Makna Kurban dan Ritualnya

726 kali dibaca

Lafaz kurban berasal dari akar kata “qaraba” yang berarti mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah kurban dilaksanakan oleh seluruh umat muslim di seluruh dunia sebagai implementasi sifat terpuji,  yaitu dermawan, bahkan sebagai media untuk memperoleh rahmat  Allah serta  inayah-Nya.

Berkurban adalah simbol rasa syukur dengan cara berbagi daging kurban pada sesama. Hal ini dilaksanakan setiap tanggal 10 Dzulhijjah. Sedangkan, hewan yang boleh dijadikan kurban adalah sapi, unta, kambing, dan domba, meskipun ada pendapat sebagian ulama yang membolehkan semua binatang ternak dijadikan kurban. Namun pendapat ini tergolong lemah.

Advertisements

Ibadah kurban disyariatkan pada tahun ketiga setelah hijrahnya Nabi Muhammad SAW. Sebenarnya penyembelihan hewan kurban sudah ada sejak pra-Islam. Bahkan dipraktikkan oleh orang-orang kafir  dan juga Yahudi sebagai bentuk persembahan untuk memperoleh kekayaan dan perlindungan  kepada selain-Nya dengan pengorbanannya tersebut. Agama Islam hadir dalam rangka mengubah tradisi yang kurang baik menjadi baik.

Sebenarnya, melihat makna kurban tidak hanya fokus pada penyembelihan binatang ternak. Namun seluruh aktivitas manusia sehari hari juga bisa dianalogikan dengan makna kurban-pengorbanan, mulai dari pengorbanan orang tua kepada anaknya dalam hal mencari nafkah, perjuangan guru dalam mendidik siswanya, kiai dalam membimbing santrinya. Itu semua berakar dari sebuah kata kurban.

Dari sinilah kurban mempunyai dua makna, makna hakiki dan nisbi. Dalam makna hakiki, sesuai dengan perintah Allah kepada umatnya melalui media binatang ternak. Sedangkan, dalam makna nisbi, sebagai bentuk pengorbanan manusia dalam keseharian. Namun, dalam pembahasan ini, penulis fokus dari sisi amaliah kurban yang pernah dipraktikkan Nabi Ibrahim atas perintah Tuhan agar menyembelih anaknya, Ismail, kemudian Allah menggantinya dengan domba.

Dari berbagai kajian kitab-kitab tafsir, syarah hadis dan fikih baik klasik maupun kontemporer pada bab udhiyah (binatang ternak), surat al-Kautsar, sebagai dalil kurban, terutama pada ayat 2, فصل لربك وانحر. Berdasarkan ayat kedua tersebut, mufassirin berbeda pendapat dalam menafsiri lafaz “fasalli”. Misal  Ibnu Abbas menafsiri lafaz “shalli” dengan salat wajib. Sementara Ibnu Jarir dan Ibnu Mansur, menafsirinya dengan salat fajar. Sedangkan, Ibnu Abdil A’la menafsiri dengan salat Idul Adha (Abu Ja’far Jarir Al-Thabari, Tafsir al- Thabari Juz 24, Hal; 280). Dari pernyataan ulama tafsir tersebut,penulis lebih setuju dengan pendapat Ibnu Abdil A’la, karena lebih sesuai dengan konteks.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan