Sudahkah Pesantren Mencerdaskan Santrinya?

2,062 kali dibaca

Tujuan berdirinya pesantren sebagai lembaga pendidikan tidaklah berbeda dengan tujuan pendidikan yang telah dirancangkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Berdasarkan UU tersebut, tujuan pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani, dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Kata kunci dari tujuan pendidikan yang telah disebutkan tadi adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Jika semua pelajar memiliki kecerdasan, maka bisa dianggap proses pendidikan yang dilakukan berjalan sesuai dengan tujuan yang ada.

Advertisements

Akan tetapi, timbul pertanyaan, apakah pendidikan di pesantren sudah mencerdaskan kehidupan bangsa, khususnya para santrinya? Pertanyaan itulah yang menjadi pokok permasalahan yang perlu ditinjau oleh lembaga pendidikan seperti pesantren yang metode pendidikannya beragam jenis. Ada pesantren yang memfokuskan santrinya mengkaji kitab-kitab klasik, ada juga yang hanya menghafal Al-Qur’an. Ada juga yang bermodel salaf dan ada pula yang modern.

Disusul dengan pertanyaan, manakah model pendidikan pesantren yang paling benar dan dapat mencerdaskan santrinya?

Jika tolok ukur lembaga pendidikan dilihat dari keberhasilan mencerdaskan muridnya, maka persentase lembaga yang paling banyak mencerdaskan muridnya adalah lembaga yang berhasil memenuhi tujuan pendidikan di Indonesia. Lalu, Apakah saat ini lembaga pendidikan pesantren sudah mendorong penuh kecerdasan santri yang berbeda-beda itu?

Untuk itu perlu dielaborasi dulu apa yang dimaksud dengan kecerdasan. Membahas tentang kecerdasan, seorang pakar psikologi asal Amerika Serikat Howard  Gardner dalam bukunya yang berjudul Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences, mengemukakan bahwa setiap manusia dilahirkan memiliki 8 kecerdasan dan disempurnakan lagi menjadi 9 kecerdasan.

Gardner juga berpendapat bahwa kecerdasan tidak dapat dilihat dari skor ujian saja dan tidak juga dapat dihitung dengan angka. Konsep kecerdasan Gardner ini mengubah banyak penilaian yang keliru tentang siapa sebenarnya orang yang cerdas. Apakah kesembilan konsep itu? Dan bagaimana seharusnya pesantren memberikan ruang kepada santrinya untuk melatih kecerdasan tersebut?

Pertama, kecerdasan linguistik. Kecerdasan ini merupakan kemampuan menggunakan kata secara efektif baik bahasa lisan maupun tulisan. Dalam hal ini seharusnya pondok pesantren memberikan kesempatan luas kepada santrinya untuk melatih kecerdasan ini. Tentu, banyak cara yang bisa dilakukan, seperti memberi forum rutinan untuk mereka berpidato, orasi, mempelajari bahasa asing, memerankan drama, dan menyampaikan puisi atau cerita.

Kedua, kecerdasan matematis. Kecerdasan ini berkaitan dengan bilangan dan logika. Rasional dan kritis dalam berpikir merupakan aspek yang biasanya dimiliki oleh orang yang memiliki kecerdasan ini. Tidak semua pondok pesantren mengajarkan ini kepada santrinya. Bahkan, masih ada yang menganggap matematika tidak penting dengan dalih tidak digunakan dalam memahami Al-Qur’an dan kitab-kitab klasik. Padahal, matematika adalah hal dasar dalam berlogika. Dan logika yang benarlah yang dapat menuntun kita pada pemahaman yang benar untuk mempelajari Al-Qur’an dan kitab-kitab klasik.

Ketiga, kecerdasan ruang. Orang yang memiliki kecerdasan ini biasanya memiliki keahlian dalam bidang kesenian, seperti melukis, menggambar dan memiliki kreativitas tinggi untuk menghasilkan sebuah karya. Karena yang memiliki kecerdasan ini dapat menangkap dunia visual dengan baik. Jika pondok pesantren dapat melatih dan memfasilitasi santrinya dalam hal ini, kemungkinan besar santri bisa menghasilkan karya-karya baru dan  menemukan penemuan-penemuan dalam bidang sains dan teknologi.

Keempat, kecerdasan kinestetik. Ini merupakan kemampuan menggerakkan badan untuk mengekspresikan perasaan dan gagasan. Maka kelompok kesenian atau teater dalam pondok pesantren sangat diperlukan untuk melatih kecerdasan kinestetik para santri. Karena kecerdasan kinestetik bisa dilihat dari keahlian seseorang dalam mengontrol tubuhnya, seperti menari, pantomim, berakting dan bisa mengamalkan sunah Nabi Muhammad, yaitu berenang dan berkuda.

Kelima, kecerdasan musikal. Kecerdasan ini adalah kemampuan untuk mengembangkan, mengekspresikan dan menikmati bentuk-bentuk musik dan suara, peka terhadap ritme, melodi, dan intonasi serta kemampuan memainkan alat musik. Untuk mendapatkan kecerdasan ini memang tidak mudah,  harus banyak berlatih dan tekun untuk bisa memiliki kecerdasan ini. Yang menjadi kendala, adanya pondok pesantren yang belum bisa menerima musik. Padahal santri selalu diajarkan untuk bisa berdakwah. Dan berdakwah tidak hanya melalui kajian saja. Berdakwah juga bisa dipadukan dengan musik yang bernuansa islami.

Keenam, kecerdasan interpersonal. Kecerdasan ini mengarah pada kemampuan seseorang untuk memahami lingkungan, mengenal emosi diri sendiri dan orang lain. Dalam hal ini, orang tua dan guru di pesantren memiliki peran mutlak dalam mengembangkan kecerdasan ini. Orang tua dan guru yang baik harus bisa mencontohkan kebaikan kepada muridnya Karena, bagaimana orang tua dan guru  bersikap akan ditiru oleh muridnya.

Ketujuh, kecerdasan intrapersonal. Kecerdasan ini lawan dari kecerdasan Interpersonal. Yaitu kemampuan untuk mengerti dan menjadi peka terhadap perasaan, intensi, motivasi, watak, dan temperamen orang lain. Kecerdasan ini dapat diketahui dengan bagaimana seseorang bersikap dan membangun hubungan baik antar manusia. Hal ini juga menjadi tanggung jawab guru dan orang tua.

Kedelapan, kecerdasan lingkungan. Kecerdasan ini lebih mendalami tentang emosional seseorang dalam menanggapi lingkungan. Anak yang memiliki kecerdasan ini biasanya suka mengamati, peduli pada objek alam, seperti hewan, tanaman, dan lain-;ain. Kecerdasan ini termasuk kecerdasan emosional, jadi hanya perlu pengawasan dari orang tua dan guru di pondok.

Kesemban, kecerdasan eksistensial. Kecerdasan ini berkait dengan kecakapan dan kemampuan seseorang untuk menjawab persoalan-persoalan tentang kemanusiaan dan tujuan hidup. Dengan kecerdasan ini, seseorang bisa mematuhi kewajiban yang ditetapkan oleh Tuhan. Kecerdasan inilah yang menurut penulis hanya diajarkan di seluruh pesantren. Sedangkan masih banyak kecerdasan lain yang perlu diasah dan dilatih agar bisa mewujudkan santri yang cerdas sesungguhnya.

Keseluruhan kecerdasan tersebut memang tidak mudah didapatkan. Perlu adanya latihan untuk mengembangkan kecerdasan. Banyak juga faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuhnya kecerdasan setiap santri. Faktor lingkungan, orang tua, kesempatan dan fasilitas yang diberikan menjadi sangat penting untuk dipenuhi oleh lembaga pendidikan, khususnya Pesantren. Agar santri saat ini tidak hanya  menguasai pelajaran agama saja. Tetapi, bisa memiliki tiga sampai lima kecerdasan, lebih baik lagi semua kecerdasan dapat dikuasai.

Maka dari itu, penulis sangat berharap lembaga pendidikan seperti pesantren tidak hanya membahas hal-hal yang bersifat teoritis. Perlu adanya pengembangan dan transformasi model pendidikan yang bisa mengantarkan muridnya memiliki kecerdasan yang beragam jenis, seperti di atas. Penulis berharap, semoga hal itu dapat terwujud agar tumbuh generasi yang cerdas dan dapat menjadikan Islam dan negara ini lebih sejahtera lagi. Aamiin.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan