Peta Singkat Teori Pemikiran Islam

1,161 kali dibaca

Secara singkat dapat ditegaskan bahwa dalam pemikiran politik Islam yang paling awal, yakni pada masa Nabi Muhammad saw, Madinah merupakan tempat yang dipilih Nabi untuk menetap setelah terzalimi di Makkah. Pada masa tahun pertama itu terdapat sedikit kontroversi mengenai siapa yang pantas mengendalikan kekuatan politik. Dalam teori maupun praktik, Nabi menempati suatu posisi yang unik sebagai pemimpin dan sumber spiritual undang-undang Ketuhanan, namun sekaligus juga pemimpin pemerintahan Islam yang pertama.

Kerangka kerja konstitusional pemerintahan ini terungkap dalam dokumen yang terkenal dengan Mithaq al-Madinah (Konstitusi Madinah/Piagam Madinah). Model Piagam Madinah inilah yang menjadi warisan Nabi, meskipun sebelumnya telah ada praktik pengakuan yang disebut sebagai bay’ah (baiat): dikenal dengan Bay’ah Aqabah Pertama dan Bay’ah Aqabah Kedua.

Advertisements

Pada masa al-Khulafa’ al-Rashidun, terdapat beberapa prinsip tentang wewenang politik dalam Islam. Prinsip pertama yang diucapkan Abu Bakr menyatakan: orang-orang Arab hanya akan tunduk kepada suku Quraysh; dan kewajiban menaati pemerintah hanya sejauh dia menaati Tuhan dan rasul-Nya.

Implikasi dari prinsip itu adalah keyakinan bahwa masyarakat merupakan penentu, apakah khalifah benar-benar mengikuti perintah Tuhan dan Nabi. Ini berarti bahwa wewenang tertinggi ada pada masyarakat. Abu Bakr juga percaya bahwa dia mewakili otoritas Nabi. Ini mengimplikasikan bahwa meskipun otoritas secara teoretis berada pada masyarakat, wewenang politik tertinggi pada praktiknya tetap berada di tangan seseorang.

Hal ini dipertegas oleh penolakan Abu Bakr terhadap saran dari kalangan Anshar tentang otoritas bersama antara dua pemimpin, satu dari Quraysh dan satu lagi dari Anshar. Di kemudian hari, Abu Bakr menentukan jalan yang bijaksana untuk menunjuk seorang penerus (model wasiat) demi menghindari terulangnya keadaan yang membingungkan pasca wafatnya Nabi. Kemudian Umar juga mengikuti cara yang sama.

Namun begitu, satu persoalan baru muncul ketika Utsman nampak kehilangan kepercayaan dari masyarakat, tetapi ia menolak untuk turun takhta. Utsman mengklaim bahwa hak istimewa menjadi khalifah tidak bisa diambil alih atau dilepaskan. Semua keputusan khusus ini kemudian dianggap sebagai teladan dengan makna normatif.

Ketika teori tentang khalifah mulai mengkristal pada periode-periode kemudian, ia dibangun berdasarkan contoh-contoh awal ini. Menurut Abd al-Wahhab al-Affandi (seorang filosuf dan ilmuan politik kebangsaan Sudan), bahwa hakikat dari teori itu menegaskan bahwa pembentukan kekhalifahan merupakan mandat (merujuk generasi awal sebagai bukti langsung, Al-Qur’an dan “pasemon” Nabi sebagai bukti tidak langsung); ia harus mendudukkan seorang pemimpin (tidak bersifat kolektif, juga tidak bersifat ganda); individu ini harus terbaik, laki-laki muslim yang paling saleh dan berkompeten dari garis keturunan Quraysh; dia pun harus ditunjuk oleh para pemimpin masyarakat yang paling berpengaruh (ahl al-hall wa-al-aqd); dan ia harus menjalankan syariat, tetapi tidak bisa diganti atau diboikot meskipun melakukan pelanggaran yang mencolok.

Pengalaman pahit dari konflik intern yang menyebabkan kematian al-Khulafa’ al-Rashidun juga menyebabkan umat Islam menyadari kesia-siaan kekerasan. Dari sini muncul kompromi politik antara Ali r.a. dan Muawiyah r.a. Namun semua kompromi itu kemudian dilanggar setelah pertumpahan darah dan kerusakan yang mengerikan yang menyebabkan sebagian besar para pemikir menentang penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan perselisihan politik.

Mereka menggariskan syarat-syarat minimum untuk mengesahkan pemerintahan dan menekankan bahwa, penguasa yang sah secara hukum tidak boleh dilawan dengan kekerasan. Bahkan, pun ketika perilaku seorang penguasa itu telah menyimpang. Terhadap pendirian yang dianggap salah ini segera muncul reaksi dari kelompok-kelompok kecil yang dikenal sebagai Khawarij. Ajaran mereka melarang kompromi dengan siapapun, dan semua orang yang menentang pandangan mereka harus diperangi secara total.

Jadi ciri utama kepercayaan Khawarij dalam perilaku politik adalah hak mutlak tidak hanya untuk menantang, tetapi juga memberontak terhadap pemerintah yang berkuasa, jika menurut mereka terbukti bahwa tindakan atau karakternya tidak segaris dengan standar baku undang-undang pemerintah atau imam. Menurut standar ini, pemerintah atau imam haruslah seorang yang mempunyai integritas (kepribadian utuh) dan adil serta tidak mengabaikan ajaran-ajaran Al-Qur’an.

Idealisme fanatik Khawarij tersebut segera mendorong konflik eksternal dan internal, karena di dalam diri mereka sendiri tidak ada kesepakatan mengenai isi perintah Tuhan yang memaksa mereka untuk berperang. Meskipun demikian, fenomena ini cukup mengejutkan, karena kebulatan tekat dan semangat kelompok ini menjadi legendaris.

Kemudian di antara dua kutub defeatism (kelompok Muawiyah, yang kemudian dikenal sebagai Sunni) dan fanatisme (kelompok Khawarij), muncul sejumlah posisi, dan yang paling terkemuka adalah Syiah (partai Ali). Pada awal kelahirannya, sikap Syiah merupakan sikap politik yang mendukung Ali sebagai pemimpin, bukan karena siapa dirinya, tetapi karena keberpihakan kelompok itu kepadanya. Dalam teori politik Syiah, mereka menolak prinsip keturunan (regenerasi) dalam menjabati kedudukan politik. Akan tetapi, ternyata prinsip regenerasi ini tidak menyelesaikan masalah, karena Syiah melakukan segala hal terhadap para penentangnya.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa pada masa al-Khulafa’ al-Rashidun, tidak terdapat satu pola yang baku mengenai cara pengangkatan khalifah atau kepala negara. Pada masa ini hubungan khalifah dengan rakyat adalah hubungan antara dua peserta dari suatu kesepakatan atau “kontrak sosial” yang memberikan kepada masing-masing hak dan kewajiban atas dasar timbal balik. Itulah dinamika yang terjadi pada masa khilafah al-Khulafa’ al-Rashidun, menjadi ibrah penting bagi perpolitikan kita.

Dengan demikian, tiga paradigma (Sunni, Syiah, dan Khawarij) di atas berimplikasi pada pertentangan-pertentangan teologis yang melahirkan sekte-sekte. Karena perbedaan-perbedaan ini menyangkut masalah-masalah penting secara keagamaan, ketiga vaksi Islam ini mengembangkan versi-versi Islam yang berbeda dan membentuk fuqaha’ yang berbeda pula. Pada masa awal Islam, ketiga vaksi tersebut telah memunculkan tiga paradigma besar di atas dalam teori politik Islam. Dalam konteks ini, pemikiran politik Islam menjadi subordinan dan merupakan bagian dari teologi dan yurisprudensi Islam.

Ketiadaan independensi pemikiran politik pada masa Islam pra-modern telah meniscayakan munculnya fakta bahwa masalah-masalah politik tidak dibicarakan secara terpisah dari pelbagai disiplin. Sebagai contoh, seperti hakikat negara, kualifikasi penguasa, dan hak-hak rakyat adalah bagian dari risalah yang tak terpisahkan dalam yurisprudensi dan teologi Islam. Semua terjalin dalam lingkup Syariat yang tak terbantah.

Pergumulan antara bahasan isu-isu politik dalam kerangka sains Islam, dengan perkembangan ide-ide dalam persoalan-persoalan sosio-kultural, ekonomi, dan politik membawa berbagai kecenderungan dalam pemikiran politik, yakni pertama kecenderungan yuristik, kedua kecenderungan birokratis-administratif, dan ketiga kecenderungan filosofis. Pada intinya, pemikiran politik Islam umumnya merupakan produk “perdebatan besar” antara pemikiran Sunni, Syiah, dan Khawarij yang terfokus pada masalah religi politik tentang Imâmah dan Khilafah (Kekhalifahan).

Perdebatan itu melibatkan berbagai masalah seperti obligasi politik, syarat-syarat pemerintahan Islam, proses terwujudnya konstitusi, dan pemberontakan terhadap kekuasaan yang ada. Pemikiran politik ini berkecenderungan yuris, karena digagas oleh para teolog hukum/fikih (fuqaha’). Hal ini, karena fuqaha’ kaum Sunni cenderung mengaitkan institusi politik dengan institusi khalifah: menurut mereka khalifah sebagai institusi hakikatnya adalah simbol supremasi Syariat atau wahyu atas akal, atau dengan kata lain, agama atas politik (al-din ala al-dawlah). 

Peran pemikiran politik, dalam perspektif ini, bukanlah untuk membuat spekulasi normatif ataupun deduksi empirik tetapi juga mengelaborasi wahyu atau Syariat, atau lebih tepatnya, mencari ajaran-ajaran dari Syariat untuk menjustivikasi situasi politik nyata dan untuk memberikan legitimasi politik. Adapun, kecenderungan administratif-birokratik masih relatif sama dengan kecenderungan teori politik yurisik, yakni memberikan justivikasi dan legitimasi atas tatanan politik yang ada, namun jelas dengan tipe eksposisi teoretis yang berbeda.

Jika kecenderungan yuristik berkepentingan dengan eksposisi legal dari teori pemerintahan yang secara logis diturunkan dari prinsip-prinsip Syariat, maka kecenderungan administratif-birokratik berkepentingan dengan eksposisi eksemplar dari administrasi pemerintahan yang diambil dari sejarah sebelumnya.

Dengan demikian, stressing utama dalam kecenderungan administratif-birokratis adalah mengetahui kewajiban-kewajiban praktis dari penguasa dan menyediakan ajaran-ajaran moral untuk diterapkan dalam kehidupan politik. Sementara kecenderungan filosofis ialah kecenderungan pemikiran politik yang didasarkan atas deduksi kontemplatif dari tujuan akhir hidup manusia untuk, mempertahankan hakikat dan peran yang ideal dari pemerintahan dalam mencapai tujuan tersebut.

Tugas pemikiran politik dalam konteks ini bukan untuk menentukan nilai dan kebaikan realitas-realitas politik aktual, misalnya menelaah seberapa jauh realitas politik ini sesuai dengan prinsip-prinsip Syariat, melainkan memberikan standar kesempurnaan suatu sistem politik, mungkin lewat penafsiran alegoris atas Syariat.

Dalam konteks pemikiran politik Islam kontemporer, pemikiran politik para pemikir politik Muslim kontemporer secara singkat terbagi tiga macam aliran:

Pertama, aliran yang berpendirian bahwa Islam adalah agama yang paripurna dalam arti lengkap dengan segala macam petunjuk bagi semua aspek kehidupan manusia, termasuk sistem pemerintahan, dengan merujuk kepada pola dan model politik masa al-Khulafa’ al-Rashidun. Aliran ini memahami Islam sebagai pandangan hidup menyeluruh, yang diungkapkan dalam Syariat. Bahkan ide ini telah ditafsirkan lebih jauh bahwa Islam merupakan “totalitas integral yang menawarkan solusi bagi semua persoalan kehidupan”.

Menurut penulis, aliran ini dapat dimasukkan ke dalam paradigma integralistik (unified paradigm). Sebagian tokoh menggolongkan aliran ini ke dalam aliran tradisionalis dengan paradigma tradisionalis/ formalistik (arus formalisme). Sejumlah pemikir teori politik Islam kontemporer yang termasuk dalam kategori ini adalah Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935) dan Abd al-Kalam Azad (1888-1958). Pendekatan ini juga digunakan oleh sejumlah pemikir politik Islam klasik, seperti al-Mawardi (364-450/975-1059), al-Ghazali, dan Sad al-Din al-Taftazani. Bahkan, paradigma ini juga dapat digolongkan sebagai paradigma fundamentalis, sejumlah tokoh yang termasuk di dalamnya adalah Abu al-A’la al-Mawdudi dan Sayyid Qutb dengan al-Ikhwan-nya.

Kedua, aliran yang berkeyakinan bahwa Islam adalah sama sekali sama dengan agama-agama yang lain, dan Nabi Muhammad adalah nabi biasa tanpa misi untuk mendirikan negara. Tokoh dalam hal ini adalah Ali Abd al-Razziq sebagai juru bicaranya. Aliran ini dapat dikelompokkan ke dalam paradigma sekularistik (secularistic paradigm), juga dapat digolongkan ke dalam paradigma modernisme.

Ketiga, aliran yang pada satu sisi menolak anggapan bahwa Islam adalah segala-galanya, termasuk sistem politik, dan pada sisi lain tidak setuju dengan anggapan bahwa Islam adalah agama yang sama sekali sama dengan agama-agama yang lain.

Yang ketiga ini dapat digolongkan sebagai aliran yang percaya bahwa dalam Islam terdapat seperangkat prinsip dan tata nilai etika bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara seperti yang ditemukan dalam Al-Qur’an, yang memiliki fleksibilitas dalam pelaksanaan dan penerapannya dengan memperhatikan perbedaan situasi dan kondisi antara satu zaman dengan zaman yang lain serta, antara satu budaya dengan budaya yang lain. Aliran ini dapat disebut sebagai aliran substansialis, dan menggunakan paradigma simbiotik (symbiotic paradigm). Di antara tokohnya adalah Muhammad Husein Haykal dan Muhammad Abduh. Wallahu A’lam…

Multi-Page

Tinggalkan Balasan