Relasi Agama dan Negara: Perspektif Gus Dur

2,015 kali dibaca

Wacana tentang relasi agama dan negara yang ideal seolah tidak ada habisnya dan selalu laik untuk didiskusikan. Hal ini karena risalah Nabi Muhammad adalah ajaran untuk membangun manusia dan memperoleh kebahagiaan dunia akhirat. Artinya agama Islam menekankan keselarasan kepentingan dunia akhirat.

Berkenaan dengan itu muncul beragam kelompok yang menafsirkan ajaran Islam dalam kaitannya dengan sistem politik dan pemerintahan. Usaha pencarian model ideal tersebut berujung pada dua maksud. Pertama, pencarian idealitas negara menurut Islam, yang berangkat dari asumsi bahwa Islam memiliki konsep negara tertentu. Kedua, untuk melakukan idealisasi dari persepketif Islam atas proses penyelenggaraan sebuah negara yang menekankan pada “isi negara menurut agama Islam”.

Advertisements

Jamak diketahui bahwa terdapat beragam pemikiran ihwal relasi antara agama dan politik, khususnya negara. Tak terkecuali para cendekiawan muslim, seperti KH Abdurrahman Ad-Dakhil Wahid yang akrab disapa Gus Dur.

Sebagai pribadi yang lahir dan besar di lingkungan keagamaan, khususnya Nahdlatul Ulama, Gus Dur dikenal sebagai salah satu perintis dan pembuka wawasan warga nahdliyin tentang perkembangan agama Islam dengan menyumbangkan pemikiran kritisnya yang kelak menjadi warisan luhur bagi muslim di Indonesia. Salah satu teori yang dicetuskan oleh Gus Dur berkenaan dengan hubungan antara agama dengan negara ialah penolakannya atas penerapan ideologi agama dalam bernegara.

Dalam membaca relasi antara agama dengan negara, Gus Dur menggunakan pendekatan struktural-fungsional. Emile Durkheim, sang pencetus teori fungsionalis tersebut, mengibaratkan masyarakat sebagai suatu sistem layaknya organ tubuh manusia. Artinya, setiap organ yang terdapat dalam tubuh tersebut merupakan pelengkap bagi organ lainnya. Sederhannya saling melengkapi berdasarkan fungsinya.

Begitu pula dengan agama, Gus Dur tidak menafikan keterlibatan politik dengan agama dan sebaliknya. Keduanya memiliki kerangka fungsi sosialnya masing-masing. Menurut Gus Dur, politik dalam Islam haruslah transformatif. Artinya, Islam harus mampu melakukan diferensiasi, sebab risalah Nabi Muhammad merupakan risalah transformatif dan emansipatif. Dengan begitu, inti dari pendekatan yang diupayakan oleh Gus Dur adalah adanya keseimbangan yang menekankan terciptanya keharmonisan.

Bagi Gus Dur, Islam harus ditempatkan sebagai agama yang benar-benar rahmatan lil ‘alamin, termasuk bagi mereka yang tidak beragama Islam. Pemikiran Gus Dur ihwal idealnya hubungan agama dengan negara merupakan respons atas pergulatan cendekiawan muslim mulai dari munculnya beragam sekte di kalangan muslim sendiri hingga sejarah perkembangan islam di Indonesia.

Gus Dur melihat, bahwa Islam merupakan pandangan hidup bagi umatnya. Konsepsi utama yang dituju agama Islam adalah kehidupan yang makmur dan sejahtera. Maka tidak penting lagi mempersoalkan bentuknya, selama tujuan mengupayakan kesejahteraan itu masih menjadi patokan bersama.

Lebih lanjut, Gus Dur menganggap bahwa tidak ada ajaran pasti baik dari Al-Qur’an maupun Hadis Nabi tentang formula pembentukan negara. Yang ada hanyalah formula tujuan dan substansi itu sendiri.

Tidak ditemukan konsep yang jelas tentang institusi kekhilafahan atau negara Islam dalam Al-Qur’an. Sebab, konsep dasar Islam tentang masyarakat adalah al-hukm (hukum), bukan ad-dawlah (negara). Selain itu, tidak pula ditemukan konsep negara Islam dalam hadist nabi. Sebab, mustahil masalah suksesi kepemimpinan dan peralihan masa Khulafaur Rasyidin tidak dirumuskan secara formal oleh Nabi. Gus Dur menjelaskan bahwa pelaksanaan pemerintahan dan penentuam modelnya tidak ada kaitannya dengan agama karena sepenuhnya diserahkan kepada akal budi masyarakat sesuai dengan situasi kondisi wilayahnya.

Lebih jauh lagi, Gus Dur juga memproyeksikan muslim di Indoensia dengan klasifikasi sebagai kelompok pemikir Neo-Modernis. Greg Barton menjelaskan pemikiran ini merupakan pemikiran progresif yang memiliki sikap positif-kritis terhadap modernitas, perubahan dan pembangunan masyarakat.

Selaras dengan itu, Gus Dur menganggap bahwa pada dasarnya Allah tidak melarang pengembangan wawasan baru secara terus menerus, sehingga kesempurnaan Islam justru dapat dicapai dengan kemampuan daya serap (ecleticisme) dan menampung masukan-masukan ketika Islam berhadapan dengan tuntutan keadaan dan zaman. Selain itu, inklusivitas Islam juga bisa dilihat dari sikap tidak adanya paksaan atas pengertian, pendapat, atau penafsiran dari agama lain. Sebab, pada dasarnya Islam hanya ada kewenangan untuk memberikan peringatan dan mengajak orang lain kepada kebaikan dengan cara yang baik pula.

Uraian tersebut merupakan secuil dari penjelasan yang mendalam yang dapat ditemukan dan dikaji dari literatur-literatur lain. Hal ini menjadi penting untuk dijadikan refleksi atas kompleksnya fenomena-fenomena yang sedikit banyak berkaitan dengan relasi agama dan politik dewasa ini.

Adalah fakta dan kenyataan bahwa agama memiliki peran penting baik sebagai pandangan hidup maupun kontrol sosial. Oleh karena itu, memisahkan atau mengkaitkan agama dan politik adalah suatu keniscayaan dalam hidup berbangsa dan bernegara demi mencaai tujuan mensejahterakan dan memakmurkan kehidupan manusia.

Referensi: Buku Membebaskan Agama dari negara: Pemikiran Abdurrahman Wahid dan ‘Ali ‘Abd ar-Raziq karya Pahrurroji M Bukhori.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan