Radio Kakek

1,635 kali dibaca

Langkahnya berdebum tergesa memasuki rumah. Tak sabar membuka buntalan kotak yang dibawanya. Sebuah radio butut berwarna hitam. Radio kesayangan yang usianya lebih tua dari umurnya sendiri. Kendati, butir peluh membercak di sekujur kaus, wajahnya tetap semringah menimang benda itu, seperti bayi mungil dalam dekapan. Lalu, memutar-mutar tuning dan terdengarlah “Kompor Meleduk” dari suara Benyaamin Suaeb yang spontan membuatnya berjoget riang.

“Mau Maghrib, Pak. Baiknya putar qira’ah masjid,” seru nenek yang keluar dari kamar.

Advertisements

Seruan tersebut tak digubris. Kakek semakin asyik berdendang mengikuti irama lagu tersebut. Aku yang bersisian dengannya hanya dapat tertawa. Tak lama suara qira’ah dari radio nenek menyahut dengan volume yang lebih keras. Tak tahan dengan kebisingan rumah ini, aku membungkam kedua telingaku rapat-rapat.

“Kecilkan radionya!”

“Harusnya kau matikan radiomu. Wes surup. Ora ila,” seru nenek dengan nada kesal. Karena tak ingin berdebat seperti tempo hari, kakek lekas menyingkir. Membawa radio miliknya ke kamar belakang.

Satu-satunya barang berharga kakek ialah radio itu. Ia bahkan menolak saat hendak ditukar dengan yang lebih bagus oleh ayah. Nilainya juga tak tertandingi dengan jam tangan bermerek dari anak sulungnya. Karena radio itu, ia sampai rela berdebat panjang dengan nenek. Putaran lagunya yang berisik dan sering menganggu orang tidur. Suatu waktu di puncak amarah, nenek sengaja membanting radio tersebut. Ibarat punya seribu nyawa, walaupun berkali-kali rusak, radio kakek selalu dapat diperbaiki dan berfungsi seperti biasa.

“Radio ini punya wangsit, Rum. Londo wedhi karo radio iki,” ujarnya suatu hari memberitahuku.

“Wangsit apa? Ada-ada saja, Kek.” Aku terkekeh tak percaya dengan ucapannya.

“Nggak percaya. Coba kamu pengin dengar lagu apa?” tanyanya kemudian.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan