Seorang Perawat yang Mengusik Masa Lalu

3,322 kali dibaca

Terkantuk-kantuk mataku menatap tabung infus yang menetes lambat. Kurebahkan kepala ini di samping tubuh ibuku yang terkulai lemah. Semenjak tadi sebenarnya telah kupejamkan mataku. Tapi rasa cemas dan khawatir atas kesehatan ibu yang kian memburuk membuatku tak bisa tidur.

Kulihat lagi tabung infus itu, sebentar lagi minta diganti. Tetes demi tetes tak luput dari perhatianku. Perawat tadi memintaku untuk segera memberitahu jika infus habis. Maka aku tak boleh tidur. Kupaksa mataku supaya terbuka lebar. Detik demi detik berlalu, dan infus itu belum juga habis. Dan kemudian rasa pusing mulai menyergap kepalaku. Rasa kantuk juga ikut-ikutan menyergap mataku.

Advertisements

“Lho Mas! Sudah dibilangin segera lapor kalau cairan infus habis, malah tidur!”

Suara heboh seorang perawat membuyarkan kantukku. Ternyata aku ketiduran. Kulihat perawat itu telah berlari keluar. Tubuhku mendadak lemas menyadari kealpaanku. Memang benar ucapannya. Kulihat tabung infus telah kosong dan kisut. Tetesannya telah berhenti. Aku berdiri mendekat, mengecek kondisi ibu. Dadaku berdebar cemas. Syukurlah, kulihat mata ibuku masih terbuka dengan sesekali kedipan mata. Tapi dia tak menyahut panggilanku. Kubuka maskernya. Bibirnya telah kebiru-biruan. Dan tiba- tiba pintu berderit. Perawat itu masuk kembali membawa tabung infus baru.

“Maaf, ketiduran, Mbak,” ucapku penuh penyesalan.

Perawat itu melihatku sekilas. “Harusnya minta maaf pada ibu, Mas. Ibumu, maksudku. Bukan aku,” perempuan itu mengomel lagi.

Ah, kenapa tiba-tiba omelan perawat itu terdengar merdu di telingaku? Lalu timbul pertanyaan di kepalaku. Kapan aku akan menikah? Rasanya akan indah jika hari-hariku sering dihiasi omelan seorang istri. Jika dia marah padaku, aku akan mencubit hidungnya. Suatu saat jika aku sudah menikah nanti. Hmm… syahdu sekali sepertinya. Tensi darah ibuku pun mungkin akan turun jika aku telah punya istri. Sayang sekali, mencari istri tak semudah mencari warung kopi yang bertebaran di setiap penjuru negeri ini.

“Iya Mbak. Saya sudah dimaafkan ibu. Bahkan sebelum saya sendiri meminta maaf,” aku berbicara sekenanya. Ibuku melengos mendengar selorohku.

“Coba diingat-ingat. Apa iya kesalahan Mas sudah dimaafkan semua oleh ibu,” sahutnya sambil membenahi letak selimut yang mulai awut-awutan.

“Darah tinggi bisa juga karena pengaruh pikiran lho,” perempuan itu bicara lagi. Tangannya cekatan mengganti infus. Lalu suara lembutnya menanyai keluhan apa yang dirasakan ibuku.
Dari tempatku duduk, kuperhatikan terus gerakan perawat itu. Hmmm. Mungkin ini alasannya ibu dulu ngotot sekali menjodohkanku dengan anak temannya yang seorang perawat.

Masih ingat betul kata-kata ibuku waktu itu. “Lihat Jihan itu Mus, sudah cantik, santri, perawat lagi. Kau tahu kelebihannya perawat? Orang lain saja dirawat, apalagi orang tuanya? Kau tahu kelebihannya santri? Tuhan yang tak kelihatan saja dicintai dan ditaati, apalagi dirimu yang tampak gagah perkasa ini?”

Ah, ibu. Kamu memang cerewet untuk hal yang kamu anggap baik, terlebih itu untuk anak semata wayangmu ini. Tapi apa daya, tidak ada Jihan di hatiku. Kurasa Jihan terlalu pemalu, terlalu feminis. Padahal aku menginginkan sosok istri yang bisa kuajak bicara, diskusi, bahkan debat sekalipun. Rumah tanggaku akan tampak hidup dengan adanya perempuan yang kritis, dan kriteria itu ada pada Reina. Jihan? Dia terlalu lembut, penurut, hidup bersamanya akan terasa hampa, pikirku waktu itu.

Sekarang?

Setelah Reina, kekasihku, itu ditolak menjadi menantu oleh ibuku beberapa tahun yang lalu, hatiku belum lagi pernah luluh di hadapan tatapan mata seorang wanita. Mungkin hatiku telah berubah tandus. Tak cukup mampu menumbuhkan tunas-tunas cinta yang baru.

Kala itu aku telah lulus kuliah, dan telah mendapatkan pekerjaan tetap sebagai seorang akuntan perusahaan besar di Surabaya. Ibuku yang memang sejak kecil belajar di pesantren mengharuskanku menikah dengan seorang perempuan yang punya latar belakang pesantren. Dan sosok yang ia pilih itu adalah Jihan, putri teman ngajinya yang juga pernah nyantri. Reina yang sudah kupacari sejak SMA pun kemudian ditolaknya. Dia terlalu kasar dan cerewet untuk ibuku yang menyukai kelembutan. Ibu menolak calon pilihanku, sedangkan aku menolak calon pilihannya. Jadilah aku tetap melajang di usia yang telah genap tiga puluh tahun ini.

Setelah ditinggal wafat ayah ketika aku masih kecil aku hanya hidup bersama ibu, seorang perempuan tangguh yang sangat baik. Dan wujud kebaikannya tak jarang diluapkan dalam bentuk cerewetnya itu. Ketika masih SMA aku selalu dibangunkannya jam tiga pagi untuk salat tahajud. Tak ingin hidup sendirian, aku dilarangnya sekolah ke pesantren.

Pelajaran agamaku diajar sendiri oleh ibuku yang punya darah ulama. Perempuan tangguh yang mempekerjakan beberapa penjahit itu sendiri yang mengajariku kitab kuning, dan aku tak begitu paham.

Hubunganku dengan ibu terbilang akrab. Aku suka mencandainya. Termasuk ketika aku candai dia supaya nikah dengan Haji Mahmuddin, juragan dawet. Tawaranku itu ditolaknya. Cintanya pada mendiang ayah tak akan goyah walau telah dipisah oleh maut, katanya begitu padaku ketika aku masih SMA dulu. Mungkin memang sudah bawaan kami untuk saling menolak calon yang diusulkan satu sama lain.

***

Tak berapa lama kemudian perawat itu selesai mengganti infus. Ruangan kamar kembali sepi. Pasien di ruangan itu cuma ada ibuku. Di musim pandemi ini penghuni rumah sakit menyusut tajam. Penyakit ringan tak akan dibawa ke sini. Apalagi penjaga pasien tidak boleh lebih dari satu dan tidak boleh ada pembesuk, maka rumah sakit besar ini terasa mencekam. Di mana-mana tercium aroma kematian. Kemewahan dunia kehilangan pesonanya di tempat ini.
Aku mencoba keluar kamar. Suasana redup terpampang di depan mata. Lorong-lorong panjang dan temaram tampak lengang. Hawa dingin menyeruak. Ketika alu lewat beberapa kamar tadi tampak para penjaga pasien berwajah murung sedang bertopang dagu menyangga kesedihannya. Memang tabu ada tawa di tempat sedih seperti ini. Tiba-tiba terbersit keinginanku untuk minum kopi panas. Aku kembali masuk kamar untuk melihat kondisi ibu.

“Bu,” panggilku lirih.

“Apa,” dia menjawab lirih pula.

“Aku keluar dulu beli kopi ya, boleh?”

“Iya,” jawaban ibuku tetap lirih.

Kukecup keningnya.

“Seperti mau ke mana saja Mus…” bisiknya. Aku tertawa kecil. Sepertinya kondisi ibuku sudah mendingan.

“Tidurlah Bu,” ucapku sambil melangkah pergi.

Ketika sampai di kantin aku segera membuka HP yang tidak sempat kubuka hampir seharian ini. Notif chat whatsapp berdentingan menggetarkan HP di sakuku, kulihat ada ratusan jumlahnya. Kupilih chat dari grup kantor, ternyata isinya tentang tugas-tugas baru. Banyak sekali pekerjaan yang harus diselesaikan. Aku sempatkan menelepon beberapa teman untuk bagi tugas. Setelah itu aku menghubungi teman-teman untuk mengkonfirmasi beberapa data. Aku kemudian menyeruput kopi yang kupesan tadi. Sudah dingin. Ternyata sudah lama aku meninggalkan ibu sendirian. Kopi itu kutandaskan dan segera bergegas untuk menuju kamar inap ibuku.

Jleg!

Di depan mataku kulihat perawat itu sedang membersihkan badan dan baju ibuku. Entah apa yang telah terjadi. Perasaanku tidak karuan melihat perempuan yang telah melahirkanku itu tampak lemah tak berdaya, tanpa ada aku di sampingnya.

“Kenapa Bu?” tanyaku parau.

Tak ada jawaban. Dan perawat itu masih membersihkan ibuku dengan washlap dan handuk kecil.

“Ibunya diare Mas, kenapa sampai ditinggal begitu lama?” omel perawat itu lagi.

Aku merasa canggung, haruskah kubantu dia membersihkan sisa diare ibuku? Tapi aku tak biasa berdekatan dengan wanita. Akhirnya aku hanya bisa menonton tangan cekatan penuh kelembutan perawat itu.

“Mus, kamu kok diam saja?” tanya ibu dengan tatapan beku. Sekali lagi, ibuku wanita tangguh yang pantang mengaduh atau mengeluh menghadapi rasa sakit. Wajahnya tampak tenang walau tubuhnya menahan sakit.

Aku bingung harus menjawab apa. “Itu sudah dibantu mbaknya, Bu. Nanti malah jadi ngganggu kalau aku ikutan ke situ,” jawabanku tercekat ragu.

“Tadi baru ngecek tugas kantor, jadi lama. Ternyata diarenya kambuh lagi,” dengusku.

“Makanya cepat cari istri biar ada yang merawat ibumu ini,” jawaban ibu menohokku.

“Lha itu sudah ada yang merawat, Bu,” kujawab ucapannya dengan cengengesan.

“Kamu itu, laki atau bukan suruh nikah mbulet saja dari dulu,” ibu semakin tajam menghinaku. Dasar ibu. Sakit saja masih sempat melontarkan cacian padaku.

“Ya nanti, Bu. Jangan kaget kalau anakmu ini langsung menikahi dua istri,” kujawab dengan sombong.

“Halah! Satu saja nggak dapat-dapat!” dengusnya. Aku tertawa. “Dulu bilang nggak mau sama calon yang dicarikan ibu. Mus…Mus.”

“Ibu juga sih, nggak mau sama calonku yang jelita, pintar, dan baik itu. Ya sudah, begini jadinya. Ibu harus sabar menunggu anaknya ini menemukan sang bidadari pujaan hati,” tangkisku cepat.

“Ibu, tidak boleh marah-marah ya, nanti tensinya naik,” tutur perawat itu lembut. Aku terdiam memperhatikan. Ternyata perempuan lembut itu mempesona.

“Ibu itu sedang bercanda Mbak. Dia paling pandai menertawakan hidup. Aku pun sering tertawa dibuatnya,” aku menyahut.

Perawat itu kemudian keluar lagi. Aku menunduk begitu dia lewat di depanku. Entah kenapa, ada getaran halus di dadaku berpapasan dengannya. Ibu lantas tidur lagi. Kulihat tetesan cairan infus cepat sekali.

Malam semakin larut. Suasana rumah sakit kian senyap. Aku iseng jalan-jalan melihat suasana. Hanya ada beberapa kamar yang terbuka dan berpenghuni. Tiba-tiba terbersit di pikiranku, bagaimana seandainya tak ada Corona sedang ibu sakit begini? Padahal aku harus kerja dan tak setiap saat bisa menungguinya yang semakin renta. Ah, Tuhan memang pandai menyelipkan hikmah di setiap celah musibah.

Aku melangkah ke depan ruang perawat. Teringat olehku tentang perawat itu. Akan kutanyakan sekalian tentang penyakit ibuku.

Deg!

Dadaku berdesir hebat. Aku berusaha meyakinkan diri bahwa pandangan mataku tak keliru. Di lobi perawat itu kulihat dia tertidur dengan masker yang diturunkannya ke leher. Jihan? Dia Jihan yang pernah dijodohkan ibu padaku itu? Pikiranku meletup-letup. Dadaku bergemerincing riuh. Melihatnya nyenyak dalam tidur kulekatkan penglihatanku padanya. Ternyata Jihan se-mempesona ini? Pantas saja dulu ibu sempat memaksa-maksaku dengannya bahkan hingga tensinya terus naik begini. Hmmm. Ah ibu, kau memang selalu mencarikan yang terbaik buat anakmu yang bandel ini.

Keesokannya perawat yang ternyata Jihan itu datang ke kamar bersama temannya. Ternyata mau rotasi jaga. Habis ini dia akan pulang. Pantas saja dia sangat telaten merawat ibuku. Mereka kenal baik sebenarnya. Mungkin karena dia tak ingin kukenali sehingga tak mau menampakkan diri. Dan tubuhnya yang kini jadi berisi membuatku tak lagi mengenalinya. Terakhir aku melihatnya dua tahun yang lalu. Dan waktu selama itu tentu saja sudah banyak sekali perubahan.
Mondar-mandir aku menanti dia pulang. Setelah kulihat dia berjalan menuju lift aku bergegas menyusulnya. Berhasil! Kini aku berdua dengannya dalam satu lift! Tapi aku bingung bagaimana harus memulai bicara.

“Kamu Jihan, kan?” akhirnya aku memulai percakapan. Tanpa basa-basi.

“Eh. Iya. Mas. Kok Mas tahu?” nada suaranya nampak bergetar. Ternyata bukan aku saja yang nervous.

“Iya. Firasatku tak pernah keliru,” asal-asalan aku berkata. “Sejak kapan kerja di sini?” interogasi berlanjut. Aku harus berhasil. Akan kubahagiakan ibuku dengan mencintainya. “Setahun yang lalu Mas,” jawabnya lirih.

“Hmmm. Sekarang aku tahu kenapa dulu ibu ngotot sekali untuk menjadikanmu sebagai menantu.”

Jihan tak menyahut kalimatku yang tanpa tedeng aling-aling itu.

“Sekarang kamu pasti tahu aku masih sendiri. Iya kan?”

Dia tetap membisu.

“Bukankah kamu juga masih sendiri sekarang?” tanyaku, menguatkan diri menebalkan muka.

“Maaf, Mas. Firasatmu keliru. Aku harus segera pulang untuk meneteki anakku,” ucapnya lirih, membungkamku.

Lift terbuka. Dia lantas melangkah pulang. Wajahku pias. Tubuhku lemas. Kuhirup napas dalam-dalam, lalu kulepas perlahan. Entah akan kutaruh di mana mukaku jika dia akan mendapat piket menjaga ibuku lagi. Maafkan aku ibu, dulu aku pernah mengabaikan ucapanmu.

Cemoro, 22 Juni 2020.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan