Tāj al-Muslimīn, Tafsir Pesisir dan Tradisi Kritisisme

439 kali dibaca

Nama lengkap kitab ini adalah Tāj al-Muslimīn min Kalāmi Rabbi al’Ālamīn, tapi populer dengan sebutan Tafsir Tāj al-Muslimīn. Ia merupakan kitab tafsir berbahasa Jawa dan beraksara Pegon karya KH Misbah Mustofa.

KH Misbah Mustofa merupakan seorang kiai yang terbilang yang aktif menulis. Kitab karyanya terhitung lebih dari seratus, baik itu berupa terjemahan atau gagasan sendiri.

Advertisements

Menurut Islah Gusmian, Kiai Misbah Mustofa menulis tafsir Tāj al-Muslimīn berkaitan dengan hilangnya beberapa teks kritikan dalam tafsirnya sebelumnya, yaitu Tafsīr al-Iklil (30 juz). Tāj al-Muslimīn ini ditulis sejak 1987 M, namun hanya sampai juz 4. Sebelum kitab selesai ditulis, Kiai Misbah wafat pada 18 April 1994 M.

Sementara, dalam mukadimah tertulis, kitab ini ditulis atas hilangnya minat belajar agama di kalangan masyarakat dengan tidak membaca langsung kitab-kitab yang tersedia dan hanya memilih ikut-ikutan kiai atau intelek yang pada faktanya belum bisa diikuti. Maka dari itu tafsir ini ditulis dengan bahasa lokal dan diberi judul Tāj al-Muslimīn atau mahkota orang Islam. Kitan ini pun ditulis dengan bahasa lokal, sesuai dengan lingkungan Jawa, utamanya sekitar Tuban.

Tuban sendiri adalah daerah pesisir yang menurut Nur Syam banyak dihuni masyarakat yang cenderung menjadikan syariat Islam sebagai acuan baku serta berafiliasi pada santri atau kaum Islam jawa yang taat. Sementara, Reza Pratama mengatakan, tafsir ini berideologi puritan dengan nuansa kritisisme. Sebab, secara historis, tafsir ini lahir di antara ideologi kaum santri dan masyarakat Jawa pesisir sebagai affective history mufassīr.

Berdasarkan penelitian, tafsir ini dinyatakan bersistematika runtut mushaf, disajikan dengan variasi bentuk global dan terperinci dengan gaya bahasa reportase atau mendekatkan pembaca. Tafsir yang ditulis secara individu dan non-ilmiah ini lebih banyak merujuk pada kitab-kitab klasik, seperti  Tafsīr al-Qurṭubī, Tafsīr Ibnu Kathir, Tafsīr al-Khazīn, termasuk al-Furūq karya Imām Qarafī.

Penafsiran ayat dilakukan dengan mendialogkan dua budaya, yakni budaya yang mengitari teks Al-Qur’an dan yang terjadi di lingkungannya. Tepat setelah terjemah gandul dan aksara pegon dalam tradisi pesantren, disusul penjelasan tafsiriah sesuai nomor ayat. Sehingga, kitab ini tergolong tafsir dengan ciri analisis dengan metode pemikiran atau ilmiah dengan pendekatan kontekstual atau penyesuaian dengan konteks budaya mufasīr dan audien yang dituju.

Jadi, selain bahasa dan aksara pegon, respons problematika dan kritik sosial di dalamnya juga menjadi karakteristik tersendiri dari tafsir ini, yakni dalam upaya pribumisasi dan relevansi Al-Qur’an dengan zaman. Misalnya, kritik Kiai Misbah terhadap penggunaan pengeras suara yang menurutnya tidak perlu dilakukan dalam berzikir dan berdoa. Ia merujuk pada QS. al-A‘rāf [7]: 55 yang berisi anjuran untuk berdoa dengan rendah hati dan suara samar-samar.

Memang, di Indonesia perdebatan tentang speaker bukan hanya terjadi pada tahun-tahun belakangan, melainkan sudah terjadi sejak tahun 1970-an. Seperti perbedaan pendapat AM Fatwa dalam Kompas edisi 12 Januari 1977 M dan Kafrawi MA  dalam Kompas edisi 30 Mei 1978 M, atau surat edaran hasil musyawarah Ulama DKI pada tahun 1973 M.

Kritik Kiai Misbah lain juga berkaitan dengan tradisi dan budaya erat Jawa, misalnya tahlilan, manaqiban, tumpeng, nogo dino, kritik terhadap bank, okultisme, sihir, perdukunan, bias persepsi dalam tarekat dan semacamnya. Unsur-unsur lokal ini sekaligus juga menjadi aspek lokalitas tafsir yang menjadi bukti bahwa tafsir yang ditulisnya tidak lahir dari ruang hampa, namun berdialektika dengan lingkungan sekitarnya.

Namun, hemat penulis, penyematan puritanisme terhadap tafsir ini sebagaimana dikatakan Reza Pratama perlu dikoreksi kembali. Lebih-lebih, hari ini kata puritan lebih cenderung pada eksklusif atau kelompok yang mengklaim sebagai pewaris tunggal kebenaran dan lainnya kurang Islami atau bahkan kafir sebagaimana menurut Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam Ilusi Negara Islam.

Apa yang ditulis Kiai Misbah, menurut penulis, tidak lain lebih banyak bersinggungan dengan masalah khilafiah yang sudah tentu ada sejak dulu dan sama-sama memiliki dasar yang kuat; sebagaimana soal speaker, ada yang bilang boleh dalam syiar dan makruh sebab tidak ada dalil.

Contoh lain dalam soal tarekat, di mana banyak ahli tarekat yang tidak cukup kuat mengerti manfaatnya sehingga mereka berkeyakinan ketika ikut tarekat tidak akan diganggu setan dan zikir tanpa ijazah tidak sah. Masalah ini menurut Kiai Misbah merupakan keyakinan yang tidak ada dasarnya. Sebab, setan sejatinya diciptakan untuk menjadi pengganggu dengan tujuan agar manusia pintar dan terus memperkuat imannya (Tāj al-Muslimīn, 2:406-526).

Demikian, sebab ia tidak semerta mengkritisi tradisi yang ada, melainkan lebih pada hal-hal yang berpotensi syirik dan menyimpang dari syariat. Seperti, ia memperbolehkan suwukan dan azimat tanpa syirik, namun tegas melarang sihir. Juga penetapan waktu tahlil, bukan pada tradisinya. Sama halnya dengan tumpengan dan nogo dino, objek kritiknya adalah taqlid a’ma atau keyakinan buta atau mengikuti arus tanpa dipikir terlebih dahulu dan tahu tujuan dan dasarnya. Menurutnya, setiap pengukuran harus diuji “كل مدع ممتحن”, dan dari teks ini jelas ini mengajak pembacanya untuk berpikir lebih independen dan kreatif (Tāj al-Muslimīn, 2:528).

Referensi

  1. Islah Gusmian, “K.H. Misbah Bin Zainul Mustofa (1916-1994 M): Pemikir dan Penulis Teks keagamaan dari Pesantren”. Lektur, Vol. 14, No. 1, 2016.
  2. Ahmad Muqoddas Zamzami, “Karakteristik Tafsir Jawa: Studi Terhadap Tafsir Tāj al-Muslimīn Min Kalāmi Rabbi Al’ālamīn Karya K.H. Misbah Mustofa”. Skripsi di STAI Al Anwar Sarang Rembang, 2022.
  3. Maymun, Ahmad. “Tafsir al-Qur’an Sebagai Kritik Sosial: Studi Terhadap Tāj al-Muslimīn min Kalāmi Rabbi al’Ālamīn Karya KH. Misbah Mustofa”. Skripsi di Institut PTIQ, Jakarta, 2020.
  4. Aunillah Reza Pratama, Ideologi Puritan Dalam Tafsir Jawa Pesisir: Kajian Terhadap Penafsiran Misbah Mustofa, Mutawatir,Vol. 9 No. 2 (2019).
  5. Mustofa, Misbah. Tāj al-Muslimīn min Kalāmi Rabbi al’Ālamīn. Bangilan: Majlis Ta’lif wa al-Khatat, 1990.
Multi-Page

Tinggalkan Balasan