Keris Warisan

5,326 kali dibaca

Setiap malam Jumat, ibu selalu membasuh keris itu dari air kembang pada mangkuk tembaga yang juga didapat dari kakek. Selesai dibasuh, ibu akan menusukkan keris itu ke tanah sebanyak tujuh kali, sehingga pasir halus memupurinya dari ujung ke pangkal. Lalu ibu akan memasukkannya kembali ke dalam sarung kayu dalam keadaan masih berlumur pasir.

“Dibasuh tapi lalu ditusukkan ke tanah sampai kotor kembali, baru dimasukkan ke sarungnya. Apa itu tidak terbalik, Bu? Mestinya ditusukkan lalu dibasuh dan disarungkan dalam keadaan bersih,” kataku kepada ibu suatu waktu.

Advertisements

Ibu hanya tersenyum dan bilang bahwa aku belum tahu maksudnya. Lalu ibu tidak menjelaskan apa-apa meski sering kudesak dengan pertanyaan. Laiknya orang wajib salat, untuk tahu itu ada batas umur minimum.

Keris ukuran sehasta orang dewasa itu memang selalu ibu rawat dengan baik. Ditaruh di samping lemari. Bergantung pada sebatang paku dalam posisi agak miring karena tali gantungannya terikat pada bagian pangkal sarung keris itu. Sedang sarung keris itu terbuat dari kayu pilihan, cokelat mengkilap menampakkan kurai halus melingkar di beberapa bagian, senada dengan gagangnya, ditatah dengan ukiran naga yang membelit batang yang ditumbuhi tiga kelopak bunga, sehingga ketika keris itu terperam dalam sarungnya, semakin tampak keanggunannya.

Menurut cerita ibu yang ia nukil dari cerita kakek, keris itu bernama Rongkang Arta. Salah satu tetuaku dulu memperoleh keris itu setelah bertapa di gua Payudan selama 40 hari 40 malam dengan hanya makan sebutir buah kers dan seteguk air putih setiap hari. Keris itu kabarnya milik salah satu raja Sumenep yang pernah menumbangkan ratusan tentara Jepang hanya dalam sekali acung. Selain itu, ia juga bisa menjadi sebab datangnya kemakmuran warga pada masa penjajahan ketika tentara Jepang sering melakukan perampasan harta benda milik warga.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan