Tafsir Kontekstual, Mencari Solusi dari Al-Qur’an

362 kali dibaca

Agama di satu sisi mencakup peribadatan mahdlah > yang hanya mengurusi urusan dalam (ruhani kita) berinterkasi dengan Tuhan. Di sisi yang lain, juga mencakup ibadah ghairu mahdlahyang juga mengurusi urusan luar (badaniyah) kita (dengan makhluk lain).

Singkatnya, yang pertama yakni, mengurusi perihal ketuhanan. Sedangkan, yang kedua, mengurusi perihal kemanusiaan. Namun, tidak dapat dinafikan pula sisi ketuhanan pada taraf yang kedua.

Advertisements

Namun, selama ini, yang diketahui banyak orang ialah, yang disebut ibadah hanya yang pertama saja, yang kedua tidak. Hal itu cukup kentara jika kita pernah mendengar pengurus masjid melaporkan jumlah infak yang mencapai jutaan hingga puluhan juta rupiah di hadapan jamaahnya. Padahal, di sekeliling masjid terdapat banyak anak yang tidak sekolah karena mahalnya biaya, para pemuda yang kehilangan pekerjaan karena maraknya PHK, janda tua yang kesusahan menafkahi anak-anaknya.

Dari situ, diketahui ada gap pemahaman antara yang pertama dan kedua. Kita tidak menafikan kebaikan yang memberi infak pada masjid. Namun, perlunya pemahaman pula bahwa memberi terhadap sesama itu juga termasuk ibadah. Jika hal tersebut tidak diupayakan, menjadi barang wajar jika Barat terus saja memberi label negatif pada muslim.

Pada mulanya, Nabi Muhammad sebagai penerima wahyu Al-Qur`an merupakan seorang hakim tunggal yang dihadapkan pada persoalan-persoalan umat manusia. Jika umat mengalami kesusahan dan kebingunan, maka umat akan mencari titik terang pada Nabi Muhammad, seketika itu pun Nabi langsung akan menyampaikan suatu wahyu. Namun, setelah sang penerima wahyu wafat, umat merasakan kegelisihan dan sulit menemukan titik terang.

Dalam dunia tafsir Al-Qur`an pun, sisi teologis memang menemukan kiprahnya sejak generasi awal hingga terakhir. Namun narasi yang dibangun pun, seringkali menemukan kekosongan makna yang mengarah pada kesejahteraan umat, membebaskan umat. Hal tersebut memiliki kompleksitas tersendiri mengingat tidak hanya faktor sang mufasir saja, namun mazhab dan ideologi politik pun menaruh faktor pula pada hal tersebut.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Al-Qur`an memuat kemukzijatan yang luar biasa. Sekadar membacanya pun akan dicatat kebaikan oleh Allah SWT. Namun, apakah hanya berhenti di sisi? Apakah teks Al-Qur`an hanya sebagai wirid, pengulangan, seruan bacaan saja?

Padahal, jika kita menelisik pada dimensi kesejarahan turunnya wahyu, Al-Qur`an sebagai respons atas masyarakat. Artinya, ada dimensi historis kultural dalam proses tersebut. Ada keniscayaan moral-intelektual dalam kandungan Al-Qur`an.

Dengan nada yang agak provokatif, Hassan Hanafi pernah berkata “al-wahyu laysa kharij al-zaman tsabitan la yataghayyaru, bal dakhil al-zaman yatahawwaru bi tathawwurihi” (Hanafi, 1988: 71) (Wahyu bukanlah sesuatu berada di luar konteks yang kokoh dan tak berubah, melainkan berada dalam konteks yang mengalami perubahan demi perubahan).

Perkataan di atas berimplikasi bahwa teks Al-Qur`an bukan hanya teks ilmu pengetahuan yang dikurikulumkan saja, melainkan teks yang harus digali maknanya yang akan menghidayahi suatu perubahan demi perubahan.

Dengan realitas seperti sekarang ini, kejahatan seakan tidak menampakkan pelakunya, ketertindasan di mana-mana, keadilan semakin kehilangan nilanya, dan lain sebagainya. Pendidikan pun demikian, esensinya telah hilang, hanya diberlakukan secara administartif-konvensional. Bahkan, nilai atau ijazahnya pun dapat dibeli dengan uang.

Maka, di sini peran Al-Qur`an beserta tafsirannya bukan untuk mengabsahkan realitas, bukan untuk mengecam suatu kaum. Namun, untuk mengubah realitas tersebut. Memberi sinaran etik-moral pada masyarakat.

Prinsipnya bukanlah hanya teks semata, melainkan teks dapat digunakan sebagai prinsip inspirasi utama dalam agenda pembebasan dan hidup yang lebih berkeadilan serta membawa manusia pada kehidupan yang lebih damai dan sejahtera.

Dengan itu, maka citra negatif yang sering dialamatkan pada Islam pun dapat sirna. Visi Islam pun dapat dicapai, yakni Islam Rahmatan lil `Alamin.

Referensi:
Hanafi, Hassan, 1988, Dirasat Islamiyah, Kairo: Maktabah Anglo Mishriyah.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan