Sosiologi Nusantara: Pendorong dan Bentuk Teorinya

1,494 kali dibaca

Saya termasuk mahasiswa Sosiologi Agama yang seringkali kelimpungan memilih paradigma pada tugas penelitian yang diberikan dosen. Saya merasa, teori-teori ilmu sosial yang ada dan saya pelajari dalam perkuliahan –kebanyakan berasal dari ilmuwan Barat- tidak cukup bisa secara sempurna menjelaskan fenomena sosial di Indonesia yang biasa diteliti mahasiswa seperti saya.

Memang kalau dipaksakan, fenomena sosial yang diteliti berdasar teori-teori itu, dapat dijelaskan dalam hasil penelitian. Namun, menurut saya, masih banyak hal yang terlewati dalam penjelasan berdasarkan paradigma teori-teori ilmuwan barat tersebut.

Advertisements

Cara kerja peneliti ilmu sosial kurang lebih membaca terlebih dahulu kronologi dalam teori ilmu sosial tertentu, kemudian mencocokkanya dengan data-data dalam fenomena sosial yang diteliti. Peneliti kemudian menyusun penjelasan fenomena sosial itu lewat kronologi teori-teori sosial yang ada, yang sebenarnya disusun berdasarkan fenomena sosial di tempat dan waktu yang lain, dengan kemungkinan perbedaan variabel yang jauh sekali.

Prinsip penggunaan teori dalam penelitian memanglah prinsip deduksi, dan itu secara mudah bisa kita terima dalam ilmu alam. Tapi bagaimana dengan kajian dalam ilmu sosial yang lebih dinamis?

Menerapkan teori relativitas atau hukum Newton pada banyak gaya suatu benda, misalnya, meskipun lokasi benda itu terbentang jaraknya antara ujung dunia dengan ujung lainnya, angka yang didapatkan akan relatif sama.

Tapi bagaimana dengan menerapkan teorinya Durkheim soal totemisme di tempat dan waktu yang berbeda? Apakah bisa diterapkan untuk melihat realitas animisme di Jawa, misalnya, secara sempurna? Sebab benda di berbagai penjuru dunia merupakan benda mati dan relatif statis, tapi kebudayaan atau manusia yang dikaji dalam ilmu sosial itu dinamis (Jujun S. Suriasumantri, 2015).

Untuk itu, diperlukan indigenisasi atau kontektualisasi ilmu-ilmu sosial dengan langkah yang lebih elaboratif. Para ilmuwan sosial kita jangan lagi menjadi apa yang disebut Ngatawi El-Zastrouw sebagai “pemulung” teori-teori sosiologi yang dikonstruksi oleh para intelektual Barat. Mereka mengambil teori-teori tersebut apa adanya, kemudian berusaha menerapkan atau menggunakannya sebagai metode dan alat analisis terhadap realitas sosial masyarakat Indonesia, sebagaimana yang sudah digelisahkan sejak lama oleh Selo Sumardjan dan Kuntowijoyo (Nahdlatul Islam Nusantara: hal. 92, 2020).

Penyebab fenomena penerapan metode ilmuwan Barat secara apa adanya itu, ialah masih langgengnya belenggu imperialisme akademik dan masih mandeknya usaha untuk memerdekakan diri darinya. Ketergantungan akademik itu sebagai akibat dari ketergantungan ekonomi dan faktor psikologis para intelektual. Bahkan bisa dikatakan, ada perasaan bangga dari para akademisi dan intelektual Indonesia ketika mengutip pemikiran para tokoh ilmuwan sosial Barat dalam perbincangan keilmuan (Seri Teori-Teori Sosial Indonesia, Nasiwan & Yuyun Sri Wahyuni).

Indegenisasi sendiri yang dimaksudkan di sini adalah pempribumian, atau proses penumbuhan ilmu-ilmu sosial dari bumi Indonesia atau meminjam teori asing yang kemudian disesuaikan dengan akar budaya Indonesia (Heri Santoso, 1997).

Fungsi indegenisasi ini sendiri berusaha untuk menemukan teori yang sesuai atau cocok dengan konstruksi sosial masyarakat Indonesia sehingga teori tersebut memiliki daya guna yang efektif dan akurat. Apalagi menilik pada proses tumbuh dan berkembangnya, terdapat perbedaan latar belakang dan konteks sosial yang mendasar antara sosiologi di Barat dan di Indonesia.

Sebagaimana yang dijelaskan Ngatawi El-Zastrow dalam Menuju Sosiologi Nusantara, banyak sekali teori-teori ilmu sosial di Barat yang mengalami distorsi bila digunakan untuk meneropong fenomena sosial di Indonesia. Akibatnya, penjelasan penelitian yang dihasilkan pun akan kurang efektif dan akurat.

Misalnya teori evolusi sosial masyarakat dari August Comte, di mana ia membeberkan fase-fase evolusi yang dilewati suatu masyarakat secara linier dan homogen, yang mana itu tidak terjadi pada masyarakat kota-kota di Indonesia, yang seluruh fasenya berada dalam waktu yang bersamaan.

Merintis Teori Sosiologi Nusantara

Tercatat, banyak ilmuwan sosiologi di Indonesia, yang sudah berupaya menjawab kegelisahan akan perlunya indigenisasi ilmu sosial, dengan membangun kerangka teori ilmu sosial tersendiri atau indigenisasi ilmu sosial di Indonesia, seperti yang dilakukan Kuntowijoyo dengan Ilmu Sosial Profetik-nya dan Ngatawi Al-Zastrow yang mencoba menggali teori sosiologi dalam ajaran Kawruh Jiwo dari Ki Ageng Suryomentaram dan Amanat Galunggung yang dikarang Rakeyan Darmasiksa, Raja Sunda ke-25.

Ilmu Sosial Profetik yang digagas Kuntowijoyo dibangun berdasarkan tiga pilar fundamental dan integral, yang bersumber dari Al-Qur’an: humanisasi (cerminan amar ma’ruf/menyeru kebaikan), pembebasan atau liberasi (cerminan nahi munkar/mencegah kemungkaran), dan transendensi (cerminan al-iman billah/kepercayaan kepada Tuhan) (Husnul Muttaqin, 2015).

Ketiga landasan itu, diklaim olehnya sesuai dengan semangat peradaban Barat yang percaya kepada the idea of progress, demokrasi, HAM, liberalisme, kebebasan, kemanusiaan, dan kapitalisme. Hanya saja, jika humanisme Barat lahir dan bertumpu pada humanisme antroposentris, konsep humanismenya Kuntowijoyo berakar dan berpijak pada humanisme teosentris.

Sementara konsep dasar sosiologi yang ditemukan oleh Zastrouw dari dua naskah kuno Nusantara yang ditelitinya adalah konsep integrasi sosial (kabuyutan), pembagian kerja, dan kesadaran sejarah yang ada di naskah Amanat Galunggung. Sementara dalam Kawruh Jiwo, ada konsep empat jenis manusia, rasa, dan karep, serta konsep hubungan timbul balik individu dan masyarakat. Menurutnya, konsep-konsep tersebut genuin dan khas Nusantara yang jika digali lebih lanjut akan bisa menjadi teori sosiologi Nusantara (2020).

Dengan disusunya teori-teori soial tersendiri yang khas Nusantara ini bisa menjelaskan secara lebih akurat tentang fenomena-fenomena sosial di Indonesia. Meskipun, masih bisa dibilang, perjalanan menuju ‘keterlepasan’ dari belenggu imperialisme akademik itu masih panjang. Mengingat, belum lepasnya ketergantungan kita dalam bidang ekonomi dan kepercayaan diri kita belum sepenuhnya pulih. Sementara kekayaan dinamika sosial masyarakat di Indonesia yang terbentang luas dari Sabang sampai Merauke belum sepenuhnya tergarap dalam ilmu sosial kita.

Wallahu a’lam bish showab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan