Pohon dalam Perut

4,684 kali dibaca

Semenjak ibu mengatakan bahwa biji yang tertelan itu akan tumbuh dalam perutnya, lalu menjadi pohon yang dahannya bergoyang-goyang, saban malam keringat dingin mengucur dari tubuhnya. Tetapi, ia juga yakin ibu tidak mungkin sekadar menakut-nakuti. Ibu sudah tua, tidak ada untungnya menakuti-nakuti anak kecil sepertinya. Ibu juga punya banyak pekerjaan yang lebih penting dari sekadar mengurusi biji delima yang tertelan. Saya sering menemuinya terjaga setiap pukul satu kurang duapuluh menit, ia berjalan lirih ke wastafel sambil memasukkan telunjuknya ke tenggorakan.

“Hey, apa yang kau lakukan, Cil?”

Advertisements

Ia tidak menjawab, bergeming. Di dahinya terdapat bercak-bercak peluh. Dari sorot matanya bisa dilihat bahwa ia hanya ingin memuntahkan isi perutnya. Ia ingin biji delima itu keluar dan gagal tumbuh di dalam. Itu dilakukannya selama seminggu sejak ucapan ibu. Ia terus membayangkan dalam perutnya terdapat pohon delima, semakin tahun beranak-pinak. Sampai tak disangka, perutnya menjadi semacam hutan. Ia terlalu kecil untuk dongeng-dongeng —yang menurut pikiran orang dewasa—tidak masuk akal. Di dalam perut tidak terdapat tanah lapang. Itulah sebenarnya, di dalam sana tidak akan pernah tumbuh pohon delima.

Tetapi, bukan anak kecil namanya jika pikirannya sama seperti orang dewasa. Sementara, ibu seperti manusia yang tak peduli pada apa yang dilakukan bocah lima tahun kurang dua bulan itu. Ibu sengaja tidak menarik ucapannya saat ia menceritakan perihal biji delima yang tidak sengaja tertelan.

“Rasakan itu! Ibu sudah berkali-kali bilang agar tidak makan delima.”

Itu bukan penuh salahnya. Delima di halaman rumah yang ditanam ayah sepuluh tahun lalu sungguh menggoda. Batangnya yang pendek dan bisa dijangkau olehnya adalah penyebab utama. Memang, setiap musim buah, siapa pun akan melihat kembang di pucuk-pucuk delima yang pendek itu, tidak terkecuali anak kecil ibu. Waktu itu, saya melihat ia menjangkau sendiri buah yang merah dan menjatuhkannya ke lantai semen berkali-kali sampai terbelah.

“Cil, sungguh menjijikkan. Buang-buang!”

Ia tetap ngotot, mengambil buah yang terbelah dua. Tangannya yang tidak besar, memilah manik-manik delima dan memasukkan ke mulutnya. Padahal ia sangat gembira, tapi tak disangka tiga bijinya justru tidak dikeluarkan dari mulutnya. Ia mengadu pada ibu di dapur dengan bahasa yang tidak semua manusia paham.

***

Orang tua memang punya banyak cara untuk menyampaikan pesan-pesannya. Dahulu, sewaktu saya seumuran dia, ibu juga melakukan hal yang sama. Hampir setiap hari saya memakan semangka dan sekali bijinya juga tertelan. Ibu mengatakan, kalau biji itu akan tumbuh di perut saya dan menjalar sebagaimana tanaman semangka. Saya sangat ketakutan, seperti yang dialaminya.

Setelah dewasa, saya baru paham kalau itu cara ibu agar saya tidak makan semangka. Sebab, setiap malam setelah siangnya makan semangka kulit saya menjadi panas berlebihan. Dan benar, sesudah perkataan ibu itu, saya tidak lagi makan semangka. Begitulah orang tua menyampaikan pesan-pesannya yang tidak bisa ditangkap anak kecil. Bukannya ditangkap, pesan-pesan justru menjatuhkan anak-anak pada ketakutan. Saya mengalami takut yang berlebihan jika dalam perut saya banyak tanaman semangka yang menjalar bahkan sampai ke usus-usus.

Ayah memang suka pada banyak tanaman, salah satunya delima di halaman itu. Jauh tahun sebelum delima, ayah menggunakan sepetak ladangnya yang sempit untuk menanam semangka. Di saat panen, buah itulah yang saya makan terus-terusan sampai membuat tubuh saya kepanasan. Sekarang, saya berpikir jika tanaman yang dirawat ayah itu semua saya makan buahnya lantas bijinya ikut saya telan tentu dalam perut saya terdapat banyak tanaman. Itu lucu bagi orang dewasa.

Kembali terlintas, bagaimana dinginnya buah semangka yang merah. Tetapi, saya lebih suka yang warna kuning meski tidak dingin. Menurut saya, semangka merah terbuat dari darah. Itulah yang membuat saya kurang begitu menyukainya. Di usia yang kurang lima tahun, saya sudah mengetahui tata cara memakan buah semangka dengan baik dan benar. Bahkan, airnya tidak sampai mengenai baju. Itu pencapaian terbaik anak seusia saya.

***

Berbeda dengan saya, perihal biji yang akan tumbuh di dalam perutnya tidak pernah hilang dari benaknya. Ia sudah terlalu dewasa untuk cerita-cerita masa kecil itu. Mungkin pepatah benar, bahwa cerita yang disampaikan pada anak kecil seperti mengukir di atas batu. Cerita itu tidak akan pernah hilang dari kepalanya dan membentuk semacam epitaf.

Ia pernah bercerita bahwa pacarnya pernah menertawakan. Sebabnya, saat ia kencan dan memakan anggur merah ia justru mengeluarkan bijinya yang kecil. Di saat yang sama, pacarnya justru memilih menelan. Perempuan, yang konon berdarah Persia itu bertanya, mengapa ia tidak menelannya.

“Waktu itu aku menjawab ‘Kalau ditelan, bisa-bisa di dalam perut biji ini tumbuh.”’

Saya terbahak. Ia masih terlalu anak kecil untuk usianya yang hampir kepala dua.

Semenjak itu pula, pacarnya tidak pernah mengajak makan buah yang berbiji setiap kencan. Mereka lebih memilih sate plecing di restoran khas Bali. Meski pacarnya berdarah Persia, wajahnya sangat Indonesia. Kulit sawo matang, rambutnya dibiarkan tanpa penutup. Saya juga lihat rambutnya dicat berganti-ganti setiap datang ke rumah diajak olehnya.

Mereka sangat akur, saya harap tidak hanya berhenti di situ. Saya ingin jika mereka sampai ke pelaminan, tentu ibu akan senang. Sudah lama ibu ingin punya menantu perempuan. Semua menantunya berjenis kelamin pria. Meski, saya masih ragu-ragu tersebab adik saya itu masih terlalu dini cara kerja dalam kepalanya. Tentu, masih soal biji yang tertelan dan jadi pohon dalam perut.

“Ibu hanya bercanda waktu itu, Cil.”

Oh iya, saya memang memanggilnya Cil. Namanya Abiseka, tetapi saya tidak peduli namanya. Bagi saya, nama hanya pembeda manusia yang satu dengan yang lainnya. Jadi, saya menggunakan ‘Cil’ sebagai pembeda baginya. Ia juga tidak keberatan dan menut-manut saja.

“Tetapi ibu kan tidak senang bercanda, ka.”

“Ibu juga sering mencubit kalau aku makan delima.”

Saya kembali ingin tertawa kembali, ia seperti kerasukan setan yang masih berumur enam tahun.

“Jangan-jangan kamu kesurupan setan, Cil.”

Ia hanya menyeringai, tidak memedulikan ucapan saya.

***

Kini, ia mengubah jadwal kencan pada Minggu sore dan pulang Senin pagi sebelum subuh. Terus-terusan begitu, sampai berbulan-bulan. Ibu tidak menegur, meski saya berkali mengadukannya. Ia sudah besar, kata ibu, bisa menjaga diri. Saya hanya khawatir jika ia dan pacarnya, yang tinggi setara dengan saya itu, melakukan hal-hal aneh yang bisa membuat malu keluarga. Cukup ia berbuat hal-hal konyol dengan mempercayai biji yang bisa tumbuh dalam perut. Sudah cukup.

Maka, semakin perasaan tidak menentu, saya menyuruh ibu agar mereka dinikahkan saja. Tentu, ibu tidak setuju. Alasannya, ibu masih ingin kumpul dengan anaknya yang masih dini untuk soal pernikahan. Itu aneh, sebab saya dahulu dinikahkan pada saat umur duapuluh pas. Mengapa hal itu tidak terjadi pada adik saya? Justru ibu membiarkannya seperti kupu-kupu yang terbang waktu malam.

“Adikmu tidak akan melakukan hal macam-macam, ia sudah tahu risiko.”

Ibu terlalu sayang padanya. Sejak awal menikah dengan ayah, ibu hanya ingin anak lelaki, bukan perempuan macam saya. Sampai sekarang, ibu sering menciumi kening dan pipinya, saya merasa geli. Jujur saya juga ingin diperlakukan seperti itu.

Sudah sekitar dua bulan saya tidak melihat ia keluar Minggu sore dan balik Senin pagi sebelum subuh. Saya mengira bahwa hubungan mereka rusak sebab suatu hal. Setelah saya tanya-tanya, ia tidak langsung menjawab, malah berbelit-belit. Akhirnya, ia juga buka suara. Jari-jarinya menggaruk sandaran lengan di kursi.

“Dua bulan lalu aku kencan dengan dia, tetapi aku khilaf. Rabu kemarin aku berkunjung ke rumahnya. Katanya dia sering mual-mual, perutnya sekarang sudah membesar.” Ia bertutur sambil menunduk.

Mata saya melotot tajam, ia mengangkat tatapannya, lalu menunduk lagi. Saya ingin berteriak; ibu, ibu ini anakmu berhasil bercocok tanam dalam perut gadis Persia itu. Tetapi, bibir saya kelu. Sungguh sanget kelu.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan