Serbuk Kopi Hitam

1,167 kali dibaca

Senja mulai beranjak berganti malam. Sepasang suami istri sedang bercengkerama di depan rumah sederhana mereka. Percakapan mereka tentang masa depan terputus begitu saja, saat kopi yang sudah dihidangkan oleh sang istri diminum oleh sang suami, Sarman.

“Dik kopinya, kok, pahit? Belum dikasih gula?” tanya Sarman kepada wanita yang duduk di sampingnya.

Advertisements

“Masak, Mas?” Maryam tanya balik kepada suaminya.

“Iya.”

“Ya, sudah. Aku tambahin gula lagi. Mau?”

Sarman menggeleng pelan. Dia mengisap rokok yang sudah ada di tangan kanannya. Sepersekian detik lengang. Tak ada percakapan antara suami-istri itu. Pandangan lelaki itu menerawang ke atas. Entah apa yang sedang dipikirkannya.

“Dik, apa kita ganti dukun saja, ya? Sudah dua tahun kita gunakan kopi dari Mbah Parjan. Nyatanya kamu belum juga hamil.” Lelaki bersuara sengau itu menoleh sekilas kepada Maryam.

Sudah sepuluh tahun sejak mereka menikah belum ada tanda-tanda kehidupan baru di rahim Maryam. Hal itu membuat Sarman risau. Umur yang sudah tidak muda lagi, menginjak angka empat puluh. Ditambah pertanyaan demi pertanyaan dari tetangga, menjadikan sepasang kekasih itu membelot dari ajaran yang selama ini mereka kerjakan. Dukun yang terkenal sakti mereka kunjungi. Setiap dari sana mereka selalu dibekali oleh Mbah Parjan dengan kopi bubuk hitam. Konon kata si dukun, kopi itu bisa membuat Maryam hamil. Namun, nyatanya sampai dua tahun mereka minum kopi dari Mbah Parjan hasilnya tetap nihil.

“Kita coba sabar dulu, Mas. Mana tahu setelah kopi yang ini habis, aku bisa hamil. Yang terpenting, kan, kita juga selalu berusaha setiap malam.” Maryam mengedip-ngedipkan mata manja kepada suami tercintanya.

Sarman meraup udara dengan berat, lantas mengeluarkannya dengan pelan. Akhir-akhir ini kopi yang disuguhkan Maryam dari Mbah Parjan itu terasa aneh di lidahnya. Terkadang pahit, hambar, dan campur aduk.
***
Sarman dan Maryam pergi ke desa terpencil, tempat Mbah Parjan buka praktik. Mereka mendapat alamat dukun itu dari teman kerja Sarman di pabrik rokok. Mengantungi bekal nekat, pasangan itu rela menempuh perjalanan jauh. Mereka juga harus menempuh jalan setapak yang tak bisa dilalui oleh kendaraan. Perjalanan naik turun bukit. Tibalah mereka di gubuk kecil tempat Mbah Parjo praktik.
“Itu, Mas tempatnya?” tanya Maryam sembari menghentikan langkahnya dengan napas yang naik turun.

“Sepertinya, iya. Ayo, cepat kita ke sana,” ajak Sarman, bersemangat.

“Tunggu dulu, Mas. Aku capek. Kita duduk dulu di sini.”

“Nanti keburu malam, Dik. Ayo, biar lebih cepat urusan kita selesai,” paksa lelaki jangkung itu kepada istrinya.

Terpaksa Maryam pun turut, dengan kaki yang sudah lunglai. Dia mengedarkan pandangannya ke penjuru arah. Tak ada satu pun bangunan ditangkapnya, kecuali gubuk Mbah Parjan. Suasananya seram. Bulu kuduk wanita itu terasa terangkat. Pohon-pohon besar yang ada di sana menambah keangkeran tempat itu. Langkahnya sedikit ragu.

“Mas beneran kita masuk?” tanya wanita berbaju serba hitam itu, saat sudah di depan rumah Mbah Parjan.

“Ya, beneran, ayo, masuk.”

Tiba-tiba pintu rumah sederhana itu terbuka sendiri. Sarman dan Maryam terkaget. Maryam menggaet erat lengan suaminya. Dia bergidik. Sempat menarik tangan Sarman supaya tidak masuk ke tempat mengerikan itu, ketika kaki suaminya mulai melangkah. Namun, Sarman meyakinkannya supaya tetap dengan niat mereka ke sana.

“Silakan masuk.” Suara berasal dari dalam gubuk itu tanpa ada seseorang yang terlihat oleh mata Sarma dan Maryam.

Sarman mengangguk pelan, lantas menuntun istrinya supaya turut. Pelan-pelan sepasang kekasih itu memasuki rumah Mbah Parjan. Suasana di dalam gelap. Ruangan tampak sempit, bergradasi hitam. Sepasang mata tampak di sana sedang menanti mereka. Tak terlalu jelas wajah orang itu. Yang jelas hanya suara tawa dari lelaki yang dipanggil Mbah Parjan itu. Lelaki yang sudah senja itu mempersilakan mereka berdua duduk lesehan.

“Ada apa ke sini?” tanya Mbah Parjan setelah Sarman dan Maryam duduk di depannya.

“Kami mau minta tolong, Mbah,” sahut Sarman.

“Kalian mau minta anak?” sergah lelaki berjenggot panjang itu.

“I-iya, Mbah. Bisa?” tanya Sarman lagi. Sedangkan Maryam hanya diam, ketakutan di samping suaminya.

“Baiklah, ini bawa. Lalu, minum sampai habis. Kalau sudah habis ke sini lagi. Nanti aku kasih lagi kopi yang sudah aku kasih mantra-mantraku,” jelasnya.

Senyum sempurna Sarman terbit. Ada sepercik harapan baginya untuk mendapatkan anak. Dia begitu merindukan bayi dari istrinya. Segala cara akan dia lalukan untuk itu. Termasuk ke dukun, yang sangat bertentangan dengan ajaran yang dianutnya sekarang. Mulanya dia sempat ragu, saat temannya merekomendasikan Mbah Parjan. Akan tetapi, nuraninya kalah dengan keinginannya yang begitu besar supaya istrinya hamil.

“Terima kasih, Mbah.” Sarman menerima bubuk kopi dalam plastik. Jika ditimbang, mungkin bubuk kopi hitam itu ada satu kilo lebih.

“Itu sudah ada mantranya. Kamu minum saja sehari tiga kali,” pesan Mbah Parjan.

“Baik, Mbah terima kasih. Kami izin pamit dulu, Mbah,” ucap Sarman setelah memberikan amplop berisi beberapa lembar uang kertas.

Mbah Parjan hanya tergelak-gelak dan mempersilakan mereka berdua untuk pulang.
***

“Mas, lihat ini berita di televisi! Cepat!” teriak Maryam dari ruang tengah kepada suaminya yang sedang duduk di luar rumah.

“Ada apa, Dik?” tanya Sarman seraya setengah lari mendekati istrinya.

“Itu lihat sendiri.”

Di layar televisi itu, Sarman melihat Mbah Parjan digerebek oleh beberapa polisi. Rumahnya diberi garis polisi. Lelaki tua itu tampak diborgol. Berita itu memuat dukun yang berusaha membunuh secara pelan klien-kliennya dengan cara menyuruh minum bubuk kopi hitam dari dukun itu. Ada beberapa laporan yang masuk ke polisi terkait hal ini, sehingga polisi turun tangan secara langsung. Tidak satu atau dua, tetapi banyak korban dari Mbah Parjan.

“Pantes saja. Akhir-akhir ini rasanya aneh kopinya.”

“Kalau begitu, buang saja, Dik, bubuk kopi hitam dari Mbah Parjan.”

“Iya, Mas.”

Tiba-tiba suara azan maghrib mulai menggema ke telinga setiap insan bernyawa. Sarman dan Maryam saling bertukar pandang. Tersirat sesuatu dalam manik mata keduanya.

“Mas coba kita kembali salat. Sudah lama kita meninggalkan Allah,” ajak Maryam. Azan itu telah mengetuk hatinya yang selama ini tertutup rapat.

“Baru saja aku mau ngomong gitu, Dik. Ya, sudah, ayo kita salat berjemaah di rumah. Aku wudhu dulu, ya.” Lelaki itu berlalu menyisakan istrinya, menuju kamar mandi. Diikuti oleh istrinya.

Akhirnya kewajiban yang sudah lama mereka berdua lupakan, kini mereka kerjakan kembali. Mereka berdua berusaha bertobat sebisa mungkin. Suasana maghrib itu penuh harap dan sendu di rumah sederhana Sarman. Jalan yang benar kini ditempuhnya. Pasrah. Tawakal dengan semua takdir Allah berusaha dilakukan. Allah Maha segalanya. Mungkin sekarang belum diberi amanah anak, tetapi diberi rezeki lewat yang lain. Syukur. Itulah kata yang tepat supaya hati lapang dan hidup tenang dengan semua ketentuan Allah.
***
Riau, 25 Oktober 2021.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan