Sastra dan Multidisiplin Keilmuan Pesantren

816 kali dibaca

Sastra menjadi bagian terpenting yang secara substansi mengiringi perkembangan pondok pesantren. Bukan melulu sebagai sarana pembelajaran tentang agama saja, pesantren adalah ruang multidisiplin bagi pengembangan keilmuan.

Kita perlu menggarisbawahi pesantren pada konteks substansinya. Karena, semakin berkembangnya pesantren belakangan ini, juga bisa menjadi “bom waktu” di kemudian hari. Di mana, pondok pesantren memiliki arah yang sangat beragam tujuannya.

Advertisements

Warna pesantren tergantung pada pengasuhnya, benarkah? Hal ini tentu ditepis ketika kita menengok kembali kira-kira seabad dari sekarang. Di mana Yosodipuro I, Yosodipuro II, dan Yosodioura III bahkan R Bagus Burhan Rangga Warsita, adalah bukti di mana Pesantren Tegalsari yang diasuh oleh Kiai Kasan Besari merupakan ruang multidisiplin keilmuan. Sastra dalam hal ini adalah bagian dari pembelajaran di pesantren yang muncul tidak hanya pada konteks syair atau puisi-puisi, melainkan pada bagaimana tulisan, aksara, babad, serat, hikayat, dan lain sebagainya muncul di lingkungan pesantren.

Kita tahu bahwa di pesantren diajarkan tentang tata bahasa (qawaid al-lugah). Ada balaghah, mantiq, dan lain sebagainya. Namun, tidak cukup pada konteks kebahasaan, melainkan pada konteks rekam jejak santri yang kemudian mewariskan pengetahuan kepada generasi selanjutnya.

Mbah Saleh Darat, misalnya, memiliki ragam kitab jawinya. Salah satunya Faidur Rahman, adalah bukti bahwa sastra menjadi cikal bakal pengetahuan di pesantren tersampaikan kepada masyarakat umum.

Artinya, ada pendekatan tekstual tentang sastra di pesantren dan ada pendekatan kontekstualnya. Pendekatan tekstual, di mana secara kebahasaan, kaidah-kaidah, dan lain sebagainya menjadi semacam lokomotif pengetahuan untuk mewujudkan sastra itu sendiri.

Sedangkan, secara kontekstual, ia lebih luas. Pesantren adalah ruang sastranya. Di dalamnya ada akal budi sebagai penggerak untuk mewujudkan keindahan. Baik itu berupa pola komunikasi, sikap pengetahuan atas persoalan yang muncul, bahkan pendekatan agama dalam memecahkan persoalan sosial adalah bagian dari sastra. Dengan kata lain, keindahan adalah di atas segalanya.

Sebagai fondasi dasar, sastra adalah rangkaian dari hubungan sosial yang dibangun di pasntren, kemudian diaplikasikan ke kehidupan sosial. Bisa saja berangkat dari pesan Tuhan yang mafhum di telinga kita, yaitu “li ta’arafu” untuk saling mengenal, memahami, menghormati bahkan menghargai.

Kita bisa mengaitkan pesastrian, sastri, sastra, yang mana, asumsi dasarnya adalah menguatkan pada pandangan untuk belajar memantapkan diri lalu mengabdi. Hal yang bisa kita gali adalah, bahwa tiga kata di atas memiliki darmanya masing-masing, dan tentu akal budi sebagai penggeraknya.

Kita bisa menganalisanya melalui salah satu syair Jawa-Melayu di bawah ini:

Sun miwiti anarik akaling bocah
Mbok menawa lawas-lawas bisa mecah
Bisa mikir bisa ngrasa bisa nggenah
Kabeh iku ngarep-ngarep min fadlillah
Wajib bapa aweh sandang mangan ngimel
Aweh arta sangu ngaji aja owel
Lan arep kasil ngilmu bawang sebel
Aja nganti atos ati amakiyel.

Syair ini adalah Singir Darma Wasana, di mana menurut Darnawi (1964:82), kalimat terakhir pada syair ini adalah petikan dari kitab Jauharut Tauhid-nya Mbah Saleh Darat. Di mana pesan yang disampaikan pada syair tersebut mengandung darma dan petuah bagi orang tua untuk memberikan pendidikan dan pengetahuan kepada anaknya.

Ragam serat seperti Serat Jaya Baya, Serat Cebolek, Serat Hidayat Jati, dan lain sebagainya adalah bagian utuh dari sastra pesantren yang tidak hanya indah pada bahasanya, tetapi juga mendalam pembahasannya. Ragam isi yang disampiakan juga menjadi bentuk dari adanya mutidisiplin keilmuan itu sendiri.

Dengan demikian, sastra adalah bagian penting yang ada di dalam pesantren, dan sastra secara substansi bukan perkara keindahan bahasanya semata, melainkan keindahan hubungan timbal balik baik di dalam pesantren itu sendiri, atau dengan lingkungan di luar pesantren.

Maka, tidak salah, ketika pesantren dikatakan sebagai ruang yang memiliki multidisiplin pengetahuan. Bukan hanya perihal pengetahuan agama semata, melainkan juga tentang nilai-nilai dan komunikasi sosial yang dibangun melalui pendewasaan akal budi. Sedangkan, sastra adalah bagian terpenting dari proses pendewasaan itu.

Baik secara tekstual ataupu kontekstual, nilai-nilai yang ada di pesantren adalah wujud dari kristalisasi pengetahuan. Sehingga mampu masuk ke dalam ruang-ruang kehidupan sosial. Sastra di pesantren menjadi bukti bahwa akal budi manusia adalah tentang sikap sosialnya. Sedangkan, sikap religiusnya terletak pada personalnya. Selebihnya adalah sikap sosial. Maka tidak bisa dipertentangkan antara sastra dan kondisi sosial. Karena dengan sastra, kondisi sosial bisa terekam dan tersampaikan.

Inti dasarnya adalah tentang kemaslahatan. Seperti halnya kemanusiaan, kemaslahatan menjadi orientasi sosial dari dalam pesantren, sebagai gerak keluar. Dengan sastra, pesantren turut mewarnai perkembangan sosial. Turut memberi sumbangan pendewasaan mental dan kepekaan. Dalam konteks gerakan, sastra adalah bagian dari keberpihakan. Di mana, pesantren, jika kita mengulik kembali sejarahnya, ia adalah ruang pendidikan yang berpihak pada kemanusiaan.

Kiai Hasyim Asy’Ari, Mbah Wahab Chasbullah, Kiai Ahmad Dahlan, dan lain sebagainya adalah contoh di mana pesantrennya adalah ruang keberpihakan. Paling tidak pada sisi gerakannya yang sampai hari ini, baik secara kultural maupun struktural, menjadi bagian penting pada perkembangan kondisi sosial hari ini.

Oleh sebab itu, wajar jika sastra sebagai gerak keberpihakan tidak bisa dipisahkan dari gerak nadi pesantren itu sendiri.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan