Sangkolan

1,944 kali dibaca

Angin berembus kencang. Itulah angin Pulau Kangean yang cenderung hangat ditingkahi sinar mentari yang kian meninggi. Dua truk Fuso berjalan terseok-seok karena kelebihan muatan. Balok-balok besar kayu jati membuat rodanya bergerak perlahan meski mesin berputar sekuat tenaga. Knalpotnya menyemburkan asap hitam berpadu dengan debu-debu yang berhamburan. Kerikil-kerikil berlepasan satu sama lain. Pengaspalan yang buruk membuat jalan raya ini gampang sekali rusak.

Bel istirahat berdentang. Murid-murid SDN Kangayan menyambutnya dengan riang. Anis segera mengemasi buku-bukunya. Setelah sungkem kepada Pak Yazid, guru kelasnya, Anis pulang bersama teman-temannya. Rasa lapar dan dahaga telah sejak tadi menyergapnya. Perut Anis keroncongan.

Advertisements

“Assalamualaikum…” setengah berteriak Anis memanggil salam di depan rumah panggungnya.

Tak ada jawaban, mungkin ibunya tidak mendengar. Sejenak dia memandangi rumah panggungnya yang terbuat dari papan-papan kayu. Warnanya coklat kusam dimakan usia. Gentengnya menghitam karena air hujan dan terik matahari selama bertahun-tahun. Kemudian, dengan ekor matanya, dia melirik rumah tetangganya yang mentereng. Dinding-dindingnya berkeramik, bagian bawahnya berhias batu alam yang indah, lantainya licin dan bersih dengan granit mengilap. Jendela dan pintunya tampak kokoh terbuat dari pohon jati dengan kaca-kaca tebal dan mahal. Anis menarik napas, raut mukanya kecut. Seandainya saja rumahnya bagus.

Anis melepas sepatu bututnya lalu melangkah menaiki tangga rumahnya. Dengan sekali dorong pintunya langsung terbuka lebar. Setelah meletakkan buku-bukunya yang dibungkus plastik kresek, dia bergegas menuju dapur. Rupanya ibunya sedang sibuk memasak di bagian luar belakang rumahnya yang difungsikan sebagai dapur.

“Wah, sudah pulang rupanya putriku yang cantik,” sambut ibunya sumringah, “Lapar? Tunggu sebentar, ya…” lanjut ibunya seraya menyorong kayu bakar ke dalam tungku.

Anis mengangguk lalu sungkem kepada ibunya, “Rama belum pulang, mik?” “

Sudah. Itu ikan hasil tangkapan ramamu,” kata ibunya menunjuk ikan lajang yang telah dipindang di dalam periuk. “Ramamu masih mengantar sebagian ikan kepada Bik Monik, semoga saja langsung dapat duit biar bisa beli beras, gula, dan minyak goreng.”

Tanpa diminta, Anis membantu ibunya membuat sambal matah kesukaan ayahnya. Tapi pikirannya melayang melintasi Alas Jati Kangean yang luas. Terbayang mesin senso meraung-raung garang. Pohon-pohon jati bertumbangan. Lalu truk-truk datang dan lembaran-lembaran rupiah berpindah dari tangan ke tangan. Sementara di sebuah gedung jauh di kota kecamatan, beberapa polisi hutan ngalor-ngidul, main gawai canggih, sambil menyeruput kopi dan mengisap rokok dalam-dalam.

***

Malam ini listrik mati lagi. Rumah Anis seperti kuburan. Dia iri melihat rumah tetangganya. Meskipun sering mati lampu, rumah tetangganya tetap terang benderang karena memiliki pembangkit listrik tenaga surya atau genset. Ayahnya mana mampu membeli alat berharga jutaan itu dari hasil melaut.

Listrik di Pulau Cukir ini layaknya hewan nokturnal. Beroperasi kalau malam hari saja. Itu pun seringkali diselingi pemadaman bergilir, bahkan mati total. Bermacam alasan petugas PLN; yang mesin rusak, perahu pengangkut solar tidak datang, dan alasan-alasan lainnya.

Dengan lampu teplok, Anis berbagi cahaya bersama ayahnya. Dia belajar dan ayahnya memperbaiki peralatan menangkap ikan.

“Rama…,” kata Anis membuka percakapan dengan ayahnya.

“Ada apa, Nis?”

“Kenapa rama tidak mengambil kayu ke hutan seperti ramanya Matraie dan Fiaton. Kayunya kan bisa dijual dan uangnya untuk bangun rumah yang lebih bagus.”

Lelaki itu hanya memandangi putri semata wayangnya. Sorot matanya mengatakan dia sangat menyayangi gadis kecilnya itu.

“Anis malu, rama.”

“Malu kenapa, bhing?”

“Anis ingin sekali memiliki rumah bagus, biar jika ada teman-teman main ke rumah, Anis tidak malu. Kenapa rama lebih memilih melaut ketimbang mengambil kayu ke hutan?”

“Hutan itu tidak boleh ditebang sembarangan, bhing. Jika ditebang sembarangan bisa berbahaya.”

“Tapi tetangga-tetangga kita….”

“Mereka itu mencuri, Nis!”

“Mencuri?”

“Ya, mereka mencuri di hutan negara yang dilindungi. Mencuri masa depan anak cucu kita, mencuri rumah hewan-hewan, mencuri masa depan bumi. Mereka mencuri hanya untuk kesenangan sesaat mereka!”

“Tapi ayah Matraie mengambil kayu di hutan dengan bebas, ayah Fiaton juga. Rumah mereka bagus-bagus, Rama. Sementara rumah kita, masih saja rumah panggung jelek, dan hampir roboh,” Anis meletakkan buku yang dibacanya. “Matraie dan Fiatonmembawa bukunya ke sekolah dengan tas bagus, uang jajannya banyak, sebagian ditabung di Bu Tutik. Mereka juga punya ‘tablet’ untuk bersenang-senang, punya cadangan listrik jika PLN sedang mati, dan bisa menonton televisi… Anis malu, Rama.”

“Kenapa harus malu, bhing,” tiba-tiba ibunya dengan membawa secangkir kopi panas ikut nimbrung, “meskipun tidak bagus, rumah panggung ini rumah kita sendiri. Warisan almarhumah nenekmu. Sebelum ada rezeki untuk membangun yang baru, kita harus menjaganya. Yang penting bersih, rapi, dan bisa melindungi kita dari dingin malam dan panas matahari…” ujar ibu Anis bijak sambil meletakkan kopi hitam itu di depan suaminya. Suaminya berterima kasih dengan sesungging senyum penuh arti.

Anis cemberut. Lalu ayahnya memeluk Anis dengan hangat.

“Hutan itu sangkolan, bhing. Harus kita jaga. Jika rama mencuri kayu di hutan, itu artinya ayah tidak sayang sama kamu. Uang dari hasil mencuri kayu itu uang haram. Kalau dimakan jadi daging haram. Membangun rumah dari uang haram juga akan menjadi rumah haram. Tidak ada ketenangan di rumah macam itu. Di samping itu jika ditebang sembarangan, hutan akan menjadi gundul. Jika hutan gundul akan terjadi banjir, tanah longsor, udara panas karena hutan adalah paru-paru bumi. Kita harus menjaga bumi kita. Lebih-lebih Indonesia kita.”

Anis merenung dalam pelukan ayahnya yang hangat. Dia ingat dampak penebangan hutan yang dipelajari di sekolah.

Tiba-tiba terdengar deru mesin mobil. Anis bangkit lalu mengintip lewat jendela. Sebuah mobil SUV melintas. Di bagian kap mobil itu terdapat rotator dengan lampu warna biru. Mobil itu berhenti tepat di depan rumah Matraie, tetangga, dan teman sekelasnya. Tiga lelaki tegap masuk ke rumah Matraie. Beberapa menit kemudian, ayah Matraie digiring menaiki mobil itu. Sebuah mesin senso turut dibawa. Matraie menjerit-jerit menangis, meminta agar ayahnya jangan dibawa pergi. Begitu pula ibunya. Tak lama, mobil itu berjalan lalu menghilang ditelan gelap malam.

Dari balik jendela, hati Anis ciut. Dia berjanji tidak akan lagi meminta ayahnya mengambil kayu di hutan. Meskipun rumah panggung dan tidak mentereng, dia bersyukur masih memiliki rumah.

“Rumahku istanaku,” ujarnya lirih.

Keterangan:

Sangkolan (Madura)        : harta (tanah/pusaka) warisan yang harus dijaga atau dilestarikan. Orang  Madura  meyakini,  menjual  atau  merusak  sangkolan  bisa mendatangkan tulah.
Emik, mik (Kangean)       : panggilan kepada Ibu
Cebbhing, bhing (Madura)   : panggilan sayang kepada anak perempuan
Pulau Cukir                      : julukan Pulau Kangean. Terletak kurang lebih 67 mil (laut) dari kota Kabupaten Sumenep. Di Pulau Kangean terdapat Hutan (Jati dan Rimba) seluas kurang lebih 25.678,80 ha.
Ikan Lajang                      : Ikan layang (decapterus)

Multi-Page

One Reply to “Sangkolan”

Tinggalkan Balasan