Sejarah Pesantren dan Perkembangannya

2,023 kali dibaca

Ma’had atau funduq (bahasa Arab) adalah sebuah bangunan yang ditempati oleh para murid untuk mempelajari ilmu agama. Kehadiran ma’had telah ada sebelum agama Islam masuk di Nusantara pada era ananisme dan dinamisme atau sebutlah pra-Islam. Baru kemudian, setelah tersebarnya Islam di Nusantara, nilai-nilai Islam diterapkan di dalamnya. Di Jawa, istilah ma’had dikenal dengan nama pesantren, di Aceh disebut dayah, di Sumatera Barat disebut sebagai surau, namun di beberapa daerah di Sumatera Barat juga disebut pondok.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Departemen Agama pada tahun 1984-1985, bahwa pondok pesantren pertama dan tertua di Nusantara adalah pesantren Jan Tampes, yang terletak di Pamekasan, Madura.

Advertisements

Penelitian itu tak senada dengan apa yang disampaikan Shadiqin, bahwa pada masa kerajaan Islam Pareuleak, yang berdiri pada tanggal 1 Muharrom 225 Hijriyah/ 839 Masehi, telah ditemukan Lembaga Pendidikan Islam yang bernama Dayah Cot Kala; yang menjadi pusat penyebaran dan pengembangan keilmuan Islam di Aceh.

Kemudian, pada masa Kerajaan Samudra Pasai sekitar tahun 1290 Masehi, berdiri pesantren-pesantren lain, seperti Teungku di Geureudong, Teuku Cot Mamplang, dan beberapa pesantren lain.

Pendirian pondok pesantren di Jawa dipelopori oleh Sayyid Maulana Malik Ibrahim (w.tahun 12 Rabiul Awal 822 Hijriyah/ 8 April 1419) di Gresik, Jawa Timur. Kemudian dilanjutkan oleh para wali yang terkenal dengan sebutan Wali Songo. Mereka mengajak masyarakat untuk meninggalkan sesembahan selain Allah Swt, seperti arwah-arwah nenek moyang, batu, tugu, dan lain sebagainya, untuk mememluk agama Islam dan menyembah Allah Swt.

Pada abad ke-18 M, pondok pesantren di Jawa mengalami perkembangan pesat. Hal ini ditandai dengan berdirinya pondok-pondok pesantren di bagian timur dan barat pulau Jawa. Salah satunya adalah pesantren Sidogiri di Pasuruan. Pesantren ini didirikan oleh Sayyid Sulaiman bin Abdurrahman Basyaiban (w.1780) pada tahun 1745. Beliau adalah salah satu alumni pesantren Sayyid Rahmat bin Sayyid Ibrahim Asmoroqondy.

Kemerdekaan Republik Indonesia tak lepas dari peran dan andil pondok pesantren. Hal itu dibuktikan oleh peran Mbah Hasyim Asy’ari dalam menggerakkan para santri untuk berperang melawan para penjajah, Bung Tomo yang memantik semangat juang arek-arek Suroboyo, dan lain sebagainya.

Seiring berkembangnya zaman, pondok pesantren bukan hanya sebagai lembaga untuk memperdalam ilmu agama saja, melainkan berusaha  mengintregasikan sistem-sistem klasikal dan akademisi pemerintahan ke dalamnya. Uniknya, selain bersifat fleksibel terhadap sistem akademisi, pondok pesantren juga mampu mempertahankan nilai-nilai keagamaan, dan diimplementasikan pada peraturan-peraturan pondok. Hal ini merupakan usaha yang dilakukan oleh pondok pesantren agar tetap eksis di era modernisasi.

Uniknya, setiap dari pesantren memiliki visi dan misi yang berbeda dalam mencetak kader-kader bangsa, tetapi muara mereka sama; menjadikan setiap individu santri memiliki pribadi yang religius dan berguna bagi bangsa dan negara.

Secara kuantitatif, jumlah pondok pesantren terus meningkat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Balitbang Diklat Kemenag, jumlah pondok pesantren di Indonesia pada tahun 2003-2004 adalah 14.656, dan bertambah menjadi 28.961 pada tahun 2014-2015. Adapun, jumlah santri laki-laki pada tahun 2015 mencapai 4.028.660, atau 51,1% jika dipresentasikan. Sedangkan untuk santri putri mencapai 1.968.631 atau 48,9%. Dari data jumlah santri di atas, ada 2.516.591 atau 62,5% santri yang bermukim di pondok, dan 1.512.069 atau 37,5% santri kalong (yang tidak bermukim).

Selaras dengan apa yang dikatakan oleh Mbah Moen: “Kebesaran bangsa Indonesia tidak akan terlepas dari perjuangan ulamanya.” Bahwa pesantren adalah benteng yang kokoh bangsa Indonesia dalam mempertahankan nilai-nilai moralitas, mencetak kader-kader yang berbakat, santun, dan terpelajar.

Tidak hanya dalam bidang dakwah, pondok pesantren juga mampu menciptakan kader-kader intelektual dan ahli dalam bidang politik. Tak sedikit dari alumni pondok pesantren yang mampu mengangkat pendidikan berbasis pesantren dari doktrin-doktrin persuasif, seperti KH Abdurrahman Wahid yang menjabat sebagai Presiden RI ke-4 dan kemudian KH Ma’ruf Amin yang sekarang menjadi Wakil Presiden RI.

Wallahu a’lam bisshowab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan