Sekira lima belas kiai berkumpul di rumah Wahab Chasbullah (1888-1971) di Kertopaten untuk mendiskusikan dan merumuskan langkah strategis mempertahankan akidah dan amaliah Islam, tradisi yang terganggu dengan munculnya ideologi transnasional yang diprakasai oleh Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afgani.
Para kiai itu kemudian mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai langkah untuk mempertahankan paham Ahlu al-Sunnah wal Jamaah dan nasionalisme. Spirit nasionalisme itu lahir untuk menyatukan ulama dan tokoh agama dalam melawan segenap bentuk penjajahan. Semangat nasionalisme itulah yang menginspirasi nama Nahdlatul Ulama yang artinya “Kebangkitan Para Ulama” (Anam, 1998).
Organisasi masyarakat yang identik dengan kaum sarungan ini memainkan peran strategis dalam mencapai kemerdekaan Indonesia. Mengandalkan konsolidasi pondok pesantren dengan potensi santri dan kiai, NU mendorong semangat kebangsaan dan perlawanan terhadap penjajah melalui berbagai kebijakan politiknya. Seperti Resolusi Jihad, penetapan Dar el Islam, penetapan Soekarno sebagai Wali al-Amr ad-daruru bi asy-Syaukah, dan partisipasi aktif merumuskan dasar negara (Piagam Jakarta).
Hal tersebut menjadi bukti historis yang menandakan pondok pesantren, kiai, dan santri merupakan variabel penting dalam semangat kehidupan berbangsa dan bernegara. Kiprah kebangsaan salah satu ulama terbaik Indonesia, KH Hasyim Asy’ari, akan selalu bersinergis dengan kehidupannya yang berlatar belakang pesantren. Beliau bisa memainkan peran sebagai seorang kiai, aktivis politik, dan pemimpin masyarakat yang memberikan banyak inspirasi untuk santri-santrinya.
Dalam menghadapi penjajahan Belanda, KH Hasyim Asy’ari melakukan perlawanan secara aktif, progresif, dan nonkooperatif. Kaum sarungan tidak lagi hanya belajar ilmu agama Islam, namun juga belajar bahasa Belanda, berpidato (bicara di depan umum), berhitung, dan ilmu bela diri. Tujuannya untuk menyiapkan kader santri berjiwa nasionalisme agar bersiap diri menyambut panggilan jihad membebaskan Indonesia dari cengkeraman penjajahan. Menjadi pasukan berani mati yang selalu siap memberikan segala potensinya untuk bangsa dan negara.
KH Hasyim Asy’ari juga mengeluarkan fatwa tentang haramnya umat Islam di Indonesia bergabung menjadi tentara Belanda. Sikap tegas inilah yang membuat dirinya memiliki pengaruh di kalangan masyarakat Indonesia, disegani kawan maupun lawan. Tapi, sikap politik yang nonkooperatif itu membuat tentara Belanda marah dan membakar pesantrennya pada tahun 1913.
Untuk menghadapi kebrutalan penjajah, KH Hasyim Asy’ari membentuk laskar dalam tiga kelompok. (1) Laskar Hizbullah yang membawa semboyan “Ala Inna Hizbullahi Hum al-Ghalibun” (Wahai sesungguhnya golongan Allahlah golongan yang menang). (2) Laskar Sabilillah untuk para kiai, pria dan wanita, dengan membawa semboyan “Waman yujahid fi sabilillah, (Mereka yang berjuang di jalan Allah). (3) Laskar Mujahiddin atau pasukan maut. Laskar ini membawa semboyan “Walladzina jahadu fina lanahdiyannahum subulana” (Mereka yang berjuang dijalan-Ku, Aku akan tunjukkan mereka jalan-jalan-Ku) (Rifa’i, 2009).
Sikap politik melawan Belanda itu merupakan bagian dari nasionalisme dan bela tanah air kaum sarungan. Semangat nasionalisme menjadi cara strategis menanamkan sikap kepeduliaan terhadap bangsa dan negara kepada santrinya. Kemerdekaan harus diraih meski harus mengorbankan nyawa.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, KH Hasyim Asy’ari masih berkontribusi aktif mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Salah satunya adalah fatwa Resolusi Jihad. Perlawanan ini diawali pada 16 September 1945 saat Indonesia kedatangan pasukan Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) yang dipimpin LetJen Sir Philip Christison.
Dalam menghadapi situasi seperti itu, KH Hasyim Asy’ari memanggil Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Bisri Syamsuri, dan mengumpulkan kiai se-Jawa dan Madura untuk bermusyawarah dan bermufakat. Pertemuan itu sekaligus dalam rangka sidang Pleno Pengurus Besar pada 21-22 Oktober 1945 di kantor PBNU, Bubutan, Surabaya. Sidang itu juga dihadiri panglima Laskar Hizbullah, Zainul Arifin. Setelah berdiskusi panjang dan lebar, forum akhirnya menyepakati untuk mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad.
Resolusi jihad membawa pengaruh besar kepada kaum sarungan dan perlawanan rakyat Surabaya terhadap tentara Inggris. Pada tanggal 10 November 1945, pasukan militer Inggris menghadapi pertempuran dashyat dari berbagai elemen masyarakat, santri, dan kiai di Surabaya. Hari itu kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan. Para kiai memimpin pergerakan rakyat dengan mengobarkan semangat jihad fisabilillah untuk membakar semangat dan menjemput syahid di jalan Allah.
Keputusan Resolusi Jihad merupakan keputusan yang strategis dan memiliki nilai besar dalam memberikan dukungan moral kepada pemimpin bangsa dan mengobarkan semangat patriotisme kaum sarungan. Ini menjadi contoh keteladanan nyata bahwa Islam mengajarkan setiap umatnya mencintai tanah air dengan segenap pikiran, waktu, harta, dan nyawanya.
Resolusi Jihad dapat dinilai sebagai manifesto nasionalisme kaum sarungan dalam menegakkan bangunan kemerdekaan Indonesia. Adanya fatwa ini menandakan bahwa kiai dan santri tidak hanya paham persoalan keagamaan, melainkan juga menguasai masalah kebangsaan dan berperan aktif memberikan solusi strategis kenegaraan. Resolusi jihad yang hadir pasca-proklamasi kemerdekaan itu menjadi tonggak nasionalisme Indonesia yang menginspirasi banyak anak bangsa untuk bertempur sampai Indonesia merdeka seutuhnya.