Suiii, Lebaran, dan Sepotong Laut

860 kali dibaca

Sebelum matahari terbenam, setelah selesai mengantarkan satu plastik berisi daging sapi kurban ke rumah Mas Toha, setelah selesai mengaji di makam kakek dan nenek, aku memutuskan untuk mampir ke pantai yang tak jauh dari kuburan kakek-nenekku.

Sebenarnya, aku tidak suka pantai, bahkan benci. Aku punya pengalaman pahit tentang pantai dua tahun lalu. Di pantai, aku pernah ditinggal sendirian hingga azan maghrib saat bermain bola dengan dengan kawan-kawanku. Aku menangis, aku ketakutan hingga akhirnya Eppak tiba-tiba ada di depanku. Dia memarahiku. Telingaku dijewer, katanya aku nakal. Sejak saat itulah, aku mulai membenci pantai dan apa-apa yang berhubungan dengan pantai, termasuk laut. Bahkan, semenjak kejadian itu, aku juga tidak mau memakan makanan yang berasal dari laut.

Advertisements

Tapi, saat ini tiba-tiba saja aku ingin ke pantai; ingin melihat laut lepas. Aneh memang, serasa ada sesuatu yang berbisik di telingaku; menyuruhku untuk melihat laut. Eh, Aku tidak boleh bohong! Aku takut dan murka bila dipanggil pembohong; aku ingin melihat laut karena aku rindu pada seseorang yang sangat suka laut. Sungguh! Dia sangat menyukai laut. Dia bilang, laut itu utuh, lepas, dan penuh rahasia. Entahlah, aku bingung apa maksudnya dan aku tak pernah memikirkannya sebab aku memang membenci laut, dulu.

Sudah hampir seminggu aku tak melihat sosok wanita si penyuka laut itu. Padahal, meskipun gengsi, pada akhirnya aku selalu menitipkan salam padanya bahwa aku sedang rindu. Tapi, katanya dia malah tertawa. Kenapa? Biasanya, dia setiap hari bermain ke rumahku untuk sekadar bercerita dan mengajariku pelajaran sekolah MA-ku. Ya, aku masih kelas 2 MA.

“Jangan nakal, ya, Cil!” dia selalu bilang seperti itu sebelum pulang.

“Siap, Lek! Jawabku pasti seperti itu.

Ya, meskipun sedikit lebih muda darinya, aku memangilnya Alek, dan dia tak ingin memanggiku kakak. Dia memanggilku bocil.

Di perjalanan, sebelum sampai ke pantai, aku melihat banyak orang berlalu-lalang. Aku tahu, mereka akan mengunjungi tetangga, kerabat, atau teman-teman dekat mereka untuk memberikan daging hewan kurban mentah atau juga nasi.

Memang, sebelum malam lebaran, saat sesudah atau waktu magrib menjelang, orang-orang di kampungku akan melaksanakan kebiasaan seperti itu. Orang-orang di kampungku banyak yang menyembelih hewan kurban yang kemudian satu per tiganya untuk dirinya sendiri dan keluarganya atau bisa disebut dengan  sohibul qurban. Satu per pertiganya lagi dibagikan kepada orang-orang fakir miskin, sementara sisanya akan dibagikan kepada  tetangga, teman, ataupun kerabat.

Orang-orang di kampungku biasanya juga akan bersedekah nasi. Nasi itu dilengkapi jhuko’ ajam kella pate, ada juga jhuko’ sape massak mera, acar, mie rebus, telur rebus, dan lain-lain. Setelah atau sebelum itu, mereka pasti berziarah ke makam para leluhur dengan membawa serta anak dan istri bahkan sekeluarga besar.

Setelah sampai di pantai, aku langsung mencari tempat yang nyaman untuk duduk, agar aku puas memandangi laut lepas. Aku merasakan ketenangan, aku terus memandangi laut lepas itu. Aku tak habis pikir. Ternyata di laut masih ada orang-orang yang mempunyai kesibukan. Aku melihat satu dua kapal yang melintas. Aku tak tahu hendak ke mana mereka, apa mereka tidak ingin merayakan hari raya Idul Adha besok? Entahlah, yang pasti aku harus bersyukur karena keluargaku diberi kecukupan oleh Tuhan sehingga tidak sibuk-sibuk seperti orang-orang di dalam kapal itu sampai-sampai lupa lebaran.

Aku juga melihat burung-burung yang masih terbang. Indah, sangat indah, sungguh! Apalagi aku disuguhi pemandangan senja. Kulihat Matahari akan segera tenggelam, menyisakan rona merah di langit dan juga laut, diiringi dengan lantunan ayat-ayat suci Al-Quran yang menggema dari surau-surau. Oh, sungguh Mahabesar Tuhan! Aku tersenyum, kutarik napas dalam-dalam dan kuembuskan perlahan. Syukur, rasa gundah dan gelisah karena rindu itu mulai sedikit hilang.

Tapi, apa boleh buat, aku ke sini melihat laut karena aku rindu pada seseorang yang suka laut. Jika dia tak suka laut, untuk apa aku ke sini? Aku akan memberinya hadiah. Oh, Aku merindukannya, sungguh!

Dulu, aku sering merajuk padanya, iseng, membuat dia marah dan selalu tertawa. Dan, aku selalu manja. Sebabnya dia memanggilku bocil. Aku suka dengan panggilan itu. Aku selalu bilang rindu padanya. Tapi, dia selalu menganggapku pura-pura dan bercanda. Bahkan, semua perkataanku kebanyakan dia anggap hanya pura-pura dan bohong belaka. Aku tak suka. Padahal, aku serius dan jujur, meski caraku menyampaikan selalu dibumbui atau diakhiri dengan tawa. Itulah aku, terlihat konyol dan suka tertawa. Dan, dia selalu merasa di atas angin. Huft!

Mendengar selawat tarhim menggema dari surau-surau sekitar, aku langsung bergegas untuk pulang. Tapi, aku tidak akan lupa dengan niat rahasiaku pergi ke sini; aku ingin mengambil sepotong laut dan akan kuberikan pada perempuan pecinta laut itu saat lebaran Idul Adha, besok. Pasti dia akan senang. Aku yakin itu.

Tanpa berlama-lama, aku langsung mengambil pisau kecil dari sakuku lantas kupotong pemandangan laut itu. Kecil, mungkin seukuran kertas A4. Sebenarnya, dia akan lebih senang jika aku mengambil laut seutuhnya. Tapi, tidak! Aku tidak mampu. Setelah kupotong, lantas kugulung dan kusembunyikan di dalam gulungan sarungku. Aku langsung pulang, berjalan dengan tergesa-gesa. Aku takut diomeli Emmakku.

Di perjalanan, banyak orang-orang menatapku dengan tajam. Bukan hanya orang-orang, burung-burung juga begitu, rumput, pohon kelapa, cemara dan semua makhluk hidup seperti itu. Aku takut, aku berlari kencang sambil memegang gulungan sarungku agar sepotong laut itu tidak terlihat oleh mereka apalagi terjatuh. Aku takut mereka merampasnya, aku tak mau, sungguh! Lebih baik mereka merampas nyawaku daripada merampas sepotong laut yang sangat disukai seseorang yang kurindu itu.

Huft! Lelah! Gerah! Aku sudah sampai di rumah. Aku langsung menyimpan sepotong laut itu di bawah bantal. Setelah itu aku langsung bergegas untuk mandi.

Sebelum membuka pintu kamar mandi, aku melihat Emmak sedang memasak. Kuhampiri dan kucicipi masakan itu. Marahlah Emmak. Aku diomeli dan mengatakan meller onggu. Tapi, aku tak peduli, aku langsung ke kamar mandi tanpa rasa bersalah sedikit pun. Hehe.

Malam lebaran tiba, setelah sedari tadi aku dan kawan-kawanku bertakbir di masjid. Sekarang kami akan berangkat bertakbir berkeliling kampung sambil menabuh tong-tong dan membawa sejumlah petasan. Nanti kami akan lewat di depan rumah Suiii, perempuan yang kurindu itu. Siapa tahu dia akan menghampiriku dan juga bilang rindu padaku.

Namun, setelah lewat di depan rumahnya, aku sangat heran. Wajahnya berubah dan sangat kusam. Dia tak seperti yang dulu. Dia berubah; berubah menjadi sosok yang bagiku sangat menyeramkan. Saat kejadian itu, aku mengucek mata berulang-ulang; ingin memastikan bahwa apa yang kulihat memang benar. Dan, ternyata benar; dia berubah. Tapi anehnya, kawan-kawanku bilang dia tak berubah; sama seperti yang semula. Kawan-kawanku menganggapku gila. Tapi, kenapa padaku berbeda? Aneh! Ada apa?!

Setelah selesai takbir keliling, aku mencoba menenangkan diri di dalam kamar. Aku berpikir, mungkin aku memang salah lihat tadi. Aku mengambil sepotong laut itu di bawah bantal. Sepotong laut itu bercahaya. Masih indah seperti laut yang kemarin. Kulihat sambil tersenyum untuk sedikit mamadamkam bara rindu yang menyala-nyala dalam dada. Sakit, hatiku teriris merindukannya. Aku gelisah, gundah, kecewa, marah. Apa dia tak merinduku? Agrh..! Aku merindukan dia karena apa? Jika karena teman, masak sesakit ini?

Sebelum tidur, aku kembali meletakkan sepotong laut itu di bawah bantal lantas kupandangi baju, sarung, songkok, dan sandal yang kemarin dibelikan Emmak di pasar Bangkal untuk dipakai besok. Apa dia akan suka terhadap penampilanku besok? Huft! Aku tidak percaya diri! Apalagi saat mengingat laki-laki yang dekat dengannya, aku berasa tidak ada apa-apanya. “Suiii, aku merindukanmu, sungguh!” batinku, dalam. Sedalam laut.

Pagi-pagi sekali aku berangkat ke masjid untuk melaksanakan salat Idul Adha karena memang salat Idul Adha dilaksanakan lebih pagi ketimbang salat Idul Fitri. Aku tidak lupa membawa sepotong laut itu dan kuletakkan di dalam gulungn sarungku. Sepotong laut itu tetap bercahaya. Sungguh, apa kalian tidak percaya? Aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengan dia dan memberikan sepotong laut itu padanya, pasti dia akan sangat senang.

Aku sengaja tidak makan sebelum sebelum selesai khutbah, itu sunnah Nabi. Tak ada wajah sedih pada seluruh orang-orang di masjid karena saat ini hari kemenangan. Aku juga senang, aku juga menang. Tapi, tidak dengan hatiku, hatiku tidak tenang juga tak menang.

Setelah selesai salat, aku, kawan-kawan, dan juga yang lainnya bersalaman; saling memaafkan. Orang tua dan gurulah yang pertama kusalamani. Dan setelah itu kami langsung makan bersama yang telah disiapkan oleh kaum perempuan. Sebelum berangkat keliling kampung untuk bermaaf-maafan, aku juga ikut serta menyulut petasan besama kawan-kawan. Uh, sungguh menyenangkan.

Di perjalan menuju rumah Man Toha, aku melihat dia, Suiii, berjalan bersama ibunya. Bibirku mendadak seperti kain kafan yang bergetar; aku tidak tenang. Tapi, aku tetap menghampirinya, aku mencium tangan ibunya. Ibunya senang aku datang. “Aku duluan ya, Nak! Nanti kamu nyusul ke rumah Man Toha bareng Nak Addul ini, kalian kan kalian sudah lama tidak bertemu kayaknya,” ucap ibunya lantas pergi. Suiii mengangguk. Aku senang.

Aku memandangnya. Meskipun dia tersenyum, aku melihat wajahnya seperti yang tadi malam; berubah, Eh, tapi terkadang juga seperti yang semula, kadang berubah, kadang seperti semula. Aghr…! Kenapa wajahnya berubah-ubah seperi itu?! Tapi, tetap kuberanikan diri.

“Aku sungguh merindukanmu! Ini sepotong laut untukmu!” ucapku seletah mengambil sepotong laut dari gulungan sarungku.

“Aku tidak suka laut!”

Gelap.

Musala Instika, 05/07/22.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan