Seperti Laron Merubung Neon

1,751 kali dibaca

Petang itu seorang pria paro baya datang ke rumah. Berbekal sebuah capil bekas yang berdiameter cukup lebar, dia menerjang hujan. Mereka sama-sama tak mau mengalah. Sang hujan dengan derai dan angin embusannya, dan si pria dengan capil dan sebuah kabar.

“Nanti tahlilnya habis isya, ya!?” ucapnya sembari sarung terangkat sampai lutut.

Advertisements

“Lah kenapa?”

“Soalnya ada acara habis maghrib,” lengkapnya.

Dia berbalik arah dan menerjang kembali derasnya hujan. Tanpa memikirkan bahwa sang hujan tengah tersinggung dengan langkahnya. Dan seolah menegaskan dengan angin, bahwa orang-orang harus tetap di rumah, tetap bersemayam dengan kehangatan. Dan tetap memeluk sebuah untaian suasana harmonis yang entah bagaimana rupanya.

Apa yang bisa kau ucapkan pada pemuda yang sudah belasan tahun tak menyentuh rumahnya. Bahkan tak pernah sekalipun pulang. Tak punya kerabat, atau bahkan seorang wanita yang dapat ia percayai untuk menitipkan hati. Aku hanya mencoba untuk bertahan di kota yang begitu ramah penduduknya. Tapi tetap saja tak bisa disebut rumah.

Hujan tetap tak mau mengalah pada hiruk pikuk kota ini. Dia masih menitipkan anak-anak gerimisnya hingga azan isya berkumandang. Dan bahkan setelahnya. Aku berjalan menuju tempat acara. Di sebelahnya ada surau yang bahkan orang-orang belum beranjak dari doa mereka. Ini baru awal musim penghujan. Dan seperti biasa, sebuah makhluk kecil penyuka kayu akan mencoba berevolusi agar dapat keluar dari rumahnya. Menjemput kebebasannya yang terlalu semu dan singkat.

Di serambi, sebagian makhluk itu masih beterbangan mengerumuni mata lampu. Sebagian telah tergelak di lantai dengan tubuh yang masih hidup. Namun sayapnya tertempel pada bekas rintik hujan, membuatnya tak dapat beterbangan. Aku mencoba mengambilnya dengan perlahan. Sayapnya lebih tipis daripada kertas di belah tujuh, rapuh. Seakan melambangkan kebebasannya sendiri, seperti malam ini.

Aku menempelkannya pada telunjuk jari. Makhluk itu menggetarkan sayapnya beberapa kali. Berusaha mengeringkan harapannya, memulihkan kebebasannya.

“Hei, kawan. Katakanlah kepadaku bagaimana Tuhan menciptakan sebuah kebebasan?”

Sayap mungilnya tak lagi bergetar. Makhluk itu terdiam seakan bingung sendiri dengan pertanyaanku, atau memang tak tahu bahasaku.

Seekor rayap diciptakan dalam sebuah goa yang gelap. Lalu menetas dan langsung bekerja tanpa protes, tanpa lelah bagai uratnya tak lagi ada. Tak mengenal protes dan sesambatan layaknya manusia. Tapi di masa ini mereka mendapatkan amanat baru. Menumbuhkan sebuah harapan dan mencicipi sebuah kebebasan, dalam semalam.

“Ji, ayo kita mulai.”

“Tapi yang lain belum datang.”

“Seadanya saja, agar lebih cepat selesai.”

Ruang tamu yang empunya hajat tengah dilanda banjir ringan. Terlihat beberapa timba dan bak ada di sana. Sebuah karpet kecil cukup untuk lima orang telah digelar. Dan memang hanya secukup itu orang yang datang. Laron yang ada di tanganku tampaknya telah pulih sepenuhnya. Sayapnya telah kering dan siap menyongsong cahaya. Lebih dari cahaya suram dari lampu teplok yang ada di surau. Dan dia mulai terbang menuju cahaya di tengah ruang tamu.

Sewaktu kami memulai bacaan, laron itu tepat mengelilingi mata lampu. Aku melihatnya seperti tampak kegirangan, lalu tak lama dia mulai lelah. Tak mendapat sebuah pijakan ia akhirnya menginjakkan kakinya pada sang lampu. Panas menjalar dari intinya. Menuju si laron kecil dan membakar tubuhnya. Lampu sedikit berkedip dan melentikkan sedikit api. Keempat sayapnya berhamburan jatuh , diterpa angin yang menyelip dari sela jendela dan pintu.

Aku yang memandangnya dan berdoa semoga dia ditempatkan pada surga. Namun pikiranku sendiri menyangkalnya. “Adakah surga bagi makhluk kecil seperti kami?” tanya si laron. “Mungkin, aku juga tak tahu. Banyak rahasia Tuhan yang disimpan dari semesta.”

Percakapan itu sekilas terpikir dalam imajinasiku.

Tapi di sela itu semua kejadian laron seolah menamparku. Bahwa tak selamanya terang adalah harapan. Bisa saja yang kau anggap terang malah membunuhmu. Kadang gelap malah lebih membuatmu nyaman, aman, tenang, dan menghidupi.

Ah, kejadian itu membuatku menarik ingatan ke belakang. Seolah memoriku ingin mengangkat segala yang telah terpendam sekian lama. Kampung halaman, suasana perdesaan, laron yang dicari untuk bahan santapan. Ah, entah sampai kapan Tuhan ingin aku menjadi rayap pekerja. Terlebih di goa-goa orang lain. Menggerogoti tiap sumber daya yang ada di sana, dan tubuhku yang mulai digerogoti usia. Bagaimana kabar emak di sana? Apakah surau sebelah rumah masih di pakai? “Ah, aku cuma rindu. Itu saja,” desisku pada angin di jalan sembari membawa seember berkat.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan