Sastra Pesantren: Geliat Emansipasi dan Belenggu Kategori

5,601 kali dibaca

Sebuah naskah “kumal” itu tersimpan baik di perpustakaan KITLV Leiden dan mikrofilmnya kini terkoleksi di perpustakaan FIB UI. Ia bukan dokumen politik dan bukan pula surat perjanjian perdagangan. Ia adalah cerita bergambar yang secara fisik sederhana berisi sindiran dan kritik (satire) terhadap kesewenangan kolonial. Sejumlah filolog Indonesia sepakat bahwa komik, sering juga disebut iluminasi, itu dibuat pada awal abad ke-20 dan beredar sangat terbatas dan merupakan komik tertua di Indonesia.  Achadiati, filolog senior dari UI, menyatakan bahwa komik anonim itu dibuat oleh seorang penulis dari salah satu pesantren di Gresik, Jawa Timur. Meski tidak banyak disebut-sebut dalam sejarah perkomikan Indonesia, Achadiati percaya, mungkin atas telusuran filologisnya, bahwa komik di Indonesia lahir pertama kali dari pesantren.

Pada tahun 30-an abad ke-20, Kiai Ichsan dari pesantren Jampes, Kediri menulis syair panjang berjudul: Irsyadul Ikhwan fi Ahkami al-Qahwah wa al-Dukhon. Sebuah polemik serius tentang hukumnya merokok dan minum kopi yang oleh kebanyakan ulama Hijaz dan Yaman diharamkan. Konon, ilham menulis syair panjang itu muncul ketika kiai Ichsan menonton wayang sembari minum kopi dan merokok sepanjang malam. Kiai Ichsan memang serius  adu argumentasi, tetapi yang menarik adalah kemampuannya menuangkan perdebatan teologis dan syar’iah dalam bait-bait yang imajinatif, memikat, dan komunikatif.

Advertisements

Ketika hasrat menjadi politisi merembes di kalangan kaum muda daerah dan pedesaan sekitar awal tahun 60-an, kiai Bisri Mustofa (ayah Gus Mus) dari Rembang, Jawa Tengah menulis novel lakune lakon (?) yang penuh satire terhadap kecenderungan politisi muda NU saat itu. Novel yang hanya sekali cetak ini menarik, bukan hanya karena ia kritis terhadap keadaan, tetapi juga faktual, detail mengungkap perubahan-perubahan ranah mikro, dan etnografis.

*****

Komik, syair, dan novel tersebut hanyalah sebagian contoh sastra pesantren yang melalui proses panjang dan berliku kini mulai diakui oleh publik akademis yang terbatas. Mungkin masih banyak lagi karya sastra pesantren tempo dulu yang belum terungkap dan tersimpan dalam berbagai perpustakaan pribadi sebagian kaum muslim Nusantara, dan sebagian tidak lagi dipandang sebagai karya sastra melainkan sebagai kitab keagamaan atau pusaka warisan leluhur.

Sastra, terutama syair, di pesantren dan sebagian besar kaum santri di perdesaan bukanlah sesuatu yang asing. Bisa dipastikan setiap santri di pesantren terus-menerus bersentuhan dengan syair hampir setiap hari. Begitu banyak – kalau tidak sebagian besar – lektur dan buku bacaan atau materi ajar terutama di pesantren tradisional yang memuat berbagai pengetahuan dari soal gramatika bahasa seperti “imrithi dan alfiyah hingga fiqh, ushul fiqh, bahkan teologi ditulis dan diungkap dalam bentuk syair. Sejumlah orang menduga bahwa gaya ungkap syair dipilih oleh pesantren karena lebih mudah dihafalkan, sesuatu yang masih menjadi prioritas dari pengajaran di pesantren, tetapi juga bisa jadi hal itu ada korelasinya dengan tradisi oral yang mewarnai dunia pesantren. Gaya ungkap syair lebih enak, demikian para santri sering melakukannya, didendangkan. Di beberapa pesantren tertentu, menghafal dan mendendangkan syair-syair secara rutin diperlihatkan, bahkan dikompetisikan terutama syair-syair alfiyah ibn malik. Sejumlah orang berspekulasi bahwa tradisi (kebudayaan) lisan, menghafal, dan mendendangkan syair-syair di pesantren merupakan warisan tersisa dari orientasi sufistik yang dahulu pernah menjiwai pesantren awal.

Orientasi yang serius pesantren pada pengajian produksi hukum-hukum fiqh beserta proses metodologisnya dan teologi mengantarkan pesantren lebih terfokus pada subtansi kitab dan kurang memperhatikan media ungkap yang dipergunakannya. Syair pelan-pelan menjadi suatu yang tidak penting dan tidak lagi dipandang sebagai syair. Al arudl wal qowafi, sebuah pelajaran tentang bagaimana membuat syair yang dahulu populer dan diajarkan hampir di setiap pesantren lambat-laun menjadi redup kemudian sirna dari khazanah kekayaaan kultural pesantren. Bahkan orientasi “serba fiqh” tersebut seringkali ditengarai sebagai sebab memudarnya apresiasi pesantren terhadap kesenian (baca: seni pertunjukan). Dalam sebuah seminar menjelang Muktamar NU 1999, Kiai Sahal Mahfudz menegaskan bahwa berpikiran “serba fiqh” itu menyebabkan NU dan pesantren menjauhi kesenian.

Namun demikian, potensi sastra di pesantren sebenarnya masih cukup kuat. Sastra pesantren tidak mati-suri. Ahmad Tohari, Zawawi Imron, dan Acep Zamzam Noor adalah sebagian dari para santri yang mampu mengepakkan sayap sastranya menembus kepengapan “serba fiqh”, bahkan menjadi bagian penting dari percaturan sastra nasional. Karya sastra egaliter Tohari, sufistiknya Zawawi, dan kritiknya Acep memang seolah tidak merepresentasikan pesantren bahkan mungkin tidak menjadi perbincangan kiai pesantren, tetapi, selain tidak mungkin dimungkiri bahwa mereka adalah orang-orang pesantren, egaliterian, sufistik, dan kritik sosial, karya sastra mereka merepresentasikan watak utama sastra pesantren awal seperti yang dipaparkan di awal tulisan ini.

Kira-kira 15 tahun terakhir, muncul geliat-geliat baru sastra pesantren. Selain muncul sejumlah sastrawan santri di berbagai daerah dengan karya-karya yang sebagai besar hanya diakui secara lokal, bertebaran pula komunitas-komunitas sastra di sejumlah pesantren, seperti Komunitas Sastra Santri (KSS) yang berpusat di pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon dan Komunitas Azan di pesantren Cipasung, Tasikmalaya. Para santri yang tergabung dalam komunitas-komunitas itu produktif menulis puisi, cerpen, novel, dan esai-esai sastra  yang sebagain darinya, dengan swadaya, dipublikasi terbatas.

Komunitas Matapena yang diprakarsai LkiS Yogyakarta mencoba menghimpun dan memfasilitasi para santri secara individu maupun kelompok untuk mengapresiasi sastra. Pada tahun 2009, sekitar 800 santri dari puluhan pesantren di Jawa berhimpun di Matapena dan sebagian besar telah melahirkan karya sastra yang sangat beragam; kabarnya sekarang berkembang menjadi lebih dari 1000 santri yang bergabung. Mereka berkarya di tempat dan sesuai dengan lingkungan sosial dan kulturalnya masing-masing sembari berkomunikasi melalui media elektronik, dan secara rutin setahun sekali berkumpul (diskusi) dalam forum yang mereka sebut “Liburan Sastra di Pesantren”. Sebagian karya mereka, selain diterbitkan dan beredar terbatas dalam lingkup lokal, juga dipublikasi oleh LkiS Pelangi Aksara Yogyakarta yang beredar lebih luas.

Kenyataan itu memang menarik terutama jika dilihat dalam konteks tradisi pesantren telah lama didominasi kultur “serba fiqh”. Seringkali kita dengar “suara koor” menyambut gembira geliat kembali sastra pesantren tersebut. Akan tetapi dalam konteks kesusastraan Indonesia, pertanyaan penting pun masih menggoda: di manakah posisi sastra pesantren dalam percaturan sastra Indonesia? Kecuali karya-karya Tohari, Acep, Zawawi, dan beberapa karya santri muda seperti Faisal Komandobat, seluruh karya para santri tersebut belumlah diperhitungkan dalam kesusastraan Indonesia. Karya-karya mereka mengalami nasib seperti apa yang selama ini dikategori sebagai sastra pinggir, sastra yang tercecer tidak dipedulikan oleh media massa dan para penerbit terkenal. Akankah karya-karya mereka akan memperoleh “pengakuan” dan tertulis dalam sejarah sastra Indonesia?

Tidak terlalu berlebihan jika orang mengatakan bahwa sastra Indonesia adalah sastra yang terbelenggu oleh sejarahnya sendiri. Ketika titik pijak sastra Indonesia ditasbihkan pada 1920 dengan kedua batasan ketat sebagai penanda kategori: menggunakan bahasa Melayu tinggi; dan merupakan genre baru menyerupai sastra modern Barat, maka ketika itu pula sastra Indonesia “rezim” yang siap meminggirkan karya sastra manapun yang tidak sesuai. Balai Pustaka yang semula merupakan bagian dan memiliki peran penting dalam kelahiran kategori sastra Indonesia modern itu kemudian menjadi pembatas, bukan saja antara sastra lama dan sastra modern, tetapi juga antara mana sastra Indonesia modern dan sastra lokal yang tidak menggunakan bahasa Melayu dan tidak pula merupakan genre baru yang modern seperti Barat. Dalam konteks itu, sebagai contoh, sastra peranakan Tionghoa yang telah menorehkan sejarah panjang di Nusantara dan mempunyai peran penting dalam pembentukan nasionalisme dan gerakan kebangsaan terbelenggu tanpa pengakuan, karena dianggap lekat dengan etnisitas yang dianggap sempit. Kesusastraan Indonesia menjadi tak berbeda dari permaian politik yang memihak pada kekuatan mainstream yang siap menekuk apa pun dan siapa pun yang berbeda.

Gebrakan baru berupa sastra kontekstualnya Ariel Heryanto dan sastra independennya Emha Ainun Nadjib memang mampu menggoyah hegemoni sastra modern Indonesia, dan dari situ pula, gerak sastra peranakan melaju, menjadi terakui. Akan tetapi, apakah tiadanya monopoli otoritas pengakuan karena kontekstual berlawanan dengan universal, dan apakah demokratisasi sastra sebagai pilar utama sastra independen akan mampu membuka ruang pengakuan pada sastra pesantren dalam percaturan kesusastraan Indonesia?

Sastra pesantren masih menghadapi pembelengguan kategori itu.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan