Santri, Akhlak, dan Tasawuf

3,064 kali dibaca

Menjadi seorang santri merupakan sebuah pilihan. Memilih yang terbaik dari beberapa hal yang baik, karena santri merupakan bagian dari sekelompok orang yang berada di jalan pendidikan (al-salik fil ‘ilmi). Man salaka thoriqan fi thalibil’ ilmi, sahhalallahu thoriqan ilal jannah, orang-orang yang berada di jalan menuntut ilmu, maka Allah memudahkan jalan baginya ke surga.

Pentingnya menuntut ilmu juga telah termaktub di dalam Al-Quran. “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah: 122).

Advertisements

Ayat di atas benar-benar sejalan dengan identitas seorang santri. Menimba ilmu di sebuah lembaga pendidikan Islam, pondok pesantren, kemudian setelah kembali ke asal daerah masing-masing memberikan pengajaran, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam pengajaran secara langsung, seorang santri dapat menjadi ustaz atau guru di sebuah lembaga formal (madrasah atau lembaga pendidikan lainnya). Sedangkan, pengajaran tidak langsung seperti memberikan contoh melalui etika dan tingkah laku yang baik kepada masyarakat sekitar.

Santri dan Akhlak

Karena itu, santri juga dituntut bisa menjadi teladan melalui akhlaknya. Di dalam sebuah hadis disebutkan, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (HR. Al-Baihaqi dari Abu Hurairah RA). Hadis ini menjelaskan tentang keutamaan akhlak, bahwa akhlak di sini sebagai sebuah tingkah laku keseharian yang harus diutamakan.

Santri, dengan pendidikan yang ditempuhnya, juga dituntut untuk memilki kemuliaan akhlak. Ini bukan berarti orang-orang di luar santri tidak dituntut untuk memiliki karakter etik. Akan tetapi, sebagai seseorang yang menempuh ilmu pendidikan di lembaga yang dianggap religius islamis, maka entitas dan identitas santri harus diaplilasikan dalam kehidupan. Hal ini menjadi suatu kewajiban, bukan hanya sebuah kewajaran.

Santri seringkali dijadikan panutan oleh masyarakat sekitar. Tingkah laku santri yang tidak sesuai dengan etika kehidupan akan dinilai lebih buruk (negatif) daripada orang-orang di luar santri. Hal ini disebabkan oleh faktor identitas bahwa santri menimba ilmu agama di sebuah pondok pesantren. Di dalam ilmu agama (Islam), tingkah laku santri menjadi urgen dan dinilai lebih utama untuk dijadikan martabat sosial.

Sebagai seorang santri harus memiliki nilai etika yang luhur daripada lainnya. Disadari atau tidak, santri harus bisa membawa diri sekaligus membawa masyarakat ke kondisi akhlak sosial yang lebih baik. Kecenderungan masyarakat, juga berharap banyak terhadap santri agar mereka menjadi pioner di tengah masyarakat dan kehidupannya. Maka tidak dapat dihindari dan dimungkiri bahwa kesantrian di tengah masyarakat masih menjadi panutan untuk dijadikan sandaran persoalan keislaman.

Mengutip John Saliba, ia mengatakan bahwa agama (baca: pesantren, santri) menjadi kekuatan integrasi, suatu ikatan yang mempersatukan serta memberi kontribusi terhadap stabilitas sosial dan kontrol sosial juga berkontribusi terhadap preservasi pengetahuan (John Saliba, 2003:148). Lebih jauh, seorang santri menjadi harapan di semua lini kehidupan. Hal ini tercermin dari peran pesantren dalam kehidupan, utamanya pengetahuan. Maka santri menjadi niscaya untuk berkontribusi di semua lini kehidupan, di masyarakat dan di pemerintahan.

Santri dan Tasawuf

Di sisi lain, sufisme atau tasawuf adalah bagian ilmu yang juga dipelajari selama berada di pondok pesantren. Sufisme atau tasawuf merupakan bagian ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlak, membangun lahir dan batin serta untuk memperoleh kebahagian yang abadi.

Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam (wikipedia). Menurut Dr Achmad Bahrur Rozy, dosen tetap STITA Aqidah Usymuni Sumene Madura, mengutip dari Syeh Makruf Alkaruhie, tasawuf merupakan representasi dari Alahdzu bil haqaiq wal ya’su minal khalaiq, mengambil yang hakiki dan menanggalkan yang palsu.

Dengan demikian, tidak dapat dipisahkan antara santri, akhlak, dan tasawuf. Tiga entitas ini menjadi padu dalam sebuah tujuan. Kebahagiaan merupakan puncak tujuan utama dalam suatau kehidupan. Kehidupan di dunia menginginkan kebahagiaan, dan lebih diutamakan pula kebahagiaan di akhirat. Seperti yang ditegaskan dalam AL-Quran: “Walal akhiratu khairul laka minal ula.” (dan sungguh, yang kemudian (akhirat) itu lebih baik bagimu dari yang permulaan (dunia) (QS. Ad-Dhuha: 4). Tentu diperlukan keseimbangan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Sehingga di kedua kehidupan tesebut kita dapat marasakan kebahagiaan dan ketentraman.

Mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai thoriqah (jalan) merupakan riyadhah (kebiasaan) dari seorang santri. Sehingga tidak dapat dimungkiri bahwa menjadi santri merupakan jalan menuju kesucian (sufi). Meskipun, tidak semua santri menjadi ahli sufi, namun setidaknya dasar-dasar kesufian sudah mulai dibiasakan.

Jalan sufisme merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Menyendiri atau menyepi bisa menjadi mungkin untuk dijadikan sarana dalam kesufian. Namun, bukan berarti hal tersebut menjadi jalan atau cara satu-satunya, sehingga cara lainnya dianggap tidak ada. Karena, pada hakikat kesufian hanya Allah yang mengetahui. “La ya’lamul wali illal wali,” bisa dibangun ungkapan “la ya’lamul sufi illal sufi.” Bahwa nilai luhur sufi itu hanya akan nampak pada konsep kemaslahatan di lingkungan masyarakat.

Sebagai seorang santri, memiliki akhlak tasawuf merupakan sesuatu yang niscaya. Karena di dalam pendidikan pondok, thoriqah menuju kepada konsep ilahiyah sudah dibangun. Jika jalan itu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, maka menyandang predikat sufi adalah sebuah anugerah yang begitu agung.

Seorang sufi tidak begitu saja memperlihatkan kesufiannya. Karena jika demikian, maka ia telah melanggar akhlak tasawuf itu sendiri. Maka tidak ada sufi yang memproklamasikan kesufiannya, karena kesucian diri menjadi rahasia Allah dengan dirinya sendiri. Sifat sombong dan angkuh tidak akan melekat sama sekali kepada diri seorang sufi.

Dengan demikian, Santri, akhlak, dan tasawuf merupakan tiga entitas yang jika dikehendaki tidak akan pernah terpisahkan. Seorang santri yang memiliki akhlak tasawuf merupakan sebuah anugerah. Santri yang sufi atau santri yang berakhlak mulia merupakan sesuatu yang harus diikhtiarkan agar kesantriannya menjadi sesuatu yang lebih bermakna, baik di dunia maupun di akhirat. Wallahu A’lam!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan