Tadabur Konsep Jawa dan Islam

2,808 kali dibaca

Beberapa waktu yang lalu, dan seringkali, isu politik di Indonesia memunculkan ketegangan-ketegangan sosial yang melibatkan banyak kelompok masyarakat, termasuk kelompok-kelompok umat Islam. Rasanya jika saya membahas yang berhubungan dengan politik, trauma itu akan terjadi lagi. Sensitivitas kebanyakan orang sekarang bukan hanya pada agama, ras, dan suku, melainkan sudah melebar ke pilihan politik. Ya sudahlah, kita tangguhkan masalah politik, kita bahas yang lebih ringan saja.

Saya teringat wejangan leluhur orang Jawa tentang bagaimana menciptakan kehidupan yang harmonis dengan alam dan manusia. Istilah ini sudah sering didengar, memayu hayuning bawana atau jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia artinya mempercantik kecantikan bumi atau jagat. Leluhur kita, orang zaman dahulu, sudah berpikir dalam seperti itu. Maknanya sungguh luar biasa, mempercantik jagat yang sudah cantik ini.

Advertisements

Jika berbicara mengenai jagat, sebenarnya ada beberapa aspek atau subjek yang harus dipercantik, entah itu alam atau manusia. Jika sasarannya manusia saja, secara kultural nenek moyang kita punya istilah memayu hayuning bebrayan. Yang ingin saya tekankan di sini adalah bagaimana orang-orang zaman dahulu memposisikan alam. Jika kita telaah kebudayaan, baik itu yang berbentuk performa maupun ritual, terutama di Jawa, pasti ada kaitannya dengan alam dan keterlibatan manusia. Jangan bilang syirik atau musrik dulu ya. Saya bisa berdebat panjang tentang masalah itu. Kita ambil pelajaran dulu saja.

Leluhur-leluhur kita mengenal alam sebagai partner sebagaimana manusia. Maka dari itu benda-benda mati dari alam diberi julukan seperti manusia. Gamelan diberi nama kiai, keris diberi nama kiai, bahkan kerbau diberi nama kiai. Semua aspek budaya pasti melibatkan alam atau hasil alam, seperti kemenyan, bunga, air, bulu merak, punden, dan masih banyak yang lain. Mereka seakan-akan memang bersahabat dengan alam, sehingga saya tidak menemukan literatur yang menyebutkan bahwa Patih Gajahmada atau Prabu Siliwangi membakar hutan untuk perluasan area mereka, atau menebang hutan untuk membangun istana. Berbeda dengan kehidupan sekarang, ada beberapa pihak yang menganggap alam sebagai barang mati yang bisa diperjualbelikan, sehingga alam hanya ada untuk dieksploitasi. Pohon ditebang, sawah menjadi gedung, tambang dikeruk sampai habis dan tidak memerhatikan bagaimana nasib alam itu sendiri. Dampaknya? Sudah bisa dirasakan, tidak perlu saya jawab.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan