Puasa dan Kepedulian Sosial

1,025 kali dibaca

Penetapan awal 1 Ramadan pada tahun 1443 H/2022 M ini terjadi perbedaan antara keputusan pemerintah dan beberapa ormas Islam yang menggunakan metode hisab. Bagi yang menggunakan metode hisab, mereka memulai puasa pada hari Sabtu, 2 April 2022. Sedangkan, pemerintah setelah melalukan pemantauan hilal dan mendengarkan pendapat dari beberapa ormas Islam, memutuskan 1 Ramadan jatuh sehari setelahnya, yaitu Minggu, 3 April 2022.

Muhammadiyah, Irmas Islam terbesar di Indonesia bersma Nahdlatul Ulama(NU), lebih dulu memulai puasa pada hari Sabtu. Hal itu berdasar Maklumat Nomor 10/MLM/I.0/E/2022 tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadhan, Syawal dan Zulhijah 1443 Hijriyah. Sementara, NU memulai puasanya pada Minggu, kebetulan bersamaan dengan hari yang ditetapkan pemerintah.

Advertisements

Menyikapi Perbedaan

Bukan hanya tahun ini terjadi perbedaan penentuan awal puasa antara keputusan pemerintah dan sebagian umat Islam di indonesia. Ini sudah sering terjadi. Bedanya adalah, pada tahun ini umat Islam sudah sangat dewasa dan bijak menyikapi perbedaan, terutama persoalan furu’iyah (cabang agama). Toleransi seperti ini perlu untuk terus dipupuk bahkan diperluas lagi tidak hanya toleransi antar-mazhab (golongan) dalam Islam, tapi juga toleransi antarumat beragama di tengah maraknya aksi teror yang menggunakan agama sebagai tameng.

Perbedaan merupakan sunnatullah dan suatu keniscayaan

وَلَن تَجِدَ لِسُنَّةِ ٱللَّهِ تَبْدِيلاً

kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu.

Cukuplah kita belajar dari negara-negara di Timur Tengah yang terlibat perang antar-sesama karena kurang bijak dalam menyikapi perbedaan. Baik perbedan dalam mazhab (Sunni-Syiah) seperti di Suriah dan negara negara Arab lain yang mengakibatkan negara tersebut terjerumus dalam perang sipil tidak berujung, maupun sekadar perbedaan dalam pandangan politik.

Maka Ramadan tahun ini, meski tidak sama dalam mengawali puasa, umat Islam tidak meributkannya. Semua pihak adem ayem tanpa adanya perdebatan yang berarti. Berangkat dari hal tersebut, marilah kita perluas implementasi toleransi dengan tetap menghargai perbedaan yang terjadi dalam hal hal terkait ubudiyah (ibadah) selama bulan Ramadan, semisal perbedaan jumlah rekaat salat tarawih, atau bahkan bisa jadi perbedaan dalam penetapan 1 Syawal nanti. Ini membuktikan bahwa puasa tidak hanya menahan lapar dan dahaga, tapi juga sebagai media memupuk toleransi dengan sesama dengan menahan diri dari menghujat siapa pun yang berbeda pandangannya dengan kita.

Imam syafi’i pernah berkata:

رأيي صواب يحتمل الخطأ ورأي غيري خطأ يحتمل الصواب.

Pendapatku benar(menurutku sendiri) tapi bisa jadi salah, dan pendapat selainku salah(menurutku) dan bisa jadi pendapat itu benar.

RMeningkatkan Kepedulian Sosial

Kelangkaan minyak goreng yang menyebabkan melambungnya harga komoditi tersebut merupakan cobaan bangsa ini yang tidak hanya di rasakan oleh umat Islam, tapi seluruh warga negara. Minyak goreng jenis premium bisa naik dua kali lipat per liter.  Tentu umat Islam sebagai mayoritas di negeri ini yang memasuki bulan Ramadan disera kesulitan. Lebih-lebih kalangan menengah ke bawah, kelompok mustadl’afin (wong cilik) yang hidup dari menjual gorengan dan sektor sektor yang mengandalkan minyak goreng.

Ironisnya, masih banyak beberapa pihak yang mencari kesempatan dalam kesempitan. Bisa dilacak di mesin pencarian Google berita penimbunan minyak goreng dalam jumlah yang fantastis. Padahal, Islam jelas melarang aktivitas tersebut karena masuk dalam kategori ihtikar (penimbunan).

Upaya penimbunan bahan pokok seperti minyak goreng tidak bisa dibenarkan karena bisa menyebabkan kelangkaan dan sangat mnyusahkan kalangan menengah kebawah.  Dabi pernah bersabda sebagaimana pernah diriwayatkan oleh Umar bin khattab R.A.

الجَالِبُ مَرزُوقٌ وَالمُحتَقِرُ مَلعُونٌ

Seseorang yang mendatangkan makanan maka ia akan diberi rezeki yang berlimpah, dan penimbun mendapat laknat allah swt.

Puasa seyogyanya menjadi media melatih kepedulian sosial. Syari’ mensyariatkan puasa agar kita merasakan apa yang dirasakan orang-orang miskin saat mereka lapar. Semangat menumbuhkan kepekaan sosial lebih dominan dalam syariat puasa, dibandingkan sebatas hanya menahan lapar dan dahaga.

Sebagaimana kita ketahui, selain puasa, juga ada kewajiban menunaikan zakat fitrah dengan batas akhir sebelum diselenggarakannya salat Id pada 1 Syawal. Zakat tersebut didistribusikan kepada yang berhak menerimanya (mustahik) dari kelompok fakir miskin, baik berupa makanan pokok maupun dalam bentuk nominal uang.

Kesimpulan

Marilah bersama-sama, momentum puasa Ramadan tahun ini, kita tingkatkan toleransi dalam kehidupan berbangsa dan beragama, agar tercipta kehidupan yang harmonis antar-sesama muslim dalam lingkup yang sempit, dan antar-sesama anak bangsa dalam tataran yang lebih luas lagi. Jika toleransi sudah tertancap kuat dalam diri kita, insyallah umat akan kokoh dan negeri ini akan menatap  masa depan yang cerah, jauh dari konflik horizontal.

Penulis juga berharap pada diri penulis sendiri dan semua yang membaca tulisan ini, untuk senantiasa meningkatkan kesalehan tidak hanya kesalehan individual, tetapi juga kesalehan sosial, terlebih lagi di bulan suci Ramadan, dengan menahan diri untuk tidak membelanjakan hartanya membeli sesuatu terutama bahan-bahan pokok seperti minyak goreng secara berlebihan. Belanjalah secukupnya, karena panic buying bisa menyebabkan kelangkaan barang dan melambungkan harga. Yang mana kalau itu terjadi, akan menyusahkan rakyat kecil memenuhi kebutuhannya. Lantas dimanakah kepedulian sosial kita? Wallahu A’lam Bisshawab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan