Syahrur: Negasi Sinonimitas dan Dobrakan Kemapanan

967 kali dibaca

Untuk menjadi mencolok Anda harus tampil dengan warna baju lain di antara mayoritas. Umpama dalam kerumunan massa yang hendak mengantar jenazah pada pemakaman, dan mayoritas mengenakan pakaian hitam, Anda boleh memilih dengan menggunakan pakaian warna kontras.

Begitulah kira-kira jika dianalogikan dengan pemikiran yang ingin mencolok dengan jalan kontradiktif. Apa yang selama ini kita idap dan diidap dalam kepala banyak orang harus dibabat habis-habisan. Menjadi semakin menarik jika objek material yang jadi perbincangan adalah Al-Qur’an. Bayangkan saja dentuman besar macam apa yang akan terjadi, dan keramaian seperti apa yang pasti meledak.

Advertisements

Itulah yang terjadi ketika Muhammad Syahrur menerbitkan magnum opus-nya dengan tajuk al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah.

Karya monumental dari Syarur itulah yang banyak menerima dua atensi sekaligus. Sebagaimana pemikir-pemikir Islam kontemporer pada masanya, ia juga mendapat penerimaan dan penolakan sekaligus. Sejalan dengan itu Peter Clak mengungkapkan bahwa karya Syahrur membuat jagat Arab bergetar.

Sebelum masuk ke beberapa prinsip dasar dalam interpretasi Syahrur, ada baiknya jika dikenali terlebih dahulu latar belakangnya, secara khusus pendidikannya.

Ia lahir di Damaskus pada 1938 dan menyelesaikan studi Teknik Sipil di Moskow. Selanjutnya mengambil program master di The National University of Ireland dengan konsen Teknik Fondasi dan Mekanika Tanah. Pada saat proses doktoral ini, ia mulai menaruh minatnya pada kajian Islam, lebih spesifik Al-Qur’an.

Hal itu diperkuat ketika ia bertemu dengan guru linguistiknya, Dr Ja’far Dikki al-Bab, yang sekaligus memberi pengantar di magnum opus miliknya. Keinginan dan minat yang dalam terhadap kajian Islam yang terus menghantui benak Syahrur, meski ia berlatar belakang teknik sipil. Karena latar belakang itu pula, sebagian orang yang anti terhadapnya justru menghantam latar belakang pendidikannya, alih-alih membabat habis karya Syahrur.

Namun, yang tidak boleh dilupa, bahwa Syahrur bukan “Bandung Bondowoso” yang mampu membangun seribu candi dalam semalam suntuk. Penelitian ilmiahnya untuk menghasilkan karya monumental itu tidak dalam waktu pendek. Ia menghabiskan sekitar dua puluh tahun lebih mengkaji Al-Qur’an.

Tesis dasar yang disusung oleh Syahrur sejatinya bermula dari tidak adanya sinonimitas dalam Al-Qur’an. Tidak ada makna yang sama untuk satuan kata yang berbeda. Secara gampang, beda kata maka beda makna, juga pengertian yang melingkupinya.

Dengan itu, negasi terhadap sinonimitas dapat memperluas dan memperkaya kosa kata dengan istilah-istilah yang berbeda. Setiap kata mempunyai pengertian dan istilah yang khusus—dan hanya—untuk kata tersebut. Ini berimplikasi besar terhadap klasifikasi di dalam al-Kitab (sebagaimana istilah yang dipakai oleh Syahrur ketika menyebut mushaf). Syahrur melakukan banyak klasifikasi di sana mulai dari yang paling dasar.

Selama ini kita memahami bahwa Al-Qur’an mengacu pada muhsaf dan al-Kitab sebagai nama lain. Begitu juga dengan al-Furqan, al-Dzikr, diklaim sebagai nama lain yang merujuk kepada mushaf. Maka, hal tersebut jelas dibantah oleh Syahrur.

Setiap kata, mulai dari al-Kitab, al-Qur’an, dan seterusnya, memiliki petanda yang berbeda. Nama-nama itu yang menjadi penanda sekaligus memiliki konsep-konsep tersendiri. Ketika hendak menunjuk kepada mushaf, Syahrur lebih memilih penggunaan terma al-Kitab dibanding al-Qu’an. Menurutnya, Al-Qur’an hanya merujuk kepada himpunan bagian yang tetap dari hukum alam yang terprogram di lauh mahfudz.

Karena itu, Al-Qur’an membahas dua muatan utama: 1). Bagian tetap yang terdiri dari realitas objektif yang berdiri di luar kesadaran manusia. Di sini tidak ada celah yang bisa digunakan manusia untuk berdoa atau pun mengubah segala sesuatunya. Sebab, di bagian ini adalah bagian tetap dan berdiri di luar kesadaran dan kemampuan manusia, seperti kematian, peniupan sangkakala. 2). Bagian yang berubah, bagian inilah yang terdapat celah bagi doa atau bahkan ilmu pengetahuan untuk mengubahnya, seperti sehat dan sakit yang kesemuanya kehendak Tuhan yang tentatif, menurut Syahrur.

Tidak hanya itu, ia juga membedakan antara ar-Risalah (kerasulan) dan an-Nubuwwah(kenabian). An-Nubuwwah adalah bagian wahyu yang bersifat objektif di luar kesadaran manusia pula, berbanding terbalik dengan ar-Risalah yang subjektif. Hal ini kemudian dapat dinyatakan, bahwa ar-Risalah lebih cenderung kepada tuntunan etis, akhlak, dan budi pekerti, yang semuanya tidak harus terjadi. Itu bisa dilakukan bisa juga tidak.

Ia juga tidak sungkan-sungkan untuk mengkritik beberapa sarjana Islam yang jauh lebih awal dan dianggap telah melakukan kesalahan fatal dalam interpretasi teks. Dobrakan terhadap kemapanan seperti itu, bagi saya pribadi, adalah suatu ikhtiar untuk kembali menghidupkan dan mengkontekstualisasikan Al-Qur’an. Terlepas dari atensi—dengan konotasi negatif—yang muncul setelahnya, pembacaan Syahrur mungkin diterima sebagai autokritik yang pedas dan memerahkan mata.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan