Pohon Pengetahuan

798 kali dibaca

Ayahku bukanlah seorang pejabat. Bukan pula seorang ilmuwan, apalagi seorang sastrawan. Ayahku hanyalah seorang pekebun yang suka mengelinting tembakau. Menyukai sarapan nasi tiwul. Tapi ia mencintai buku. Bagiku, itu keunikan tersendiri.

Ayahku tidak sampai mengenyam pendidikan tingkat atas. Tetapi, ia berusaha untuk menyekolahkan aku dan adik-adikku. Bagi ayah, mencari ijazah itu penting, tapi menurutnya, yang lebih penting adalah membaca buku. Ia tidak begitu menyesal jika hanya sampai sekolah madrasah tsanawiyah. Menurutnya, ia sangat beruntung diberikan kenikmatan gemar membaca buku.

Advertisements

Dulu, bisa makan saja sudah untung. Sekolah dan membaca buku, itu sesuatu yang sulit. Hanya orang-orang kaya dari keluarga terdidiklah yang bisa sekolah sampai ke perguruan tinggi dan menikmati buku bacaan. Itu jarang ada di desa kami.

Ayah baru bisa membeli buku ketika kakek panen tembakau. Itu saja hasil dari mencuri uang kakek yang disimpan di bawah tikar pandan di atas ranjang karena saking ingin membeli buku. Bahkan ayah pernah berbohong dengan alasan membeli kambing di pasar. Jika kakek bertanya di mana kambingnya, ayah menjawab, uangnya hilang padahal ayah pergi ke toko buku. Ada beberapa buku-buku yang tidak boleh diedarkan, alasannya, karena mengandung liberalisme, kodok, komunisme, atau Marxisme-Leninisme. Itu kata ayah.

Biasanya, sebelum ayah masuk ke rumah, ia menitipkan bukunya di rumah temannya. Ayah tidak bodoh dan amat cerdik untuk mengelabui kakek. Biasanya, bila uang kakek hilang, ayah selalu membuat isu takhayul. Ia menuduh tuyul yang mengambilnya. Isu yang dibuat ayah  merembet ke penjuru desa. Karena itu kakek selalu mengingatkan warga agar berhati-hati.

Berkat buku bacaannya, ayah menjadi orang memiliki pengetahuan luas dan selalu dibutuhkan ketika musyawarah di balai desa, sebab ayah selalu memberikan jalan keluar. Menjadi penentu di setiap musyawarah berlangsung. Gagasan-gagasannya dapat diterima oleh warga. Misalnya, di desa ada masalah. Pipa minyak bocor, akibatnya, minyak tercampur dengan air sungai, sehingga membuat sawah tercemar. Tanaman menjadi tidak sehat, bahkan banyak yang mati. Ayah memberikan solusi. Menyarankan kepala desa untuk mengadakan pertemuan dengan pihak pabrik dan melapor ke pihak berwajib serta dinas lingkungan sebagai pendamping hukum.

Akhirnya, dari pihak pabrik mengganti kerugian yang dialami oleh warga desa dan segera memperbaiki pipa yang rusak. Bila tidak ada ayah, pasti kepala desa beserta warganya tidak pernah menggugatnya. Takut dengan orang-orang yang banyak uang. Takut dengan aparat. Takut dengan pengadilan. Takut untuk merebut hak mereka— kebenaran bisa menjadi kesalahan.

***

Ayah mengajariku menanam, menanam pohon pengetahuan. Ia memberiku biji— hitam, kecil seperti  biji sawo. Ia menanamnya di samping rumah. Aku melubangi tanah berukuran 30 cm dengan kedalaman jari kelingking. Dimasukkanlah biji pengetahuan ke lubang itu. Aku tidak tahu, apakah itu bukan sebuah hal yang konyol. Tetapi dalam hati, aku yakin, suatu saat, pohon pengetahuan itu akan tumbuh menjulang, berdaun lebat, serta menghasilkan buah yang amat manis.

Kata ayah, butuh belasan tahun untuk memetiknya. “Kamu harus merawatnya sampai kamu bisa memanen buah pengetahuan itu. Kamu harus menyiramkan air setiap hari, pagi dan sore. Selalu mencabuti rumput-rumput pengganggu. Kalau perlu harus rutin dipupuk agar pertumbuhannya cepat. Kamu juga harus menjaganya siang malam pohon pengetahuan ini, supaya tidak ada yang mencurinya. Setidaknya terhindar dari kambing tetangga yang hendak memakannya,” ucap ayah.

Aku bisa membayangkan, pohon pengetahuan itu akan tumbuh menjulang tinggi menembus langit. Aku bisa memanjatnya kapan saja. Aku bisa melihat benda-benda langit. Aku juga bisa melihat dari kejauhan indahnya kota jika malam hari. Pohon itu ajaib, bila aku ingin memetik buahnya, pohon itu bisa merendahkan ketinggiannya dan aku bisa memetik sepuasnya. Buahnya begitu manis. Begitu segar. Warnanya menggiurkan, tapi aku tidak bisa membayangkan warnanya. Pokoknya dalam pikiranku hanya sesuatu yang indah dari buah itu.

Seperti yang diamanatkan ayah, aku harus merawat pohon pengetahuan itu. Setiap pagi ketika matahari mulai naik, aku menyiraminya. Pun sore hari. Kurang lebih satu minggu sekali aku membersihkan rumput agar tidak menghambat bertumbuhan pohon itu. Aku juga sering memupuk pohon pengetahuan itu. Aku menjaga siang malam, tak peduli kehujanan, kepanasan, kedinginan. Yang aku tahu hanya perintah ayah. Yang aku ingat dari penjelasan ayah, adalah pohon pengetahuan itu berguna bagi kehidupan di dunia maupun kehidupan setelah mati.

Kata ayah, pohon pengetahuan itu akan menjelma menjadi cahaya yang bisa menjadi penerang di kegelapan. Pohon pengetahuan itu akan menolong umat manusia dari segala bentuk kebodohan.

Ayah juga mengatakan, bahwa jika aku gemar membaca buku, pohon pengetahuan itu akan tumbuh subur. Tidak ada yang bisa menghambat pertumbuhannya hingga menjulang. Daunnya lebat, akarnya kokoh. Batangnya tak mudah patah dan buahnya banyak, serta menggiurkan.

“Memangnya apa hubungannya, pohon pengetahuan dengan membaca buku?” tanyaku.

“Tentu sangat berkaitan. Pohon pengetahuan itu akan tumbuh subur bila kamu gemar membaca, sebab kalau kamu membaca buku, maka pengetahuanmu akan bertambah,” jawab ayah.

Aku terdiam. Otakku masih belum menemukan jawaban atas ucapan itu. Tetapi aku terus mengais-ngais nalar untuk mencoba memahami ucapan itu.

***

Pohon pengetahuan itu tumbuh menjulang. Kokoh. Buah pohon itu selalu dipetik oleh orang-orang. Pohon itu rindang. Setelah belasan tahun aku dan ayahku menanamnya, kami berdua bisa merasakan kesejukan. Sepanjang hari, orang-orang akan meminta izin kepadaku untuk memetik buah pengetahuan itu. Aku tidak pernah meminta ganti atas buah yang mereka petik.

Sebelum ayah mangkat, ia berwasiat padaku, untuk menguburkannya tepat di bawah pohon pengetahuan itu. Aku tidak bisa menolaknya. Sebelum ia meninggal, ia berkata, “Lihatlah, uban di kepala ayah sudah rata. Gigi ayah sudah ompong. Kulit-kulit ayah sudah mengendur dan tenaga ayah sedikit demi sedikit semakin melemah. Tubuh akan binasa, tapi pengetahuan akan selalu hidup dan memberi manfaat bagi diri sendiri dan orang lain.”

Delapan belas tahun sudah ayah pergi. Kuburannya masih dinaungi pohon pengetahuan yang rindang —sejuk dan damai. Beberapa helai daun gugur di atas kuburan ayah. Angin bertiup pelan, membawa aroma bunga kuncup buah pengetahuan itu— harum. Musim gugur telah usai berganti musim bersemi.

Catatan:

  • Nasi Tiwul adalah makanan khas Wonogiri, biasanya sering dikonsumsi olah sebagian masyarakat Jawa Timur.
  • Pelarangan diedarkan buku-buku yang mengadopsi pemikiran barat seperti komunisme, liberalisme dan lain sebagainya terjadi pada rezim Orde Baru.
  • Pohon Pengetahuan ialah salah satu kepercayaan agama Yahudi dan Kristen.
Multi-Page

Tinggalkan Balasan