PPKM dalam Perspektif Filsafat Hukum Islam

2,604 kali dibaca

Saban hari, publik dibuat risau oleh pemberitaan media ikhwal semakin banyaknya korban Covid-19 berguguran. Hingga klimaksnya, jumlah kematian akibat paparan Covid-19 terus melonjak dan menjadi yang tertinggi di dunia. Kekhawatiran jelas menghantui masyarakat (utamanya masyarakat menengah ke bawah), antara mati sebab virus atau tewas karena kelaparan.

Dua tahun berlalu, Covid-19 belum juga memberi tanda kapan akan berakhir. Berbagai kebijakan, sejak pertama kali penyebaran virus itu diumumkan di Indonesia, sudah dilakukan. Pysychal distancing, pembelajaran virtual, sosialisasi protokol kesehatan (prokes) sudah dilaksanakan sebagai ikhtiar. Namun, penurunan tidak menunjukkan angka yang diharapkan. Bahkan, sekarang, peningkatan nyaris berada pada taraf klimaks.

Advertisements

Terlebih, beberapa bulan kemarin, vaksinasi juga dilakukan sebagai suatu prospek. Prosesnya pun berlangsung saat hari di mana tulisan ini ditulis. Beragam jenis vaksin pun diperkenalkan, mulai dari Sinovac, Astra Zeneca, dan lain-lain. Tapi tetap saja, stigma masyarakat terus mencuat ke permukaan.

Kebijakan-kebijakan yang ada dibantah dengan argumentasi yang (selalu) salah. Didukung dengan bertebarannya berita hoaks, argumentasi itu semakin santer meluncur. Sementara, pejuang medis bertaruh nyawa dalam menangani setiap kasus. Miris memang, suasana genting yang seyogianya direspons bijak malah semakin tercabik oleh stigma-stigma yang kurang sopan.

Kemarin, masih sangat segar, pemerintah kembali mencanangkan kebijakan, yaitu Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Pasti, kebijakan yang diambil ini dimaksudkan untuk menekan jumlah kasus penyebaran. Seperti kita tahu, angka kasus Covid-19 saat ini bukan main-main. Per tanggal 9 Juli 2021, misalnya, korban mencapai 2.455.912. Bertambah sekitar 30 ribuan dari kasus di hari sebelumnya. Bayangkan, per hari bisa menembus angka sedemikian besar. Masihkah menganggap remeh?

PPKM Darurat diberlakukan dalam garis teritorial Jawa dan Bali. Sekilas, PPKM Darurat mirip dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilaksanakan sebelumnya. Namun, PPKM Darurat ini lebih spesifik pada daerah Jawa dan Bali. Pun, targetnya adalah menurunkan kasus sampai 10.000 per hari.

Lantas, bagaimana filsafat hukum Islam menyikapi PPKM Darurat? Apakah sinkron dengan yang disyariatkan agama?

Tentu, keselamatan jiwa masyarakat menjadi prioritas, baik bagi negara atau agama. Sehingga, dua komponen ini bersifat menyatu dan sangat tidak etis jika dibentur-benturkan. Sedikit saya menyinggung, dalam hukum positif, hal itu disebut dengan kaidah Solus Populi Suprema Lex Esto, yang menjadikan keselamatan masyarakat sebagai prioritas utama.

Menilik kebijakan PPKM Darurat, ikhtiar ini secara garis besar mengisyaratkan kita untuk tetap #StayAtHome. Berdiam diri di rumah adalah langkah yang diharapkan bisa menekan jumlah kasus. Dilansir dari CNBC Indonesia (10/7/2021), pada pelaksanaan PPKM Darurat ini, mobilitas masyarakat sangat dibatasi. Masyarakat yang bekerja di sektor non-esensial dan non-kritikal harus sepenuhnya bekerja dari rumah. Begitu juga dengan mobilitas perekonomian. Pusat perbelanjaan tidak diizinkan beroperasi, kecuali toko bahan pokok. Itu pun dengan kapasitas pengunjung 50% dan tutup ketika jam 20.00.

PPKM dan Maqashid Syariah

Dalam filsafat hukum Islam, kita mengenal istilah maqashid syariah. Di beberapa kitab yang berbeda, yang juga mengulas mengenai kaidah fikih atau ushul, maqashid syariah menjadi suatu hal yang urgen. Sebab, ia dibutuhkan dalam mencari perbandingan antara kadar mashlahat dan madharat dalam suatu hal.

Ibnu Asyur, ulama yang pertama kali mendefinisikan maqashid syariah, menjelaskan, maqashid merupakan nilai-nilai atau hikmah-hikmah yang diperhatikan oleh syariat. Kemudian, Imam Ghazali memberikan batasan untuk pertama kalinya tentang maqashid syariah. Pengarang kitab Al-Mustasyfa itu mengatakan bahwa maqashid syariah (tujuan syariat) setidaknya harus memiliki lima konsep dasar, yaitu hifdz din (menjaga agama), hifdz nafs (menjaga jiwa), hifdz aql (menjaga akal/pikiran), hifdz nasb (menjaga keturunan), dan hifdz mal (menjaga harta).

Dari lima konsep tersebut, selanjutnya Imam Ghazali mengklasifikasikannya menjadi dua bagian, yaitu mashlahah dan mafsadah. Dalam pengertian sederhana, mashlahah merupakan hal yang secara substansi sesuai dengan lima konsep tersebut. Sedangkan, mafsadah sebaliknya, yang tidak sesuai.

Dalam qawaidhul fiqh dijelaskan mengenai bagaimana sebaiknya seorang imam (penguasa) menjalankan kebijakannya, yaitu untuk kemaslahatan

تصرف الامام علی الراعية منوط بالمصلحة

Artinya: Kebijakan seorang imam, harus digantungkan kepada kemaslahatan.”

Imam Syafii bahkan menegaskan bahwa peran kepala negara terhadap rakyatnya sama dengan kedudukan wali terhadap yatim yang ada dalam lindungannya. Maka, sudah sepatutnya kepala negara mengemban tugas sesuai dengan kemaslahatan publik. Kebijaksanaan yang diambil harus berhubungan dengan kepentingan orang banyak.

PPKM Darurat yang masih menjadi hal problematik saat ini, adalah kemaslahatan yang diaktualisasikan pemerintah melalui kebijakannya. Sebab, keselamatan rakyat adalah tujuannya.

Pun, jika membandingkan PPKM Darurat saat ini dengan teori Imam Ghazali ihwal maqashid, tentu ada korelasinya. Lima konsep dasar yang diperkenalkan Imam Ghazali ini sejalan dengan PPKM Darurat yang oleh pemerintah dimaksudkan sebagai ikhtiar menuju normal. PPKM Darurat adalah langkah kita menjaga diri, agama, akal, keturunan, dan harta. Sebab, jika kita berada dalam kondisi sehat, lima konsep dasar tersebut mudah dipenuhi.

Menaati peraturan pemerintah (selama tidak menyeleweng) adalah bentuk ketakwaan kepada Allah. Tunduk kepada ulil amri sudah termaktub dalam Al-Quran. Selanjutnya, mematuhi PPKM Darurat adalah bentuk ikhtiiar kita dalam menjaga diri (hifdz nafs). Maka, secara tidak langsung, mematuhi segala hal yang diatur pemerintah (selama berada dalam kemashlahatan) adalah bentuk kita mengikuti konsep yang terkandung dalam maqashid syariah.

Kaidah terakhir yang cukup sinkron dengan pembahasan ini adalah:

دراالمفاسد مقدم علی جلب المصالح

Artinya: Menolak keburukan lebih utama dari melakukan kebaikan.

Beribadah di masjid, berinteraksi dengan orang lain, melakukan interaksi antara murid dan guru adalah suatu kebaikan. Namun, hal yang paling urgen untuk diperhatikan adalah bahaya yang sedang mengintai. Dengan demikian, berikhtiar menekan jumlah penyebaran wabah Covid-19 lebih utama dari melakukan kebaikan (seperti salat berjamaah di masjid).

Multi-Page

Tinggalkan Balasan