Reorientasi Islam (2)

804 kali dibaca

Sementara kaum tradisionalis mencurahkan segenap tenaga untuk menonjolkan keswasembadaan mutlak dan kelengkapan Islam, kaum reformis menegaskan bahwa meski hukum dan praktik lampau bisa bermanfaat, keadaan-keadaan dan masalah-masalah itu memerlukan solusi baru, yang diformulasikan dengan timbangan kaidah-kaidah Al-Qur’an dan mengambil secara selektif dari komunitas-komunitas internasional.

Kaum reformis, meski kritis terhadap Barat, cenderung tidak terlalu anti-Barat serta menggunakan retorika dan pendekatan yang polemis. Mereka merasa bebas untuk meminjam dari budaya-budaya lain, dengan menegaskan bahwa tujuan mereka adalah modernisasi Islami, bukan sekadar Westernisasi saja.

Advertisements

Shadiq al-Mahdi (Sudan) dan Dr. Ali Syariati (Iran) merupakan contoh dari pendekatan ini. Keduanya memandang Islam tradisionalis sebagai pemahaman tentang Al-Qur’an dan Sunnah yang dikondisikan oleh sejarah, didasarkan pada rumusan akidah dan hukum Islam abad pertengahan produk ulama. Syariati, seorang Muslim syi’i melangkah lebih jauh ketika ia membedakan antara semangat Islam asli (Islam Ali, Islam pada zaman Ali) yang dinamis, revolusioner, dengan interpretasi Islam ulama (Islam Safawi) yang statis, diam, terbelakang, yang dikooptasi oleh para penguasa Iran Safawi: bahwa Islam orisinil adalah gerakan Islam yang secara intelektual progresif maupun sebagai kekuatan sosial yang militan, sekte Islam yang paling berkomitmen dan paling revolusioner.

Bagi Shadiq al-Mahdi, keturunan Mahdi Sudan dan mantan Perdana Menteri Sudan, dilema Muslim saat ini adalah produk dari rezim kolonialisme internal dan pribumi, yang dibentuk oleh para elite yang merakit masyarakat mereka dalam impian Barat, ancaman komunisme, dan respons tradisional terhadap ancaman-ancaman ini demi membela Islam. Ia mendukung respons yang mengulangi proses yang setia Islam itu sendiri, yang dalam konteks sekarang bisa berarti pemisahan Islam dari rumusan Islam tradisional dan pemisahan modernisasi dari Westernisasi untuk menghasilkan sintesis yang baru, modern, dan berorientasi Islam.

Bersama dengan kedua respons ini, penolakan atas tradisionalisme untuk mendukung desain akulturasi dan penolakan atas akulturasi untuk mendukung tesis tradisionalis, yaitu: memisahkan Islam dari tesis tradisionalis, memisahkan modernisasi dari sindrom akulturasi, dan membangun sebuah sintesis yang sekaligus islami dan modern. Westernisasi adalah modernisasi versi Barat. Ia melekat dalam budaya dan kepentingan Barat. Sovietisasi adalah pendatang baru modernisasi versi Soviet dan Cina yang melekat dengan pandangan dan kepentingan kultural Soviet dan Cina.

Modernisasi dapat dan harus diceraikan dari ekspresi-ekspresi kultural dan historis modernisasi sendiri. Dr. Hasan al-Turabi, pemimpin Ikwanul Muslimin Sudan, mencerminkan interpretasi historis dan penalaran Islam dari banyak reformis. Setiap bentuk atau prosedur untuk mengorganisasikan kehidupan publik yang pada akhirnya dapat dikaitkan dengan Tuhan, dan untuk diabdikan kepada-Nya dalam mewujudkan cita-cita pemerintah Islam, dapat diadopsi kecuali jika jelas-jelas ditolak oleh Syariat. Begitu diterima, bentuk atau prosedur tersebut menjadi bagian integral dari Islam, dari manapun sumbernya.

Lewat proses Islamisasi, kaum Muslim senantiasa terbuka kepada perluasan dan perubahan. Kaum Muslim dapat mengambil setiap pengalaman apapun, asalkan tidak bertentangan dengan idealitas mereka. Kaum Muslim telah banyak mengambil bentuk-bentuk birokrasi mereka dari contoh-contoh Romawi dan Persia. Sekarang, banyak yang dapat dipinjam dari sumber-sumber kontemporer, secara kritis ditinjau dalam timbangan nilai dan norma Syariat, dan dimasukkan ke dalam kerangka pemerintahan Islam.

Di samping tulisan-tulisan dan kegiatan-kegiatan para reformis, karena latar belakang tradisional mayoritas pemimpin agama dan massa Muslim, maka eksperimen-eksperimen keislaman dan ideologi pemerintah dan organisasi keagamaan selalu didominasi oleh orientasi tradisional. Jadi, ketika kekuatan-kekuatan agama memperoleh kekuasaan atau mempengaruhi kekuasaan dan menjadi keras menyuarakan tuntutan Islamisasi masyarakat, maka Islam yang banyak diperjuangkan atau diperkenalkan umumnya adalah Islam masa lalu, yang tidak cuma dalam kaidah-kaidah wahyu tetapi juga dalam ketentuan, dan bentuk-bentuk turunannya.

Sumber kegagalan para pembaru sekular dan reformis Islam dalam menghasilkan sebuah sintesis yang koheren, sistematis, modern, yang mampu melegitimasi perubahan yang mendasar, dan sumber kegagalan para pemimpin tradisional untuk mendobrak kungkungan mentalitas taklid mereka, adalah keterbelahan mentalitas yang mewabah dalam masyarakat Muslim modern.

Kisah Islam modern adalah kisah tentang dua kelompok Muslim yang memiliki pandangan sangat berbeda tentang kehidupan: sekelompok elite, minoritas beroientasi-Barat, yakin bahwa mereka harus merangsek maju tanpa memedulikan perlawanan para pemimpin agama, dan sekelompok pemimpin agama mempercayai bahwa Islam dan otoritasnya tak terbantah-curiga dan menentang program-program modernisasi, menganggapnya sama dengan Barat, sekularis, materialis, tanpa Tuhan, yang merasuki masyarakat mereka. Jadi, selagi para pemimpin agama ditolak karena sebagai perintang perubahan, kaum elite sekular persis juga disalahkan sebagai penyebab penyakit sosial dan spiritual masyarakat.

Perpecahan dalam masyarakat Muslim ini disebabkan oleh adanya dua sistem pendidikan paralel; pendidikan agama tradisional dan pendidikan sekular modern. Terpecahnya pendidikan merupakan akibat dari proses modernisasi di hampir semua negeri Muslim. Madrasah-madrasah meski ada sebagian kurikulum modern, menghasilkan lulusan-lulusan dengan utamanya pendidikan tradisional yang selanjutnya menjadi pemimpin agama, ustaz, dan ulama setempat.

Namun demikian, seringkali mereka kurang siap untuk menghadapi dan menjawab secara kreatif tuntutan-tuntutan modernitas. Mereka memandang tidak terlalu perlu untuk melakukan reinterpretasi baru atas idealitas dan nilai-nilai tradisional, dan oleh karenanya gagal menjadi model kepemimpinan agama yang diperlukan dalam masyarakat modern. Sekolah-sekolah modern sekular seringkali mendapatkan dana dan dukungan yang lebih dari pemerintah, menghasilkan pendidikan dan kredensial akademik baru untuk jabatan-jabatan yang bergengsi dalam masyarakat modern.

Lulusan mereka cukup ahli dalam disiplin modern, tetapi seringkali tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang agama dan tradisi budaya mereka untuk merumuskan perubahan-perubahan dengan kepekaan yang cukup terhadap sejarah dan nilai-nilai budaya mereka.

Seringkali sistem-sistem dan asumsi-asumsi Barat diadopsi secara membabi buta oleh para elite modern tanpa memedulikan kecocokannya. Kesempatan-kesempatan untuk membuat perubahan dengan kesinambungan dengan masa lalu, akhirnya tak tertangkap dan tak terwujud. Ketika perubahan semacam ini diusahakan, maka perubahan ini dilakukan secara sepotong-potong, dalam bentuk yang tak sistematis yang membuat reformasi gampang diserang dengan tuduhan-tuduhan memanipulasi budaya demi kepentingan Westernisasi.

Akhirnya baik elite tradisional maupun modern gagal memberikan sintesis religiok-ultural baru yang mampu memberikan kesinambungan di tengah-tengah perubahan modern. Penyebaran gerakan modernis Islam dan munculnya organisasi-organisasi aktivis Islam semisal Ikhwanul Muslimin dan Jamaat-i-lslami, membuktikan kegagalan ini.

Banyak orang dari generasi yang lebih muda, khususnya mereka yang datang dari latar belakang tradisional, tetapi sekarang belajar di sekolah-sekolah dan universitas-universitas negeri, merasakan diri mereka terimpit di tengah. Organisasi-organisasi aktivis Islam menawarkan pedoman, rasa komunalitas, suatu program untuk memperkuat iman dan tindakan untuk mencapai keadilan sosial lewat reformasi sosio-politik. Di sinilah letak daya tarik aktivisme Islam.

Keterbelahan pendidikan dan masyarakat serta pengajaran yang menjadi konsekuensi dari dua sudut pandang tradisional dan modern, jelas sekali tergambar dalam revivalisme kontemporer. Tuntutan untuk mewujudkan negara yang lebih berorientasi Islam memerlukan reinterpretasi atas Islam yang memadukan suatu peninjauan ulang atas lembaga-lembaga politik, sosial, hukum, dan ekonomi dan nilai-nilai yang menjiwai lembaga-lembaga ini.

Jika kaum sekularis menyangkal perlu dan mungkinnya melaksanakan tugas semacam ini, para pemimpin agama umumnya tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas ini. Para pemimpin agama yang lebih konservatif cenderung terikat dengan masa lalu.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan