Malam yang dingin ditingkahi suara desisan angin membuat suasana desa Sonorejo terasa begitu mencekam. Jalan utama yang biasanya tak pernah sepi kini terlihat lengang. Rumah-rumah warga pun telah tutup pintu bahkan ketika petang baru mulai menyelimuti malam. Tak hanya mewabahnya virus Corona yang membuat warga enggan, dan memang tidak boleh keluar rumah, tapi juga karena menjelang Lebaran kali ini maling-maling berkeliaran kemana-mana.
Di kampung yang jauh dari ingar-bingar kota itu setiap malam para lelaki berjaga di pos kamling. Begitu juga dengan malam ini. Beberapa orang sedang berjaga di pos kamling dekat perempatan jalan. Mereka mulai terkantuk-kantuk. Kopi yang telah lama diseduh sudah berubah dingin. Beberapa potong kue yang dibawa salah satu dari mereka juga telah dikerumuni semut. Dan musik dangdut koplo yang diputar untuk menemani mereka kini terdengar kian lirih. Malam semakin larut. Dan suasana kampung itu semakin senyap.
Tengah malam Soleh terbangun. Salah satu petugas piket jaga malam itu sedang kelaparan. Perapian berisi abu dan bara api panas ia dongkeli untuk mendapatkan ketela gosong yang semerbak baunya menyerbu hidung. Tidak sia-sia, ternyata di samping ketela yang gosong itu masih ada ketela yang masih utuh. Soleh menyeringai penuh kemenangan.
“Aman, Leh?” tiba-tiba terdengar pertanyaan terlontar pada Soleh. Lelaki itu terkejut dan sempat takut.
“Owh, Pak Haji Ali ternyata. Aman Pak Haji,” sahut Soleh.
“Kok kalian tidur? Mana kalian bisa tahu kalau kampung sedang tidak aman?” tukas Haji Ali dengan nada menghardik.
“Di mana yang tidak aman, Pak? Ada maling?”
“Di rumahku.”
“Benar Pak Haji? Apa yang diambil?” Soleh semakin terperanjat. Ketela di mulutnya sampai terjatuh karena mulutnya melongo. “Biar saya bangungkan orang-orang ini,” ucapnya kemudian.
“Malingnya tidak mengambil apa-apa karena kepergok. Sekarang, kalian yang jaga harus hati-hati. Jangan ke sini cuma mau pindah tidur saja,” Haji Ali bernasihat.
“Iya Pak Haji. Terus, siapa malingnya Pak Haji?”
“Ya mana saya tahu, wong malingnya keburu lari. Sudah, sekarang bangunkan temanmu itu, saya mau pulang.”
Soleh membangunkan teman-teman jaganya, sedangkan Haji Ali telah kembali pulang.
Tiga malam kemudian Soleh kembali berjaga di pos kamling itu. Dia sedang duduk mengitari perapian bersama dengan tiga orang lainnya.
“Lampu di rumah Kardi tidak ada yang dihidupkan. Gelap sekali pas aku lewat tadi,” ucap Sarmidi sembari mengisap batang rokoknya.
“Setahuku sejak beberapa hari yang lalu rumah itu memang gelap gulita. Seperti tidak ada penghuninya,” tukas Beni, perjaka putra Mbah Semin yang setiap malam hadir di pos kamling memutar dangdut koplo.
“Mungkin menyusul istrinya ke rumah orang tuanya,” timpal Sarmidi.
“Iya, mungkin begitu. Istrinya kan terlilit banyak utang. Kami para tetangga semua menjadi korbannya. Tidak ada harapan kapan utang itu akan dibayar. Mungkin dia pulang ke rumah orang tua biar di sana tidak ditagih utang. Kardi kan sudah nggak kerja lagi semenjak ada Corona ini,” Gangsar ikut nimbrung.
“Makanya kalau cari istri jangan cari yang suka dandan. Kalau uang habis, celana dalam lemari ikut terjual untuk beli bedak. Bisa-bisa piring juga terjual untuk beli make up,” Beni berseloroh.
“Makanya kamu segera cari istri, Ben! Kamu belum punya istri sok-sokan menasihati!”
Ucapan Soleh itu membuat mereka tertawa renyah.
“Makanya segera cari istri biar masa-masa di rumah saja seperti saat ini bisa tetap produktif!” suara Soleh semakin kencang.
Sampai malam para lelaki penjaga pos kamling itu masih terus ngobrol. Topik pembicaraan tidak jauh-jauh dari menggosipkan para tetangga mereka. Mulai dari tetangga sebelah rumah sampai yang sebelah kuburan tak luput dari gosip. Membicarakan aib orang lain memang selalu mengasyikkan.
Giliran Soleh jaga malam berikutnya turun gerimis yang tak sudah-sudah. Sembribit angin yang bertiup ditingkahi rintik hujan membuat malam menebar hawa dingin yang terasa sampai ke tulang-belulang. Lelaki yang mengais rezeki dari mencari batu di bukit pinggir desa itu berselimutkan sarung, menahan dingin sendirian di pos kamling.
Hujan rintik-rintik yang tak kunjung reda membuat sinyal internet ngadat menyebalkan. Pesan WA yang ia kirim ke grup WA jaga malam tak terkirim. Hatinya semakin dongkol. Menyesal sekali dia nekat berangkat jaga malam-malam gerimis begini. Dia merasa dikerjai temannya. Hujan turun seharusnya memang piket jaga malam diliburkan. Para maling pun sepertinya juga akan enggan berangkat kerja kalau dimana-mana becek seperti ini.
Terlintas di benak Soleh untuk pulang. Toh tidak akan ada yang protes. Semua teman jaganya tidak ada yang masuk. Niat Soleh untuk pulang diurungkan karena beberapa saat kemudian Beni datang. Dangdut koplo segera berdenyut-denyut di gendang telinga mereka.
“Rumah Lik Kardi masih gelap ya Mas Soleh?” suara Beni memecah kebisuan.
“Iya. Nggak tahu tuh kemana orangnya. Takut aku tagih utangnya mungkin,” jawab Soleh. Kepulan-kepulan asap rokok bertebaran di saat mulutnya bicara.
“Memang Lik Kardi utang kamu berapa Mas?” sahut Beni.
“Bukan Kardi, Si Sumirah istrinya yang utang aku. Uang bayaran tiga truk batu ludes dibawanya pergi. Nggak tahu apa dia sulitnya cari batu di bukit cadas itu,” Soleh ngedumel sendiri.
“Anggap saja sedekah, Leh. Setiap hari salat kok gitu saja mengeluh. Ngutangi orang yang sedang butuh itu pahalanya besar sekali. Sayang sekali kalau pahalanya hilang gara-gara tidak ikhlas,” Haji Ali tiba-tiba sudah datang lengkap dengan petuah-petuahnya. Anehnya, momen kedatangan guru ngaji itu selalu pas ketika ada orang yang sedang membutuhkan nasihat.
“Pak Haji memang enak, tinggal duduk nunggu panenan tebu. Tidak punya tanggungan anak istri pula. Setiap bulan kiriman dari anak yang di perantauan tak pernah absen. Lha saya? Anak yang kecil tiap hari minta uang untuk beli susu. Yang gede minta uang buat beli paketan internet. Katanya mau ngerjain e-learning, eh kutengok ternyata nge-game,” curhat Soleh mengobrak-abrik permasalahan ketahanan pangan dan ketahanan hidupnya. Haji Ali dan Beni terpingkal-pingkal mendengar keluh-kesah Soleh. Kesusahan bagi orang yang mengalaminya memang acapkali berubah jadi lelucon bagi orang yang menontonnya.
“Soleh sama Beni mau pekerjaan?” tiba-tiba Haji Ali melontarkan pertanyaan.
“Kālau uang mau,” sergah Soleh.
“Ini serius. Kalau mau besok langsung kerja,” timpal Haji Ali.
“Kerja apa Pak Haji?” sahut Beni.
“Saluran pipa airku macet. Sepertinya ada yang buntu. Kalau kalian mau membenahinya kuberi upah lima ratus ribu. Lumayan kan, Leh, daripada kamu susah-susah cari batu becek-becek begini?”
Haji Ali adalah orang kaya. Kebun tebu peninggalan mendiang istrinya berhektar-hektar luasnya. Uang pensiunannya sebagai petugas KUA juga masih terus mengalir. Selain itu, anak-anaknya yang sudah sukses di perantauan juga masih ikut memberinya tunjangan. Uang yang berlebih itu sering ia bagi-bagikan pada santri-santrinya yang tiap hari belajar ngaji padanya.
“Yang benar Pak Haji?” sahut Soleh antusias. Di balik kegemaran Haji Ali suka nyeramahi yang membuat Soleh sering merasa jengah itu Soleh menyenangi kedermawanannya. Sebenarnyalah Haji Ali memang orang yang saleh beneran, sedangkan Soleh adalah orang yang Soleh amatiran.
“Aku mencium bau busuk di sekitaran rumah Lik Kardi tadi pagi. Mas Soleh yang juga sedang membenahi saluran pipa air milik Haji Ali bersamaku juga mengatakan hal yang sama,” ucap Beni pada Gangsar dan Sarmidi malam berikutnya. Mereka sedang jaga di pos kamling.
“Mungkin ada bangkai ayam yang terseret aliran air di selokan depan rumah Kardi?” tebak Sarmidi.
“Bukan Lik. Kami tidak menemukan ada bangkai. Bahkan selokan sekitar rumah itu bersih sekali karena tersapu arus deras saat turun hujan kemarin,” tangkis Beni.
“Rumah itu malam ini gelap apa terang?” tanya Gangsar.
“Gelap. Aku kira rumah itu sudah ditinggalkan penghuninya semenjak semingguan yang lalu.”
“Aku tidak ingin menebak yang tidak-tidak. Aku capai sekali sehabis mencangkul seharian tadi. Aku mau tidur saja,” ucap Sarmidi seraya menyelimutkan sarung ke tubuhnya.
“Besok kita bilang ke Haji Ali atau Pak RT. Sekarang kita tidur dulu. Mataku sudah tidak kuat melek,” sahut Gangsar.
Melihat kedua temannya sudah terkapar didera kantuk Beni merasa gusar. Keganjilan yang menyita pikirannya membuatnya tidak bisa tidur. Malam memang belum juga terlalu larut. Dangdut koplo ia keraskan.
“Dasar Beni. Malam-malam begini dangdut koplo kamu kencang-kencangkan. Kamu tak tahu kami capai sekali?” dengus Gangsar sebal.
“Kita ke sini untuk jaga malam, bukan untuk pindah tidur, Mas,” sahut Beni.
“Benar kata Beni. Kalian harus waspada ketika bertugas jaga. Maling pandai mencari celah. Lalai sedikit singkong bakarmu bisa dimalingnya,” ujuk-ujuk Haji Ali datang membawa petuahnya. Tinggal sendirian di rumah membuat malam-malamnya sering terjaga. Untuk menghalau kesepian di rumah dia sering bertandang ke pos kamling walau tidak bertugas jaga. Apalagi rumahnya memang tidak begitu jauh dari pos kamling itu.
“Alhamdulillah. Haji Ali memang selalu hadir ketika umatnya membutuhkan nasihat,” celetuk Beni sumringah.
Haji Ali meminta Beni agar mengajak anggota jaga malam di kampung itu untuk menelisik sumber bau busuk yang dikabarkan oleh Beni dan Soleh sewaktu membenahi saluran pipa air pagi tadi. Haji Ali memang orang berpengaruh di tempat itu. Omongannya menjadi semacam sabda panditaning ratu tan kena wola-wali. Ucapannya akan selalu didengar dan dianut warga.
Ada sembilan orang yang berhasil dikumpulkan malam itu. Soleh dan Beni menjadi penunjuk arah tempat yang menjadi sumber bau busuk itu. Dengan menggunakan senter mereka bergerak menerobos kelamnya malam.
“Sepertinya sumber bau memang ada di dalam rumah Lik Kardi,” ucap Zainul.
“Benar. Hidungku juga mencium bau menyengat dari arah rumah itu,” timpal Soleh.
“Kumpulkan orang-orang itu untuk memfokuskan pencarian ke dalam rumah. Bisakah sentermu kau arahkan ke dalam rumah, Ben? Tertutup korden nggak?” pinta Haji Ali.
Orang-orang itu bergerak mengitari rumah Kardi. Mencari celah untuk melihat keadaan di dalam rumah yang menjadi sumber bau busuk itu.
“Ya Allah! Astaghfirullahaladzim! Allahuakbar!” pekik seseorang memecah sunyinya malam.
“Ada apa?”
“Cepat ke sini!”
Suasana menjadi riuh oleh suara histeris. Kesembilan orang itu kini berkumpul di belakang jendela dapur.
“Lihat! Tubuhnya sudah dimakan belatung. Baunya naudzubillah mindzalik!” desis Sarmidi.
“Cepat dobrak pintunya!”
“Bodoh! Jangan gegabah! Bisa-bisa kita malah yang dicurigai polisi telah berbuat kejahatan! Laporkan polisi! Hubungi kerabat-kerabatnya!” pekik Gangsar.
Gerimis turun rintik-rintik. Sesekali guntur menggelegar di langit yang gulita. Sesekali pula kilat menyambar menampakkan sosok mayat yang sedang menggantung di bawah belandar dapur. Lehernya terikat oleh sarung yang membuat tubuhnya menggantung mengenaskan. Tubuhnya pun telah hancur dikoyak-koyak belatung.
Tak membutuhkan waktu lama untuk membuat rumah yang beberapa hari selalu gelap itu menjadi ramai. Sesisi kampung seolah tumpah menyaksikan mayat Kardi yang menggantung tragis di dapur rumahnya. Beberapa orang polisi datang. Kerabat serta istri dan anaknya yang beberapa hari pulang ke rumah orang tuanya juga datang. Berdesak-desakan orang melihat sebuah pemandangan yang sanggup membuat hati teriris-iris itu. Istri dan anak-anaknya menangis histeris. Semua orang bertanya-tanya alasan Kardi sampai nekat bunuh diri sedemikian mengenaskan. Banyak orang yang menerka-nerka alasannya.
“Tak sanggup menanggung beban utang,” bisik seseorang.
“Baru kalah judi. Frustrasi mungkin,” ujar yang lain.
“Itu balasan orang yang tak kenal agama. Bulan puasa harusnya puasa eh malah sedal-sedul rokokan di pinggir jalan.”
Semakin banyak orang yang membuka aib Kardi semasa hidup. Namun Haji Ali punya ceritanya sendiri. Dia berbisik-bisik pada Soleh. “Ini rahasia, Leh. Kuceritakan padamu seorang sebagai pengingat. Jangan mengikuti jejak kelamnya. Dan jangan umbar aibnya pada yang lain. Kamu harus janji akan merahasiakannya. Kalian sama-sama pernah menjadi santriku di waktu kecil dulu. Tak ingin aku melihat murid yang pernah kukenalkan pada agama hidupnya berakhir mengenaskan seperti itu.”
“Iya Pak Haji. Buat apa saya mengumbar aib orang yang sudah mati. Aib saya sendiri tak terhitung banyaknya,” tukas Soleh.
“Kau ingat ketika malam-malam aku datang ke pos kamling, aku bilang ada maling di rumahku?” bisik Haji Ali. Soleh mengangguk perlahan.
“Yang kumaksud maling itu adalah Si Kardi itu. Dia sangat malu ketika aku memergokinya mengobrak-abrik lemariku. Aku beri dia uang dan memintanya untuk tidak mengulangi dosa itu lagi. Dia menyanggupi dan memintaku tak akan menceritakan pada orang lain. Kututupi aibnya hingga dia sendiri yang membukanya di depan orang banyak begini. Malang sekali nasib muridku ngaji itu,” tutur Haji Ali pilu.
Air mata bening mengucur di keriput pipinya menyesalkan nasib buruk yang melanda murid ngajinya itu. Dan kemudian suara kentongan pos kamling terdengar bertalu-talu menggema ke sudut-sudut kampung. Menembus kelamnya kegelapan malam.
Mentaraman, 2 Juni 2020.