Ada yang pelan-pelan tumbuh dari luka: harapan. Raja Ampat, gugusan surga yang jatuh di timur Nusantara itu, selama beberapa waktu terakhir menjadi panggung sunyi bagi kegelisahan yang tak selesai. Lautnya biru sebening jernihnya iman yang belum terusik. Tapi di balik karang dan lempung tanahnya, logam-logam tambang tidur tak tenang, dan manusia, seperti biasa, menggali lebih dalam dari yang semestinya.
Saya membaca kabar itu pagi-pagi, dengan cahaya matahari belum sempat menerangi sepenuhnya. Pemerintah menghentikan kegiatan tambang di Raja Ampat. Ada perasaan aneh di dada—campuran antara lega dan duka. Lega karena luka itu mungkin tak diperparah. Duka karena, seperti luka-luka lama, ia baru dihentikan setelah jerit panjang dan perjuangan panjang yang memar. Di balik kemenangan itu, saya mulai bertanya-tanya, dengan cara seorang santri bertanya pada gurunya yang tak kelihatan: lantas, apa peran kita setelah ini?

Ketika Karang Bicara
Di pondok pesantren, saya dibesarkan oleh bunyi: suara kitab kuning dibaca keras-keras, kadang terbata, kadang gemetar. Di sana saya belajar bahwa hidup bukan hanya tentang menjauh dari mudarat, tapi juga menjemput maslahat. Tugas santri bukan semata-mata menolak yang bathil, tapi juga merawat yang haq agar tumbuh.
Raja Ampat bukan hanya tempat. Ia adalah wajah Indonesia yang lebih jernih dari cermin. Ia tidak hanya rumah bagi karang dan ikan napoleon, tapi juga rumah bagi rasa tanggung jawab kita terhadap dunia yang diciptakan dengan ‘kun’, maka jadilah.
Pertambangan yang tidak memerhatikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) ibarat membaca teks tanpa tafsir. Ia buta terhadap konteks, tuli terhadap sekitar, dan buta huruf terhadap alam. Dalam tradisi santri, membaca tidak cukup dengan ‘membaca’—harus ada tafaqquh, pendalaman. Alam pun begitu. Tidak cukup dilihat sebagai komoditas; ia perlu dibaca sebagai ayat.
Karena itu, penghentian tambang bukan akhir. Ia hanya permulaan bab baru. Dan saya percaya, santri bisa menjadi bagian dari bab itu.
Mantap mas