Santri Mualaf, Betah di Pondok Demi Berkah

388 kali dibaca

Membahas berkah atau disebut juga barokah tidak lepas dari lingkungan pesantren. Bahkan tujuan utama santri di samping mencari ilmu ya ngalap barokah itu sendiri. Maka sepandai, sehebat, sesalih, dan sealim apapun, santri tidak akan berkutik kalau mendapat ancaman, hati-hati tidak barokah. Hal inilah yang menjadi nilai lebih bagi pesantren dibanding dengan institusi pendidikan lain.

Berkah diartikan sebagai ‘ziyadatul khoir‘ alias bertambahnya kebaikan. Efek darinya bisa dirasakan oleh diri sendiri maupun berimbas pada orang lain. Persis yang dialami oleh rekan saya waktu di pesantren, namanya Sindhu. Ia mualaf sejak SMP, kemudian di tahun 2020 masuk di Pesantren Al-Mahrusiyah Lirboyo sambil sekolah SMK. Kita saling kenal semenjak dia khidmah di bidang media milik pondok. Kebetulan saat itu saya pimpinannya.

Advertisements

Pergolakan Sindhu dengan perkara berkah dimulai ketika selepas rapat tiba-tiba dia menangis tersedu-sedu di hadapan saya. Usut punya usut, rupanya santri asal Lampung ini disuruh untuk boyong oleh orangtuanya.

“Kak gimana saya disuruh boyong sama orangtua, disuruh pulang, kuliah di rumah, tapi aku belum siap,” jelasnya kala itu dengan berurai air mata. Namun, Sindhu tetap ingin khidmah bersama kami, di tim “Elmahrusy”, media asuhan Gus Reza. Tentu ia juga ingin melanjutkan madrasahnya juga.

“Lho kok tiba-tiba begitu, ada apa?” tanya saya.

“Kata ibu, di pondok skill saya sulit berkembang. Ibu inginnya saya kuliah di luar gitu lho kak. Di rumah juga sudah disedikan alat-alat yang menunjang untuk kebutuhan media,” jawabnya.

“Lho kamu kan di pondok juga berkecimpung di dunia media, apa bedanya?”

“Iya, kak, aku sudah bilang, tapi ibu tetap tidak yakin, gimana kak?” dia tambah merintih sambil sesekali menyeka air mata. Kemudian minta tolong kepada saya untuk memberi argumen kepada ibunya, mengenai khidmahnya di media pesantren dan madrasah.

Kemudian saya Memberi argumen, sekiranya seperti ini, “Nanti bilangin ke ibumu, khidmah di media pesantren itu mengandung profit baik secara material lahiriyah, maupun suprantural batiniyah. Di Elmahrusy, media tempatamu khidmah ini, kamu akan mendapatkan banyak ilmu yang bahkan sulit didapat di sekolah luar. Bila kamu menekuni, dari segi material, kamu berpotensi bisa menulis, karena ada wadah berupa majalah dan website. Lalu juga bisa belajar desain grafis, fotografi, videografi, dan karikatur. Untuk menjadi news anchor juga difasilitasi ketika liputan-liputan acara pengajian itu. Artinya, di sini kamu bisa mendapatkan semua ajaran-ajaran dasar media, tanpa perlu boyong. Belum lagi relasinya juga luas, tahu sendiri kan di Al-Mahrusiyah suka kedatangan tamu-tamu besar dan acara-acara skala nasional? Iya enggak, coba renugkan?”

Sindu terdiam.

Kemudian saya melanjutkan, “Hebatnya lagi Sindhu, di luar kesibukan khidmah, kamu masih wajib madrasah dan sekolah, bayangin tiga ilmu bisa kamu kuras di sini, entah ada habisnya apa tidak. Ilmu ekstra, ilmu nonformal, dan ilmu formal, bisa kamu mendapatkan tiga ilmu ini di luar pesantren Al-Mahrusiyah? Dan satu lagi yang penting, yaitu barokah. Tahu sendiri kan khidmah tiada hubungannya dengan upah, melainkan barokah. Barokah inilah yang kusebut profit dhohiriyah supranatural tadi, dan ingat pula Sindhu, boyong dari pesantren tidaklah mudah, kamu masuk ke sini diantar keluarga dan matur ke Gus Reza, kalau mau boyong pun demikian, musti izin baik-baik bareng keluarga lagi. Kok tiba-tiba boyong tanpa izin Gusnya meskipun pihak sekolah acc, dan Gusnya ternyata tidak rida bisa jadi ilmu yag kau dapat tidak barokah.”

“Iya kak, Emang barokah itu gimana kak konsepnya?”

“Kalau saya terangkan sekarang tentang barokah, tidak cukup waktunya, yang penting argumen di atas sampaikan ke ibumu.”

Sindhu tampak sudah tenang, entah kapan dia menelepon orang tuanya, karena akses telepon di pondok teramat terbatas. Karena gedung tempat kami rapat akan dipakai kelas madrasah, kami berpamitan siang itu.

Layaknya pesantren pada umumnya, untuk bisa bertemu lawan jenis teramat susah, kecuali ada hajat yang darurat. Tak ayal satu bulan kemudian saya dan Sindhu baru bisa jumpa di momen rapat lagi.

Seperti pertemuan pertama, dia menghadap saya masih dengan air mata yang teramat deras. Entah sedalam apa dia merasakan problema dengan ibunya ini. “Alhamdulillah kak, aku sudah menceritakan argumen kakak ke ibu, ibu masih mengizinkan saya mondok setahun lagi kak,” terangnya tanpa aku tanyai terlebih dahulu.

“Oh iya kak, mengenai barokah itu, sejujurnya saya tidak terlalu percaya sebelum mengalami sendiri, tapi itu terasa di ibu, kak. Ibu lebih halus perilakunya. Nah ibu kan habis sakit terus koma, terus ibu bilang habis lihat neraka, terus ibu sembuh langsung umrah juga jadi rajin salat, kak. Itu yang terjadi pada ibu.”

Jelasnnya dengan lugas, nampaknya air mata yang ini sekarang adalah air mata bagahia, berbeda dengan pertemuan pertama.

Kemudian dia cerita lagi mengenai ilmu yang tidak berkah. “Kakak kelas di sini boyong tanpa pamit, lalu daftar polisi gagal, lalu sowan balik pondok nerusin setahun lagi dan sekarang jadi TNI kak.”

Kisahnya, saya turut bahagia karena dia masih awam-seawamnya tentang Islam, kemudian mengarungi Islam langsung ke titik paling dalam dan fundamental. Perjalanan spiritual keimanan Sindhu ini patut dijadikan contoh. Dia bercerita ke saya, selain percaya dengan berkah, perubahan signifikan yang dia alami setelah mondok adalah percaya Tuhan itu memang satu, menikmati Islam tidak kaku, dan hidup lebih sabar serta tidak memikirkan dunia saja.

Semenjak boyong dari Al-Mahrusiyah, saya bertemu Sindhu lagi saat momen haul KH Imam Yahya Mahrus pada September silam. Lagi-lagi dia menangis, speechles tatkala bertemu saya yang berwajah agraris nyaris mistis ini, padahal dia sedang jaga stand bazarnya media di tengah keramaian pelanggan. Pertemuan singkat kala itu tidak terjadi apa-apa selain pertumpahan air mata dan saya memastikan dia masih mondok. Bila sesuai perjanjian dengan orang tuanya, harusnya dia sudah boyong. Tapi tidak tahu, semoga dengan the miracle of barokah dia dengan izin ibunya tetap mondok di Al-Mahrusiyah sampai tamat madrasah. Wallohu a’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan