Suiii, Lebaran, dan Sepotong Laut

850 kali dibaca

Sebelum matahari terbenam, setelah selesai mengantarkan satu plastik berisi daging sapi kurban ke rumah Mas Toha, setelah selesai mengaji di makam kakek dan nenek, aku memutuskan untuk mampir ke pantai yang tak jauh dari kuburan kakek-nenekku.

Sebenarnya, aku tidak suka pantai, bahkan benci. Aku punya pengalaman pahit tentang pantai dua tahun lalu. Di pantai, aku pernah ditinggal sendirian hingga azan maghrib saat bermain bola dengan dengan kawan-kawanku. Aku menangis, aku ketakutan hingga akhirnya Eppak tiba-tiba ada di depanku. Dia memarahiku. Telingaku dijewer, katanya aku nakal. Sejak saat itulah, aku mulai membenci pantai dan apa-apa yang berhubungan dengan pantai, termasuk laut. Bahkan, semenjak kejadian itu, aku juga tidak mau memakan makanan yang berasal dari laut.

Advertisements

Tapi, saat ini tiba-tiba saja aku ingin ke pantai; ingin melihat laut lepas. Aneh memang, serasa ada sesuatu yang berbisik di telingaku; menyuruhku untuk melihat laut. Eh, Aku tidak boleh bohong! Aku takut dan murka bila dipanggil pembohong; aku ingin melihat laut karena aku rindu pada seseorang yang sangat suka laut. Sungguh! Dia sangat menyukai laut. Dia bilang, laut itu utuh, lepas, dan penuh rahasia. Entahlah, aku bingung apa maksudnya dan aku tak pernah memikirkannya sebab aku memang membenci laut, dulu.

Sudah hampir seminggu aku tak melihat sosok wanita si penyuka laut itu. Padahal, meskipun gengsi, pada akhirnya aku selalu menitipkan salam padanya bahwa aku sedang rindu. Tapi, katanya dia malah tertawa. Kenapa? Biasanya, dia setiap hari bermain ke rumahku untuk sekadar bercerita dan mengajariku pelajaran sekolah MA-ku. Ya, aku masih kelas 2 MA.

“Jangan nakal, ya, Cil!” dia selalu bilang seperti itu sebelum pulang.

“Siap, Lek! Jawabku pasti seperti itu.

Ya, meskipun sedikit lebih muda darinya, aku memangilnya Alek, dan dia tak ingin memanggiku kakak. Dia memanggilku bocil.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan