Seabad NU, Nahdliyin dan Konflik Agraria

1,589 kali dibaca

Isu agraria di Sumenep memang tidak pernah absen dalam menjadi sorotan yang menarik untuk dibahas. Persoalan ini semakin segar dan sering dibicarakan oleh banyak orang akhir-akhir ini. Hal itu disebabkan peralihan tanah dari rakyat kepada kaum pemodal semakin marak, investor dengan karpet merahnya semakin melanggengkan kepentingan. Sedangkan masyarakat lokal nasibnya makin luntang-lantung.

Berbagai aktifis lingkungan unjuk gigi, mereka melayangkan protes dengan segala macam cara, mulai dari membentuk seminar-seminar, kajian-kajian, pengajian, dan beragam sosialisasi pun marak digelar. Bahkan, tahun lalu, buku berjudul Rebutan Lahar di Pesisir Pantai Sumenep terbit. Buku ini menampung segala kritikan dari para aktifis tersebut, dengan masing-masing perspektif dan keahliannya.

Advertisements

Problem agraria di pesisir pantai Sumenep, Madura, memang tidak ada habisnya. Pemodal kian tergiur dengan potensi alam di Sumenep, di satu sisi regulasi dan kekuasaan membantu mereka untuk melancarkan aksinya. Sekalipun protes seringkali dilayangkan, itu hanya dilakukan oleh sebagian kecil saja. Hal tersebut bukan apa-apa, mengingat kekuatan kaum pemodal itu sangat besar (baik kekuatan secara internal maupun kekuatan yang didukung oleh pemerintah setempat).

Berdasarkan data, di tahun 2016 sebagaimana tulisan K A.Dardiri Zubairi mengutip dari Majalah Fajar, sebanyak 500 hektare tanah di Sumenep sudah dikuasai oleh pemodal. Data tersebut diambil 6 tahun silam. Sangat mungkin data terbaru bisa menembus angka ribuan, bahkan melebihi dari apa yang kita bayangkan.

Terlebih, saat ini, pelepasan tanah kepada kaum pemodal semakin masif. Tentu ini merupakan ancaman yang serius, tak hanya dari segi ekonomi—kata Dardiri—penguasaan lahan dalam jangka panjang akan berimbas pada dinamika sosial budaya masyarakat. Bukan tidak mungkin jika pada akhirnya mereka yang sudah tidak memiliki tanah harus angkat kaki untuk mengundi nasib di luar kota, meninggalkan desanya.

Penguasaan lahan juga bukan karena sukarela dari masyarakat. Sebagaimana saya jelaskan di awal, penguasaan lahan terjadi karena beberapa faktor; salah satunya adalah kekuatan pemodal. Kekuatan tersebut berasal dari beberapa hal; seperti legitimasi, ancaman kepada masyarakat, dan melalui doktrin-doktrin halus. Maknanya, dalam mengambil alih tanah tersebut ada unsur paksaan terhadap masyarakat. Sehingga masyarakat—mau tidak mau—harus melepas tanahnya kepada pemodal.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

One Reply to “Seabad NU, Nahdliyin dan Konflik Agraria”

Tinggalkan Balasan