Radio Kakek

1,649 kali dibaca

Langkahnya berdebum tergesa memasuki rumah. Tak sabar membuka buntalan kotak yang dibawanya. Sebuah radio butut berwarna hitam. Radio kesayangan yang usianya lebih tua dari umurnya sendiri. Kendati, butir peluh membercak di sekujur kaus, wajahnya tetap semringah menimang benda itu, seperti bayi mungil dalam dekapan. Lalu, memutar-mutar tuning dan terdengarlah “Kompor Meleduk” dari suara Benyaamin Suaeb yang spontan membuatnya berjoget riang.

“Mau Maghrib, Pak. Baiknya putar qira’ah masjid,” seru nenek yang keluar dari kamar.

Advertisements

Seruan tersebut tak digubris. Kakek semakin asyik berdendang mengikuti irama lagu tersebut. Aku yang bersisian dengannya hanya dapat tertawa. Tak lama suara qira’ah dari radio nenek menyahut dengan volume yang lebih keras. Tak tahan dengan kebisingan rumah ini, aku membungkam kedua telingaku rapat-rapat.

“Kecilkan radionya!”

“Harusnya kau matikan radiomu. Wes surup. Ora ila,” seru nenek dengan nada kesal. Karena tak ingin berdebat seperti tempo hari, kakek lekas menyingkir. Membawa radio miliknya ke kamar belakang.

Satu-satunya barang berharga kakek ialah radio itu. Ia bahkan menolak saat hendak ditukar dengan yang lebih bagus oleh ayah. Nilainya juga tak tertandingi dengan jam tangan bermerek dari anak sulungnya. Karena radio itu, ia sampai rela berdebat panjang dengan nenek. Putaran lagunya yang berisik dan sering menganggu orang tidur. Suatu waktu di puncak amarah, nenek sengaja membanting radio tersebut. Ibarat punya seribu nyawa, walaupun berkali-kali rusak, radio kakek selalu dapat diperbaiki dan berfungsi seperti biasa.

“Radio ini punya wangsit, Rum. Londo wedhi karo radio iki,” ujarnya suatu hari memberitahuku.

“Wangsit apa? Ada-ada saja, Kek.” Aku terkekeh tak percaya dengan ucapannya.

“Nggak percaya. Coba kamu pengin dengar lagu apa?” tanyanya kemudian.

“Lagu Barat kesukaanku. Charlie Puth,” jawabku berkelakar.

Tuning radio berputar. Terdengar suara gemerisik sesaat sebelum gerakan tangan kakek berhenti pada senandung lagu yang kumaksud. Kakek menatapku dengan senyum kemenangan. Aku tertegun sendiri tak menyangka dengan kehebatannya. Bagaimana mungkin pria tua yang kesehariannya hanya akrab dengan lagu-lagu lawas, mengenali lagu modern khususnya Barat. Aku pun terpancing untuk bertanya lebih banyak.

“Kenapa Belanda takut, Kek?”

“Radio ini yang membebaskan Mbah Buyutmu dari Londo.” Matanya menerawang lurus seperti menerobos belukar ingatan masa lalunya.

“Kok bisa?” tanyaku lagi. Beberapa saat hening tak ada jawaban selain napas berat kakek.

“Radio sakti dong?” Memastikan pemahamanku tak meleset.

“Meski radio ini tak mempan dibedil, tapi eyangmu justru mati di tangan orang-orang pribumi.” Nada kakek berubah getir. Terlihat sisa kilap air di bola matanya.

Tak kusangka masa lalu kakek begitu pahit dan penuh perjuangan. Hikayat dan kisah yang kerap kudengar saat pelajaran sejarah, ternyata sungguh-sungguh dialami oleh kakekku sendiri. Ia saksi mata pembantaian yang menimpa para sesepuh kami. Bibirku ikut bergetar dan air mata merembes kala kakek menuturkan ulang peristiwa silam itu. Terlebih saat ia menunjukkan sabetan luka pedang di punggungnya. Bekasnya samar hampir hilang, tapi, nyerinya masih terasa tampak kakek yang meringis saat aku memegangnya.

“Hanya orang-orang terpilih yang memiliki radio ini,” tuturnya menepuk-nepuk dengan bangga radio kesayangannya itu. Sayangnya, ibu menyuruhku pulang cepat dan aku terpaksa menyimpan gumpalan pertanyaan akan masa lalu kakek dan radio tersebut.

***

Keluarga kami tinggal terpisah dengan rumah kakek dan nenek. Tak begitu jauh, hanya berjarak dua kilometer. Namun, aku cukup sering berkunjung dan menginap di rumah keduanya. Ayah yang memintaku untuk sering menengok ke sana saat senggang. Kendati demikian, ibu kurang menyutujui entah oleh sebab apa.

“Jangan sering-seringlah main ke sana! Lebih baik temani ibu di rumah.” Ibu mengingatkanku malam itu.

“Kenapa? Ibu selalu bilang begitu tanpa alasan yang jelas.”

“Seminggu hanya tiga kali, kok,” jawabku berkelakar. Ibu menghela napas berat meloloskan kata-kata yang selama ini hanya mampu disimpannya seorang diri.

“Ibu tidak suka dengan Kakek. Ia seperti punya ilmu guna-guna, Rat.” Sontak keningku berkerut meminta penjelasan.

“Dulu, sewaktu kami masih tinggal satu atap. Ibu sering melihat hal yang nggak wajar.”

“Hal nggak wajar bagaimana maksudnya, Bu?” tanyaku kian tak mengerti.

“Kakek membangun rumah itu dengan kedua tangannya sendiri. Memperbaiki genteng, mengecor, membuat etalase, kursi hampir semuanya sendiri, tanpa bantuan tukang bangunan….”

“Orang zaman dulu kan memang serba bisa, Bu,” tukasku memotong pembicaraan ibu.

“Membangun rumah dengan tangan sendiri bukan hal gampang, banyak risikonya. Dan sejauh ini, kakekmu aman-aman saja. Bukan hanya itu, Rat. Ibu sering melihat kakekmu komat-kamit nggak jelas sama radionya. Entah, uang darimana kakek dulu bisa melunasi semua utang-utang di bank tanpa pekerjaan yang jelas,” Ibu berusaha menyakinkanku.

“Berarti ibu mendoakan supaya Kakek nggak selamat.” Mendengar prasangka ibu barusan darahku membubung naik. Tak ingin berdebat panjang dengan emosi yang menggelegak. Aku pun beringsut meninggalkan ibu di ruang tamu sendirian.

Tidak ada yang salah dengan perkataan ibu. Hati kecilku percaya bahwa kakek memiliki sebuah kelebihan. Keyakinan itu kian bulat saat ia menceritakan radio dan masa lalunya. Namun, aku teramat kecewa dengan kalimat terakhir ibu tadi. Seolah ulu hatiku tercabik nyeri. Bagaimana tidak. Kakek satu-satunya orang terdekatku selama ini. Sejak kecil hingga dewasa, tak satu pun keluh kesah yang luput kubagi dengannya. Dan saat aku mondok, kakek jualah yang paling sering menjenguk kala orangtuaku sering absen sebab pekerjaan.

Apa memiliki suatu kelebihan itu pertanda buruk?” Kegelisahan ibu menyisakan pertanyaan dalam diriku dan entah siapa yang dapat menjawab. Aku urung bercerita pada ayah, apalagi nenek. Meski hidup berpuluh tahun dengan suaminya, nenek kerap berkelakar yang membuatku enggan bertanya. Sementara, ayah banyak menghabiskan waktu di kantor. Bukankah kelebihan memberi dampak manfaat jika kita menggunakannya di jalan kebaikan, batinku menyakinkan. Dan sejauh ini pula, aku tak pernah melihat tingkah aneh kakek selain menyendiri di kamar belakang dengan radio kesayangannya. Lebih baik kusimpan saja pertanyaan itu untuk kuceritakan langsung pada kakek keesokan hari.

***

Pagi itu, kakek mendadak pergi ke kampung halaman. Biasanya, ia selalu memberitahuku jika akan pergi sekaligus bertanya oleh-oleh`yang kuinginkan. Tak hanya itu, ia menyiapkan beragam hadiah untuk sanak saudara yang ada di sana. Namun, kali ini kakek pergi hanya membawa radio kesayangannya. Dan sebagai ganti, aku menemani nenek di rumah selama beberapa hari.

Seperti yang sudah-sudah, kakek tak pernah pergi lebih dari tiga hari. Aku hafal betul sebab di hari ketiga aku tak pernah luput menanti ketukan pintu, lalu menyambutnya dengan wajah berseri-seri. Menikmati oleh-oleh dari tanah kelahirannya. Sayangnya, hingga hari keempat belum ada tanda-tanda kepulangannya.

“Kok kakek belum pulang ya, Nek?” tanyaku pada nenek dengan muka masam.

“Sudah tunggu saja. Mungkin masih di jalan,” jawabnya berusaha tenang. Kulihat raut muka nenek menyembunyikan kecemasan yang sama. Tak lama terdengar salam dan ketukan pintu. Aku terperanjat dan segera menghambur. Ternyata, dugaanku salah. Tampaklah ayah datang menyampaikan sebuah kabar. Kakek dikabarkan meninggal saat membantu memadamkan ladang sawah yang dilalap jago merah.

***

“Radio ini kami temukan di samping jasadnya,” tutur Pak Husni, tetua kampung. Aku menerimanya dengan tangan gemetar. Sesekali menyeka bercak air di sudut mata. Abu menempel di beberapa bagian radio tersebut. Menandakan benda tersebut selalu bersamanya hingga detik ajal menjemput.

“Beliau orang sae, loman, dan banyak membantu. Sebelum kejadian itu, ia ikut memperbaiki genteng di rumah.” Sorot matanya menyorotkan rasa prihatin.

“Mungkin, sudah jalannya memilih beristirahat di sini,” celetuk sanak saudara saat pengajian berlangsung.

Aku pun beringsut ke kamar yang dihuni kakek selama menginap. Dadaku sesak tak kuasa menahan kesedihan. Tak peduli dengan mataku yang mulai tumbuh benjolan sebab menahan pilu sejak semalam. Lalu, mendekap radio kesayangannya. Kenangan berputar menampar-nampar wajahku yang sembap, juga beragam pertanyaan yang hanya kutelan selamanya seorang diri. Sayup-sayup, terdengar gemerisik radio dan dendangan lagu “Kompor Meleduk” yang lambat laun mengiringiku terlelap. Samar-samar kudengar suara kakek bergumam mengajariku sebuah wangsit.

Malang, Juni 2022.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan