Petang itu seorang pria paro baya datang ke rumah. Berbekal sebuah capil bekas yang berdiameter cukup lebar, dia menerjang hujan. Mereka sama-sama tak mau mengalah. Sang hujan dengan derai dan angin embusannya, dan si pria dengan capil dan sebuah kabar.
“Nanti tahlilnya habis isya, ya!?” ucapnya sembari sarung terangkat sampai lutut.
“Lah kenapa?”
“Soalnya ada acara habis maghrib,” lengkapnya.
Dia berbalik arah dan menerjang kembali derasnya hujan. Tanpa memikirkan bahwa sang hujan tengah tersinggung dengan langkahnya. Dan seolah menegaskan dengan angin, bahwa orang-orang harus tetap di rumah, tetap bersemayam dengan kehangatan. Dan tetap memeluk sebuah untaian suasana harmonis yang entah bagaimana rupanya.
Apa yang bisa kau ucapkan pada pemuda yang sudah belasan tahun tak menyentuh rumahnya. Bahkan tak pernah sekalipun pulang. Tak punya kerabat, atau bahkan seorang wanita yang dapat ia percayai untuk menitipkan hati. Aku hanya mencoba untuk bertahan di kota yang begitu ramah penduduknya. Tapi tetap saja tak bisa disebut rumah.
Hujan tetap tak mau mengalah pada hiruk pikuk kota ini. Dia masih menitipkan anak-anak gerimisnya hingga azan isya berkumandang. Dan bahkan setelahnya. Aku berjalan menuju tempat acara. Di sebelahnya ada surau yang bahkan orang-orang belum beranjak dari doa mereka. Ini baru awal musim penghujan. Dan seperti biasa, sebuah makhluk kecil penyuka kayu akan mencoba berevolusi agar dapat keluar dari rumahnya. Menjemput kebebasannya yang terlalu semu dan singkat.
Di serambi, sebagian makhluk itu masih beterbangan mengerumuni mata lampu. Sebagian telah tergelak di lantai dengan tubuh yang masih hidup. Namun sayapnya tertempel pada bekas rintik hujan, membuatnya tak dapat beterbangan. Aku mencoba mengambilnya dengan perlahan. Sayapnya lebih tipis daripada kertas di belah tujuh, rapuh. Seakan melambangkan kebebasannya sendiri, seperti malam ini.