“Saya Alergi Khilafah, Emang Kenapa…?”

1,019 kali dibaca

Penangkapan Abdul Qadir Baraja, yang disebut-sebut sebagai pemimpin kelompok Khilafatul Muslimin, pada Selasa, 7 Juni 2022, membuktikan dua hal sekaligus: bahwa Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan selalu dirongrong oleh mereka yang tak bersetuju dengannya; bahwa kelompok pengusung khilafah tak akan pernah berhenti memperjuangkan ideologi yang diusungnya.

Penangkapan Abdul Qadir Baraja itu sendiri bermula dari kegaduhan di lini masa dan ruang-ruang publik akibat adanya konvoi yang norak di berbagai daerah dengan membawa simbol-simbol khilafah.

Advertisements

Seperti kita tahu, pekan-pekan sebelum penangkapan Abdul Qadir Baraja, di berbagai daerah sejumlah kelompok massa melakukan konvoi di jalanan dengan bermotor. Mereka membawa spanduk, bendera, dan selebaran-selebaran dengan pesan-pesan yang agitatif: ajakan untuk menyambut kebangkitan apa yang mereka sebut khilafah. Bahkan, di tempat-tempat keramaian, terlihat peserta konvoi itu ada yang turun dari kendaraan dan membujuk-bujuk orang untuk ikut mendukung “kebangkitan khilafah” yang mereka serukan.

Konvoi norak yang berakhir dengan penangkapan Abdul Qadir Baraja itu membuktikan bahwa kelompok-kelompok pengusung khilafah ini sepertinya tak akan pernah berhenti memperjuangkan apa yang mereka inginkan, apa yang mereka anggap benar. Dalam konteks Indonesia, misalnya, terbukti bahwa pembubaran atau pembekuan organisasi-organisasi massa (ormas) yang dianggap radikal seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan kemudian Front Pembela Islam (FPI) tak menyurutkan gerakan mereka.

Tanpa organisasi atau institusi yang legal-formal, mereka masih bisa mengendalikan dan mengoperasikan gerakan dengan berbagai cara. Bisa dengan cara menyusupkan kader-kadernya ke dalam kelompok-kelompok masyarakat berbasis keagamaan. Bisa dengan cara menyusupkan kader-kadernya ke institusi-institusi formal untuk menyemaikan paham khilafah, baik di lembaga-lembaga pendidikan maupun pemerintahan. Bisa dengan cara membonceng berbagai aktivitas kelompok masyarakat yang kebetulan memang berseberangan dengan kebijakan atau ideologi negara. Dan, jangan pernah lupa, mereka termasuk kelompok yang paling aktif memanfaatkan Internet melalui berbagai platform media sosial sebagai alat propaganda sekaligus provokasi.

Perlu riset lanjutan untuk pembuktian, apakah Khilafatul Muslimin yang bermarkas di Bandar Lampung ini, yang dipimpin mantan pentolan Negara Islam Indonesia (NII) itu, terkait langsung dengan jaringan ideologi transnasional pengusung khilafah atau sekadar diboncengi. Tapi, apa pun kesimpulannya nanti, hal itu tetap membuktikan bahwa mereka terus bergerak, terus beraksi, dan sepertinya tak akan pernah berhenti, menempuh berbagai cara untuk menegakkan apa yang hendak mereka klaim sebagai Negara Islam dengan sistem khilafah itu.

Yang ganjil, seprovokatif apa pun propagandanya, kita tak pernah mendengar secara ekspilisit mereka menyebut nama suatu negara berdaulat sebagai contoh yang harus dirujuk jika kita hendak mendirikan Negara Islam dengan sistem khilafah. Yang mereka ulang-ulang hanyalah adanya kewajiban bagi setiap muslim untuk mendirikan Negara Islam dengan sistem khilafah untuk menerapkan syariat Islam.

Paling jauh yang bisa diidealisasi oleh mereka adalah Negara Madinah, negara kota yang kemudian menempatkan Nabi Muhammad sebagai pemimpinnya —yang sudah pasti tidak bisa diulang karena ketiadaan peran seorang Nabi/Rasul (Ingat: Madinah sudah eksis lebih dulu sebelum Nabi Muhammad tiba di sana).

Selebihnya, mereka tidak bisa merujuk negara berdaulat mana pun yang bisa diidealisasi sebagai Negara Islam dengan sistem khilafah. Sebab, berdasarkan rekaman sejarah, bahkan sejak era Khalifah ur Rasyidin hingga runtuhnya Kesultanan Utsmaniyah (Turki) pada awal abad ke-20, bentuk dan pengelolaan negara dijalankan secara berbeda-beda. Keempat khalifah di era Khalifah ur Rasyidin pun dipilih secara berbeda-beda, dan tiga khalifahnya yang terakhir pun meninggal akibat pembunuhan yang dilakukan oleh lawan-lawan politik. Terbunuhnya khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib, itu membuka jalan terbelahnya kaum muslim ke dalam firkah-firkah yang saling bermusuhan bahkan hingga kini.

Hingga, sarjana dan sejarawan muslim paling brilian yang hidup pada abad ke-14 sekaliber Ibnu Khaldun pun tak bisa menemukan satu pun apa yang diidealisasi sebagai Negara Islam dalam pengertiannya yang “kaffah”. Melalui mahakaryanya, Mukaddimah, Ibnu Khaldun menelusuri sejarah kerajaan-kerajaan (atau negara-negara) masyarakat Muslim hingga ke masa yang paling jauh ke belakang. Mereka, kekhalifahan setelah era Khalifah ur Rasyidin, itu tak ubahnya kerajaan-kerajaan atau kesultanan-kesultanan di belahan bumi lain, yang satu sama lain saling bermusuhan, hanya yang membedakan adalah agama yang dipeluk oleh para penguasa, yang kekuasaan mereka diperoleh secara turun-temurun.

Dari studi historisnya itu, Ibnu Khaldun berkesimpulan bahwa negara ideal itu tidak ada, dan tidak akan pernah ada dalam kehidupan nyata. Karena itu, bagi Ibnu Khaldun, selain pembentukan dan pengelolaannya didasarkan pada wahyu (baca:syariat), negara yang baik adalah negara yang juga dibentuk dan dikelola berdasarkan pertimbangan akal (aqly )— sesuai dengan setting waktu dan tempat. Dalam istilah Abdul Aziz, apa yang dimaksud Ibnu Khaldun itu tak lain adalah negara rasional —sesuai judul buku atas kajiannya terhadap pemikiran Ibnu Khaldun, Negara Rasional: Warisan Pemikiran Ibnu Khaldun.

Jika dari khazanah klasik kita tidak menemukan contoh ideal Negara Islam dengan sistem khilafah, apalagi di zaman modern ini. Berdasarkan studi yang dilakukan Ahmet T Kuru sebagaimana terungkap dalam bukunya yang berjudul Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan (2020), terdapat 46 Negara Muslim di dunia di era modern ini —istilah Negara Muslim sering dipertukarkan dengan Negara Islam. Dari jumlah itu, konstitusi, bentuk, sistem pemerintahannya pun ternyata berbeda-beda.

Seperti terlihat dalam tabel, terdapat 22 negara berpenduduk mayoritas muslim yang secara ekspilisit dan implisit menyatakan diri sebagai negara sekuler —artinya bukan negara agama atau negara yang didasarkan pada agama tertentu. Di dalamnya termasuk Indonesia.

Dan hanya terdapat 8 negara mayoritas muslim yang menjadikan Islam sebagai agama resmi, di dalamnya termasuk Malaysia. Selain itu, terdapat 16 negara mayoritas muslim yang secara resmi mengakui atau memberlakukan syariat Islam baik di seluruh wilayah maupun di sebagian wilayanya, di dalamnya termasuk Arab Saudi, Mesir, dan Brunei.

Jika digabung, antara yang menjadikan Islam sebagai agama resmi dan yang memberlakukan syariat Islam, jumlahnya mencapai 24 negara. Jika ditelisik lebih jauh, bentuk negara, sistem pemerintahan, dan pemilihan kepala negara/pemerintahan dari ke-24 negara itu pun berbeda-beda.

Yang menyesakkan, masih berdasarkan kajian Ahmet T Kuru tersebut, negara-negara muslim ini kondisinya sangat jauh tertinggal dari negara-negara Barat atau negara-negara sekuler (bukan negara agama dan hukum positifnya tidak didasarkan pada pemberlakuan syariat). Ketertinggalan yang diukur Ahmet T Kuru meliputi bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, dan kekuatan militer.

Dengan demikian, jika didasarkan pada khazanah klasik maupun fakta empiris di era modern ini, klaim bahwa sistem khilafah adalah solusi bagi umat untuk mencapai kemajuan tak lebih dari propaganda omong kosong belaka. Dan, propaganda yang begitu provokatif seperti yang dikonvoikan oleh kelompok Khilafatul Muslimin ini akan menyesatkan dan membahayakan bagi keutuhan NKRI.

Karena itu, sedini mungkin propaganda dari kelompok-kelompok pengusung sistem khilafah ini harus ditolak. Tentu akan ada konsekuensi. Misalnya, kita yang menolak sistem khilafah ini akan dicap sebagai alergi khilafah yang berarti juga anti-Islam dan akan mereka kelompokkan ke dalam barisan para pembenci Islam atau orang-orang kafir. Tapi, saya sendiri berani mengambil risiko itu. “Saya alergi khilafah, emang kenapa…?” Dan begitulah…

Multi-Page

Tinggalkan Balasan