Senja di Kebun Kapulaga

1,192 kali dibaca

Surayut terus melamun. Bahkan ketika pantatnya yang menempel di atas kursi empuk itu telah terasa panas, ia tetap duduk. Kedipan matanya juga mengerjap lambat.

Di depannya ada segelas teh yang telah menjadi dingin, tak tersentuh oleh bibir yang mengering. Seekor lalat mencecapnya, di ujung bibir gelas. Dan perempuan bertubuh kering itu sama sekali tak menghiraukan. Pikirannya terus berpijar, menyusuri lorong-lorong waktu yang telah ia lewati hingga detik ini.

Advertisements

Baru seminggu yang lalu Surayut menjanjikan Arjuan melanjutkan sekolah. Sepetak tanahnya akan ia jual untuk membiayai anak semata wayangnya itu kuliah kedokteran di kota, seperti janji mendiang suami yang mewarisi dua hektare tanaman kapu laga, yang kini ia jadikan sandaran untuk mencukupi kebutuhan hidup, mengobati stroke, serta untuk keperluan suami barunya.

Tanah itu dibeli dari jerih payah mereka berjualan hasil pertanian di pasar Donomulyo selama bertahun-tahun. Ketika harga kapulaga meledak, mendiang suami pertamanya dulu cepat-cepat menanaminya dengan kapulaga. Kini, bertahun-tahun lamanya setelah tumbuhan itu pertama kali ditanam, ia dapat menghasilkan uang berjuta-juta setiap kali panen.

Suaminya meninggal tatkala kapulaga itu baru mulai berbuah, dan Arjuan masih kanak-kanak kala itu. Dia menikah dua tahun berikutnya dengan seorang pemuda tampan. Hidupnya ia renda hari demi hari bersama lelaki bernama Harjo itu sembari membesarkan anaknya. Mimpi mendiang suaminya untuk menjadikan Arjuan sebagai dokter kian jadi nyata. Di sekolah, anak itu tak pernah luput dari prestasi.

Akan tetapi mimpi-mimpi untuk menyekolahkan anaknya itu harus pupus musnah beberapa hari yang lalu. Ketika Surayut ke ladang untuk mengirimi Arjuan makanan kesukaannya, ia temukan beberapa tanaman kapulaga roboh berantakan dengan jejak-jejak busa yang menempel di dedaunan dan bercecer di tanah basah.

Bau asap rokok melesat memenuhi rongga penciumannya. Matanya sibuk mencari. Lalu ia temukan batang rokok itu masih berasap di bawah pelepah pohon pisang dan batang kapulaga. Naluri keibuannya membuncah penuh kekhawatiran. Ia sibak daun-daun kapulaga yang rimbun, yang menampar-nampar wajah dan tubuh keringnya.

Pagi itu Arjuan pamit padanya untuk menengok saluran air yang mengairi dua hektare lahan kapulaga. Untuk sekadar mengairi, Surayut tak pernah menyuruh orang lain. Ketika tubuhnya masih sehat dulu, dialah yang mengerjakannya. Namun semenjak dia sakit-sakitan tak ada lagi kegiatan berarti yang dia lakukan di ladang itu.

Harjo, suami barunya itu hanya sesekali datang ke ladang untuk mengairi kapulaga. Tapi setelah beberapa tahun berselang, Harjo lebih sering menyuruh orang untuk melakukan pekerjaan ringan itu. Ia sendiri menghabiskan waktunya di warung kopi tengah pasar atau bertandang ke bar-bar. Dan sejak itulah Arjuan yang mengairi ladang kapu laga serta mengurusnya.

Puncak kekhawatiran itu dirasakan Surayut tatkala melihat sesosok tubuh tak bernyawa ditimbun dedaunan kapulaga. Tampak di depan matanya ada telapak tangan yang menyembul di antara dedaunan. Surayut terus mendekat. Lalu dadanya seketika terkesiap. Mayat itu adalah Arjuan, anak semata wayangnya. Mulut anaknya bersama suami pertama itu penuh busa. Sontak, Surayut berteriak-teriak histeris di tengah ladang kapulaga yang jauh dari pemukiman itu.

Arjuan kehilangan nyawanya hanya beberapa saat sebelum resmi menjadi mahasiswa. Surayut gelisah. Seolah hidupnya telah habis tak bersisa.

Arjuan keracunan obat hama, begitu orang-orang menduga. Surayut pun linglung kehilangan buah hatinya.

“Sudahlah. Yang pergi biarkanlah pergi. Tidak perlu terlalu disesali,” desis suaminya.
Surayut melongong bengong.

“Ayo kita tengok senja di ladang kapulaga. Udara senja di sana akan menghiburmu. Daun-daunnya begitu rimbun, menyejukkan mata. Apalagi tandan buahnya sudah penuh. Kita akan kaya,” suaminya menyambung ucapan.

“Ladang itu akan kujual sebagian, untuk kuliah Arjuan,” ucap Surayut lembut dengan tatapan kosong.

“Dia akan menyembuhkan penyakitku.”

“Kau mengigau. Mari kuajak ke sana untuk menenangkan diri,” ucap suaminya.

Sepasang suami istri itu kemudian menuju ladang menggunakan mobil berwarna hitam. Langit sore menjuntai memberi warna saga. Angin berembus pelan, meniup dahan-dahan. Sesampainya di sana mereka duduk di dangau pinggir ladang. Menatap perbukitan yang memerah oleh senja.

“Kaulah yang menemukan mayat anakmu. Di tengah ladang dekat selokan pengairan itu. Bagaimana kau mengatakan dia masih hidup?”

Surayut tak menyahut. Matanya nanar dan layu memandang kejauhan yang tak menjanjikan harapan.

“Aku belum percaya anakku pergi secepat itu.”

“Kematian tak mengenal waktu,” suaminya itu menyahut sembari menyeruput kopi.

“Padahal dia sudah dinanti masa depan yang indah. Kepintarannya akan menuntun dia menemukan jati diri. Dia belum seharusnya mati.”

“Lalu?”

“Kematiannya tidak lazim.”

“Apa makasdmu?”

“Mungkinkah pemuda terdidik seperti dia melakukan bunuh diri? Untuk apa? Tak ada masalah yang ditanggungnya.”

“Bisa saja dia baru diputus pacarnya,” sahut Harjo, suaminya.

“Semua gadis memujanya. Tak mungkin dia patah hati. Kalau membuat hati orang lain patah, bisa jadi. Tapi dia tak sejahat itu pada perempuan. Aku tak pernah mengajarinya menghianati cinta.”

“Siapa tahu membuat hati orang lain patah menjadi penyebab hatinya gundah lalu hilang kewarasan,” Harjo menyahut.

“Kau ngarang.”

“Siapa pula yang bilang bunuh diri? Orang-orang bilang dia keracunan obat tikus, kau tak percaya?” Harjo memutar balik pernyataannya.

“Ah, aku tak percaya itu!” Surayut memekik penuh emosi.

“Kau tak lihat puntung rokok itu? Dia menyentuh racun tikus di selokan, atau pojok ladang, atau entah di mana aku tak tahu, lalu tangan kotornya menyentuh rokok. Dan ternyata kepintarannya tak mampu menolak racun yang menjalar di tubuhnya,” suami Surayut itu menyingkap kronologis tragis yang menjadi musabab kematian anak tirinya.

“Sejak kapan anakku merokok??? Kau sungguh mengada-ada!”

“Sejak detik ketika malaikat maut mengincar nyawanya!”

“Kau gila!”

Mereka kemudian membisu. Menemani senja temaram yang juga bisu disentak angin sore.

“Minumlah dulu tehnya, Yut. Kau akan merasa tenang.”

“Aku tak akan tenang sebelum tahu penyebab kematian anakku. Semua orang bungkam. Terlalu mudah percaya pada keadaan atas kematian Arjuan.”

“Minumlah dulu. Nanti akan kutunjukkan,” lelaki itu meremas jemari Surayut. Perempuan paro baya itu perlahan-lahan menyesap teh hangat yang tersaji di depannya.

“Kenapa kau begitu memaksa minum pada orang yang tak haus?”

“Teh tidak hanya untuk menghilangkan dahaga, tapi juga rasa cemas. Di rumah tadi kau tak meminumnya.”

Di dangau tepi ladang itu terdapat tempat beristirahat. Harjo mengajak istrinya rehat sembari menatap langit senja di kejauhan. Dan perlahan-lahan akhirnya Surayut menyeruput teh dalam botol itu.

Petang menerkam kebun itu. Suasana kian lengang. Lampu-lampu yang terpasang di dekat dangau telah menyala, menyingkap gelap yang menyelimuti rimbun pepohonan. Suami istri itu melangkah pelan menuju tengah perkebunan. Daun-daun kapulaga menyapu wajah dan tubuh mereka. Surayut semakin lemah, ia dipapah erat oleh suaminya.

“Kau ajak kemana aku?” tanya Surayut.

“Bukankah kau ingin melihat proses kematian anakmu?”

Mereka melangkah kembali, ditemani bara di ujung rokok lelaki itu. Di kanan dan kiri mereka berkerliplah kunang-kunang yang beterbangan mengiringi gemeretak langkah tatkala menginjak batang-batang kapulaga. Sebagian hinggap di dedaunan dan yang lain menghilang di kegelapan.

“Berhentilah. Perutku sakit sekali. Aku sudah tak mampu ber…,” ucap perempuan itu dengan langkah gontai.

“Bertahanlah. Bukan di sini tempat kematianmu.”

Mereka terus melangkah. Batang-batang kapulaga roboh terinjak kaki-kaki yang berjalan meninggalkan jalan setapak itu. Mereka berjalan tak tentu arah. Menerobos dahan dan menginjak-injaknya. Mulut Surayut mulai berbusa. Meleleh di ujung bibirnya. Busa-busa itu kemudian menetes di dedaunan dan berceceran di jejak langkah mereka.

“Kau akan segera tahu bagaimana kematian menghampiri anakmu.”

Angin sore berkesiutan menggoyang dahan dan dedaunan. Tubuh Surayut menggigil dan mulai berkelejotan. Ia kini dibopong suaminya.

“Seperti ini … pula ka..u bu…nuh anak..ku?”

Lelaki itu tertawa.

“Un…tuk a… pa?” desis Surayut.

Lelaki itu melempar tubuh Surayut ke tengah rimbun batang-batang kapulaga. Menimbunnya dengan daun dan dahan-dahan tanaman obat itu serta beberapa helai pelepah pisang.

“Kau kira apa untungnya aku menikahimu, perempuan tua, kalau semua hartamu kau habiskan untuk berobat dan menyekolahkan anakmu?”

Harjo beringsut ke dangau, meninggalkan mayat perempuan yang pernah dia nikahi itu. Dia menyeringai. Hamparan kapulaga yang menyimpan banyak harta itu akan menjadi miliknya. Dia kemudian pergi, meninggalkan asap rokok serta mayat itu di rimbun dedaunan.

Multi-Page

One Reply to “Senja di Kebun Kapulaga”

Tinggalkan Balasan