Puasa Pertama Kanaya

1,014 kali dibaca

“Kanaya tunggu!” Pak Tedi memekik kala putri satu-satunya pergi meninggalkan rumahnya yang luas itu.

“Maafkan Kanaya, Yah,” lirih Kanaya sembari menuju mobil yang sudah dipesannya lewat online.

Advertisements

Hari ini adalah hari untuk Kanaya memutuskan sesuatu yang besar. Sesuatu demi kehidupan di dunia dan akhirat. Keyakinan. Iya, hati Kanaya telah mantap untuk memilih Islam sebagai agama barunya. Gadis itu paham betul semua konsekuensinya. Termasuk kemarahan dan penolakan dari ayahnya. Betul, saja tadi saat Kanaya mengutarakan niatnya untuk berpindah ke agama Islam, Pak Tedi sangat murka. Sampai-sampai gelas yang masih berisi setengah air putih itu pecah, dilayangkannya.

“Apa? Kamu mau pindah agama? Sadar, Kanaya! Agama itu bukan untuk main-main,” ujar lelaki yang sudah beruban itu setelah mendengarkan penuturan putrinya yang mengejutkan.

“Kanaya tahu, Yah. Kanaya pun mempelajari Islam bukan hanya akhir-akhir ini saja. Sudah lama Kanaya belajar dan mendalami Islam. Ternyata di sana Kanaya mendapatkan ketenangan, Yah. Tidak seperti yang ayah bilang bahwa Islam itu agama teroris. Salah besar. Justru sebaliknya. Kedamaian dan ketenangan ada di dalamnya.” Panjang lebar Kanaya menjelaskan yang sudah dirasanya hingga sekarang.

“Tidak! Sekali tidak, ya, tidak!” pekik Pak Tedi.

“Kanaya sudah besar, Yah. Kanaya ….”

Belum sampai Kanaya melanjutkan pembelaannya, Pak Tedi segera melempar gelasnya yang tadi digunakan untuk minum.

“Kalau kamu sayang Ayah, kamu jangan pindah agama. Kalau tetap ingin juga pindah agama, silakan keluar dari rumah ini,” ucap Pak Tedi dengan napas yang masih belum beraturan. Emosi masih belum terkontrol. Rasanya bumi hampir runtuh menimpanya saat putri yang sangat dicintainya itu hendak pindah dari agama mereka.

Seketika Kanaya berlari ke kamarnya, meninggalkan ruang makan malam mereka berdua. Air matanya pecah. Pintu kamarnya dikunci dari dalam. Masih dengan derai air mata yang menganak sungai, Kanaya memilah pakaian dan menyusun ke dalam koper. Kanaya memilih untuk hengkang dari rumah itu. Beberapa saat kemudian, pintu kamar Kanaya terketuk.

“Kanaya, Ayah mohon pikirkan sekali lagi. Ayah enggak mau kehilangan kamu.” Kali ini suara dan intonasi Pak Tedi lebih rendah dari sebelumnya. Dia paham sifat anaknya. Semakin dikerasin, Kanaya akan semakin memberontak.

“Keputusan Kanaya sudah bulat, Yah. Tolong hormati dan lepaskan Kanaya,” timpal Kanaya dari dalam kamar seraya membereskan baju terakhirnya ke dalam benda berwarna merah muda miliknya itu.

***

“Mbak! Mbak!”

Kanaya terkesiap oleh suara sopir mobil pesanannya tadi. Dia mengerjapkan mata, lalu bernapas panjang.

“Iya, Pak.” Kanaya masih tampak bingung.

“Kita ini mau ke mana?” tanyanya lagi.

“Emm, kita ke tempat Pak Kiai Majid saja, Pak,” balasnya, tenang.

“Baik, Mbak.” Sopir pun kembali melajukan dengan kecepatan sedang setelah mengetahui tujuan penumpangnya.

Sepanjang jalan, Kanaya hanya melamun. Pandangannya kosong mengarah keluar mobil. Akan tetapi, dalam benaknya berjejal-jejal mengenai ayahnya. Kasih sayang ayahnya masih melekat di hati gadis itu. Bagaimana mungkin pria yang menjadi ayah sekaligus ibu itu kini ditinggalkannya? Doa demi doa dia rapal setiap detik supaya ayahnya tercinta dibukakan hatinya untuk mengakui Islam dan masuk Islam seperti dirinya.

Tak sadar sopir pun memberhentikan mobilnya tepat di depan gerbang kediaman Kiai Majid. Di sana sudah ada Sofia menyambutnya dengan senyum mengembang.

“Mbak kita sudah sampai tujuan,” kata sopir itu mengagetkan Kanaya.

“Oh, iya. Terima kasih banyak, ya, Pak. Ini ongkosnya. Kembaliannya bawa saja.” Gadis itu memberikan dua lembaran uang berwarna merah.

“Terima kasih, Mbak.” Pak sopir itu menerima dengan semringah.

Kanaya keluar dari mobil hitam itu. Selepas mobil itu berlalu, Kanaya langsung dipeluk oleh sahabatnya yang sejak tadi sudah menunggu di depan gerbang rumahnya.

“Kamu yang sabar dan tabah, ya.” Sofia mengusap pelan punggung Kanaya yang masih dipeluknya.

Tangis Kanaya pun pecah kembali di dekapan sahabatnya sejak kecil itu. Sempat beberapa kali renggang karena beda agama. Akan tetapi, kini Kanaya hendak memeluk Islam persahabatan itu makin erat bahkan Kanaya sudah dianggap sebagai saudara sendiri di keluarga Kiai Majid alias ayah Sofia.

Setelah mengurai pelukan mereka, Sofia mengajak Kanaya masuk ke rumahnya. Dia membantu Kanaya untuk membawakan koper yang Kanaya bawa. Hatinya sangat senang sekali sahabatnya akan menjadi saudara seiman.

***

Setelah kemarin Kanaya mengucap syahadat di hadapan Kiai Majid, Sofia, dan beberapa para hadirin, dia masih tak menyangka kalau sekarang dia sudah menjadi muslimah. Hari ini umat muslim di seluruh dunia menunaikan ibadah puasa Ramadhan, termasuk Kanaya. Dia ikut sahur dengan keluarga Sofia. Rasanya senang sekali.

“Jadi bagaimana dengan keluargamu, Kanaya? Apakah mereka setuju dengan keputusanmu ini?” tanya lelaki satu-satunya di antara mereka yang sedang sahur.

“Ayah saya sebenarnya tak mengizinkan saya, Kiai. Makanya saya langsung ke sini dan menginap di sini. Kalau ibu saya sudah meninggal saat saya masih bayi,” terang Kanaya.

“Ya, sudah doakan saja semoga ayahmu segera mendapat hidayah seperti kamu. Dan jangan lupa juga doakan ibumu yang sudah melahirkanmu supaya diampuni dosa-dosa beliau di alam sana.” Kini istri Kiai Majid pun turut membuka suara.

“Baik, Bu Hajah.” Kanaya menunduk pelan, lalu melanjutkan kembali makan sahurnya.

Beberapa menit kemudian, mereka semua selesai sahur. Sofia pun mendekati Kanaya sembari membawa kerudung warna merah muda.

“Ini dipakai, ya. Sebagai muslimah kita juga diwajibkan untuk menutup aurat, termasuk rambut kita.” Tanpa Kanaya bertanya, Sofia menjelaskan tentang pemberiannya itu.

“Wah, terima kasih, ya, Say.” Kanaya memeluk Sofia.

“Sama-sama. Oh, iya. Selamat menjalankan ibadah puasa yang pertama kali, ya. Semoga kuat sampai Magrib, ya.” Sofia menyunggingkan senyuman manis untuk sahabatnya.

“Aamiin. Terima kasih, ya. Aku akan semangat puasa ini. Bukan hanya puasa, aku pun ingin belajar mengaji denganmu supaya cepat bisa membaca Al-Quran nanti.” Kanaya antusias sembari mengurai pelukannya.

Kedua sahabat itu saling memberi dukungan, berusaha meraih rida Allah di bulan puasa. Termasuk, saat Kanaya merasa jenuh dan lemas saat puasa. Sofia selalu berusaha menghibur dan menyemangati Kanaya, hingga puasanya pun bisa seharian tanpa beban.

***

Riau, 1 April 2022.

ilustrasi: lukisan Barli Sasmitawinata, Gadis Berkerudung.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan