Tadabur Konsep Jawa dan Islam

2,841 kali dibaca

Beberapa waktu yang lalu, dan seringkali, isu politik di Indonesia memunculkan ketegangan-ketegangan sosial yang melibatkan banyak kelompok masyarakat, termasuk kelompok-kelompok umat Islam. Rasanya jika saya membahas yang berhubungan dengan politik, trauma itu akan terjadi lagi. Sensitivitas kebanyakan orang sekarang bukan hanya pada agama, ras, dan suku, melainkan sudah melebar ke pilihan politik. Ya sudahlah, kita tangguhkan masalah politik, kita bahas yang lebih ringan saja.

Saya teringat wejangan leluhur orang Jawa tentang bagaimana menciptakan kehidupan yang harmonis dengan alam dan manusia. Istilah ini sudah sering didengar, memayu hayuning bawana atau jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia artinya mempercantik kecantikan bumi atau jagat. Leluhur kita, orang zaman dahulu, sudah berpikir dalam seperti itu. Maknanya sungguh luar biasa, mempercantik jagat yang sudah cantik ini.

Advertisements

Jika berbicara mengenai jagat, sebenarnya ada beberapa aspek atau subjek yang harus dipercantik, entah itu alam atau manusia. Jika sasarannya manusia saja, secara kultural nenek moyang kita punya istilah memayu hayuning bebrayan. Yang ingin saya tekankan di sini adalah bagaimana orang-orang zaman dahulu memposisikan alam. Jika kita telaah kebudayaan, baik itu yang berbentuk performa maupun ritual, terutama di Jawa, pasti ada kaitannya dengan alam dan keterlibatan manusia. Jangan bilang syirik atau musrik dulu ya. Saya bisa berdebat panjang tentang masalah itu. Kita ambil pelajaran dulu saja.

Leluhur-leluhur kita mengenal alam sebagai partner sebagaimana manusia. Maka dari itu benda-benda mati dari alam diberi julukan seperti manusia. Gamelan diberi nama kiai, keris diberi nama kiai, bahkan kerbau diberi nama kiai. Semua aspek budaya pasti melibatkan alam atau hasil alam, seperti kemenyan, bunga, air, bulu merak, punden, dan masih banyak yang lain. Mereka seakan-akan memang bersahabat dengan alam, sehingga saya tidak menemukan literatur yang menyebutkan bahwa Patih Gajahmada atau Prabu Siliwangi membakar hutan untuk perluasan area mereka, atau menebang hutan untuk membangun istana. Berbeda dengan kehidupan sekarang, ada beberapa pihak yang menganggap alam sebagai barang mati yang bisa diperjualbelikan, sehingga alam hanya ada untuk dieksploitasi. Pohon ditebang, sawah menjadi gedung, tambang dikeruk sampai habis dan tidak memerhatikan bagaimana nasib alam itu sendiri. Dampaknya? Sudah bisa dirasakan, tidak perlu saya jawab.

Jika orang dulu memperlakukan alam saja seperti itu, bagaimana dengan memperlakukan manusia, pasti lebih dari itu. Apakah hal tersebut bertentangan dengan Islam? Oh tidak. Salah besar jika ada yang mengklaim bahwa kebudayaan dan ritual-ritual tersebut bertentangan dengan Islam, padahal belum tahu prosesnya, makna kebudayaan itu, kenapa mereka melakukan itu, dengan segala simbol-simbol kebudayaan itu.

Sungguh saya menjumpai bahwa ritual dan kebudayaan di Jawa punya makna yang malah dianjurkan oleh agama. Jadi, jangan mencela orang atas dasar ketidaktahuan kita. Memang saya akui, masih ada yang menyimpang, tapi penyimpangan itu tak usah menjadi legalitas diri kita untuk menyalahkan orang lain. Cukup untuk perbaikan diri kita sendiri saja. Masalah religiusitas, biar setiap diri pribadi saja yang bertanggung jawab dengan Allah. Ngunu yo ngunu ning ojo ngunu. Menyimpulkan syirik ya boleh, tapi pahami dulu, cari tahu dulu, terlibat dulu, walaupun kita sudah tahu, itu pun kita tidak bisa menyimpulkan mereka syirik. Memangnya siapa kita?

“Khoirunnass anfa’uhum linnass”, sak becik-becik e manungso yo ingkang manfaat. Ini hadits Rasulullah, sesuai dengan metode kebudayaan yang “memayu hayuning bebrayan”. Menjadi bermanfaat itu tidak memandang kepada siapa kita berbuat baik, tapi yang dipandang Allah untuk menjadikan diri kita baik adalah bagaimana kita memposisikan manusia yang lain, menghormati yang lain.

Anehnya, konsep Jawa seperti itu justru ada sebelum Islam masuk ke Nusantara. Lalu siapa yang mengajarkan nilai-nilai Islami tersebut? Tentu saja hati dan pola pikir manusia itu sendiri. “Tanpa” Islam sekalipun, jika kita berhasil menjadi “manusia utuh”, itu saja sudah cukup, disempurnakan lagi dengan adanya Islam, semakin mulia manusia itu. Makanya, sebenarnya kunci beragama itu bukan syariat, bukan fatwa, tetapi akal. Allah berkali-kali mengingatkan, Afala taqilun”; “Afala tatafakkarun”. Manusia wajib menjalankan Islam secara benar-benar ketika baligh dan sehat akalnya. Oleh sebab itu, jangan beranggapan bahwa Islam hanya tentang salat, sedekah, zakat, haji, dan ibadah-ibadah ritual. Tetapi, Islam juga mencakup keluasan berpikir, astronomi, matematika, biologi, taksonomi, kimia. Semua merupakan Islam. Jadi, jangan menjadi sekuler. Sekuler di sini adalah membeda-bedakan mana urusan agama dan mana yang bukan urusan agama. Semua adalah Islam, tanpa terkecuali.

Jika memayu hayuning bebrayan saja tak bertentangan dengan hadits, bagaimana dengan memayu hayuning bawana? Tentu seusai juga, karena Islam mencangkup semuanya. Konsep memayu hayuning bawana ini sangat luas karena mencangkup jagat, baik itu jagat alit maupun jagat gedhe. Konsep ini sangat cocok dengan konsep Islam yang didengungkan di Indonesia, rahmatan lil’alamin.

Kembali, sedikit kita gali tentang rahmat seluruh alam ini. Apakah ini konsep Islam atau konsep gelembung kecil bagian dari Islam, yaitu manusia. Padahal konsep rahmat semesta alam adalah dimaksudkan Allah untuk Nabi Muhammad. Namun, memang Islam harus mencontoh Nabi Muhammad sebagai wasilah menuju Allah. Bagaimana aplikasi rahmat semesta alam ini? Karena ada kata semesta, sebenarnya jangkauan peran manusia sebagai orang Islam dan sebagai orang Jawa yang punya konsep memayu hayuning bawana sangat luas sekali. Karena yang dinamakan semesta adalah bumi beserta isinya dan yang di luar bumi beserta isinya. Hubungan kita dengan manusia, alam, jin, iblis, malaikat, tanah, laut, udara, proton, elektron, planet lain, dimensi lain, dan seluruh yang Allah sudah ciptakan patut kita akui dan berbuat baik kepada mereka semua.

Jadi, begitu kayanya seorang manusia jika dapat memahami peranannya di bumi yang sangat kecil ini. Oleh sebab itu, Allah mengingatkan kita, kebaikan sekecil apa pun pasti ada balasannya. Karena, suatu kebaikan yang kita berikan akan ditangkap oleh sesuatu yang kasat mata maupun tidak kasat mata. Semua makhluk Allah bekerja untuk memudahkan dan membantu kita yang sedang berbuat baik, semua atas izin Allah.

Jadi teman-teman, mari kita tadaburi maksud ngunu yo ngunu ning ojo ngunu dalam peran kita kepada alam semesta ini. Bisa banyak sekali maknanya. Bisa “berbuat baik ya berbuat baik tapi jangan menghardik”; bisa juga “mengajak kebaikan ya mengajak kebaikan tapi ya jangan kasar”; dan banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain. Kita manfaatkan semua kemungkinan untuk kebaikan agar energi negatif dan pengaruh negatif tak punya ruang yang cukup besar atas kendali diri kita, akal kita, dan emosi kita.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan