Seabad NU, Nahdliyin dan Konflik Agraria

1,588 kali dibaca

Isu agraria di Sumenep memang tidak pernah absen dalam menjadi sorotan yang menarik untuk dibahas. Persoalan ini semakin segar dan sering dibicarakan oleh banyak orang akhir-akhir ini. Hal itu disebabkan peralihan tanah dari rakyat kepada kaum pemodal semakin marak, investor dengan karpet merahnya semakin melanggengkan kepentingan. Sedangkan masyarakat lokal nasibnya makin luntang-lantung.

Berbagai aktifis lingkungan unjuk gigi, mereka melayangkan protes dengan segala macam cara, mulai dari membentuk seminar-seminar, kajian-kajian, pengajian, dan beragam sosialisasi pun marak digelar. Bahkan, tahun lalu, buku berjudul Rebutan Lahar di Pesisir Pantai Sumenep terbit. Buku ini menampung segala kritikan dari para aktifis tersebut, dengan masing-masing perspektif dan keahliannya.

Advertisements

Problem agraria di pesisir pantai Sumenep, Madura, memang tidak ada habisnya. Pemodal kian tergiur dengan potensi alam di Sumenep, di satu sisi regulasi dan kekuasaan membantu mereka untuk melancarkan aksinya. Sekalipun protes seringkali dilayangkan, itu hanya dilakukan oleh sebagian kecil saja. Hal tersebut bukan apa-apa, mengingat kekuatan kaum pemodal itu sangat besar (baik kekuatan secara internal maupun kekuatan yang didukung oleh pemerintah setempat).

Berdasarkan data, di tahun 2016 sebagaimana tulisan K A.Dardiri Zubairi mengutip dari Majalah Fajar, sebanyak 500 hektare tanah di Sumenep sudah dikuasai oleh pemodal. Data tersebut diambil 6 tahun silam. Sangat mungkin data terbaru bisa menembus angka ribuan, bahkan melebihi dari apa yang kita bayangkan.

Terlebih, saat ini, pelepasan tanah kepada kaum pemodal semakin masif. Tentu ini merupakan ancaman yang serius, tak hanya dari segi ekonomi—kata Dardiri—penguasaan lahan dalam jangka panjang akan berimbas pada dinamika sosial budaya masyarakat. Bukan tidak mungkin jika pada akhirnya mereka yang sudah tidak memiliki tanah harus angkat kaki untuk mengundi nasib di luar kota, meninggalkan desanya.

Penguasaan lahan juga bukan karena sukarela dari masyarakat. Sebagaimana saya jelaskan di awal, penguasaan lahan terjadi karena beberapa faktor; salah satunya adalah kekuatan pemodal. Kekuatan tersebut berasal dari beberapa hal; seperti legitimasi, ancaman kepada masyarakat, dan melalui doktrin-doktrin halus. Maknanya, dalam mengambil alih tanah tersebut ada unsur paksaan terhadap masyarakat. Sehingga masyarakat—mau tidak mau—harus melepas tanahnya kepada pemodal.

Lalu, bagaimana peran Nahdlatul Ulama (Nahdliyin) dalam menangani isu tersebut? Apa yang seharusnya dilakukan agar penguasaan lahan—utamanya di ujung timur Sumenep—tidak semakin gencar dilakukan?

Peran NU

Sudah seabad NU menjadi organisasi keumatan dan kemasyarakatan. Seabad pula NU berkhidmat dalam banyak bidang, mulai dari politik, budaya, sosial, dan ekonomi. Dengan usia yang terbilang matang ini, rupanya NU terus aktif menjadi tempat berpulang berbagai persoalan yang dialami oleh masyarakat secara umum, dan warga nahdliyin khususnya.

NU memang terbilang giat melakukan gerakan sebagai respon terhadap beberapa isu yang muncul. Tidak hanya dalam hal hukum (dengan bahtsul masailnya), isu-isu lain yang tak kalah penting, semisal radikalisme, liberalisme, dan beberapa kebijkan yang dikeluarkan negara, NU selalu hadir dan sudah seharusnya terus hadir.

Organisasi terbesar ini sebenarnya telah menaruh perhatian lebih terhadap persoalan lingkungan hidup. Beberapa Muktamar yang diadakan oleh NU sebenarnya telah dengan apik menyoroti berbagai permasalahan tersebut dan membahasnya, sebagaimana ditulis Ali Murtadho dalam buku Rebutan Lahan di Pesisir Pantai Sumenep.

Misalnya, pada Muktamar ke-29 di Cipasung, Tasikmalaya pada tahun 1994, NU secara langsung menyoroti tentang industrialisasi yang terjadi, sebagaimana yang ada di pesisir timur pantai Sumenep. Bahkan, di dalamnya dibahas mengenai sikap yang harus diambil jika kemudian terjadi kerusakan, termasuk sanksi kepada perusak.

Mengingat persoalan agraria tak kunjung selesai, dan yang banyak menjadi korban adalah kaum nahdliyin, setidaknya ada beberapa hal yang perlu dilakukan NU ke depan. Pertama, sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, tentunya dakwah yang dilakukan NU tidak hanya membahas mengenai relasi vertikal (seputar ubudiyah; hubungan manusia dengan Tuhannya) saja, namun lebih kompleks juga dibahas mengenai pentingnya relasi horizontal (sesama manusia dan sesama makhluk hidup). Seperti pembahasan mengenai pentingnya menjaga tanah dan merawat lingkungan, sehingga masyarakat tidak mudah melepas tanahnya.

Sebab, salah satu faktor dari maraknya pelepasan tanah yang terjadi adalah dikarenakan minimnya kesadaran warga akan hal itu. Warga dengan mudah melepaskan tanahnya karena  tergiur dengan harga yang ditawarkan tanpa melihat konsekuensi yang ditimbulkan nantinya.

Kedua, selalu mengawal kebijakan pemerintah dalam hal agraria. Pada tahun 2017 dalam Munas Alim Ulama-nya di Lombok, NU setidaknya telah membahas beberapa poin yang mesti dilakukan pemerintah dan sebagai jalan keluar atas beragam konflik agraria yang terjadi. Beberapa poin itu antara lain; menarik kembali tanah yang didistribusikan oleh pemerintah secara berlebihan, menarik tanah yang tidak dimanfaatkan dengan baik dan bahkan mendatangkan madharat, dan mendistribusikan tanah dengan prinsip keadilan, seperti mendistribusikannya kepada para fakir baik secara kepemilikan ataupun tidak.

Dengan beberapa poin di atas, sebenarnya jelas prinsip keadilan yang dianut oleh NU dalam sikap kemasyarakatannya. Jika negara mau merealisasikan poin-poin tersebut, maka bukan tidak mungkin konflik yang terjadi akan reda dan tidak ada penggunaan sewenang-wenang terhadap tanah-tanah yang ada. Wallahu a’lam…

Multi-Page

One Reply to “Seabad NU, Nahdliyin dan Konflik Agraria”

Tinggalkan Balasan