya saat saya masih nyantri di Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, era 1980-an, sarung menjadi identitas dan entitas para santri. Saat itu, bisa dikatakan jarang atau tidak ada santri yang beraktivitas tanpa menggunakan sarung. Apalagi kalau mau berangkat ke sekolah. Dapat dipastikan semua santri memakai sarung. Celana hanya dipakai pada saat olah raga, pramuka, dan ketika ada ujian dari Departemen Agama.

Sarung adalah khas pakaian (bawah) Nusantara, khususnya Madura. Di pulau garam ini, dalam setiap aktivitas selalu memakai sarung. Dari kegiatan formal, semisal menghadiri undangan, maupun aktivitas keseharian, umpama membajak sawah atau mencangkul di ladang. Masyarakat Pulau Madura ini tidak akan lepas dari sarung. Biasanya pada saat bekerja, keberadaan sarung hanya nempel di badan, diikat di pinggang atau diselempang di bahu.

Advertisements

Sebenarnya, sarung bukan hanya milik orang Madura atau Jawa. Di daerah lainnya, seperti di Sunda, Aceh, dan lainnya juga memakai sarung, meski dengan atribut penggunaan yang berbeda. Itu artinya, di Indonesia sarung bukan sesuatu yang baru, namun telah menjadi ciri khas suatu bangsa.

Entitas Fisik

Dalam suatu keterangan, sejarah keberadaan sarung dimulai sejak abad ke-14, dibawa oleh pedagang Arab dan India (artikel Ariska PA, di Kompas, 10/08/2018). Sejak saat itu identitas sarung menjadi entitas keseharian orang Indonesai. Dalam setiap gerak aktivitas masyarakat tidak lepas dengan pakaian yang sangat sederhana ini.

Secara fisik, sarung merupakan sepotong kain lebar yang dijahit pada kedua sisinya sehingga berbentuk seperti pipa/tabung. Ini adalah arti dasar dari sarung yang berlaku di Indonesia atau tempat-tempat sekawasan. Dalam pengertian busana internasional, sarung (sarong) berarti sepotong kain lebar yang pemakaiannya dibebatkan pada pinggang untuk menutup bagian bawah tubuh (pinggang ke bawah).

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan