Pesantren dalam Kajian Konstruksi Sosial Peter L Berger

2,364 kali dibaca

Pada dasarnysa manusia terlahir tanpa adanya mekanisme tatanan atas hidupnya. Manusia merupakan makhluk sosial sekaligus sosiologis, membutuhkan peran orang lain serta menghasilkan sesuatu atas kecenderungan nalurinya. Seiring tumbuhkembangnya, manusia mulai mengenal sebuah kecenderungan beserta keinginan naluri untuk melakukan sesuatu, hingga akhirnya menghasilkan sebuah budaya. Budaya yang dihasilkan manusia itu sendiri sejatinya merupakan hasil dari penataan pengalaman dan dunianya sendiri. Itu artinya, mekanisme penataan kehidupan manusia tercipta dari dirinya sendiri.

Pemahaman atau pemikiran tersebut menjadi asumsi yang mendasari Peter L Berger mencetuskan teori konstruk sosialnya. Sosiolog Peter L Berger menggambarkan adanya tiga kerangka mengenai momentum proses sebuah konstruksi sosial, yakni eksternalisasi, objektivikasi, dan internalisasi. Dari ketiga tahap tersebutlah yang secara berurutan akan menghasilkan sebuah konstruksi realitas sosial. Konstruksi sosial yang dihasilkan tersebut kemudian menjadi jalan yang ditempuh suatu kelompk masyarakat sosial, menggunakannya sebagai arah tujuan berkehidupan dan mewujudkan cita-cita bersamanya.

Advertisements

Esai ini akan membahas tentang konstruksi sosial keagamaan di lingkungan pesantren, dengan menggunakan teori konstruksi sosial keagamaan yang dibangun Peter L Berger sebagai pandangan ilmiah. Meskipun, Peter L Berger bukan seorang yang beragama Islam, namun pemikirannya tentang konstruksi realitas sosial patut digunakan untuk menguraikan bagaimana sebuah pesantren sebagai institusi keagamaan mampu mengkonstruksi realitas sosial keagamaan.

Institusi Pesantren

Pesantren merupakan sebuah institusi sosial keagamaan yang lahir dan tumbuh berkembang di Indonesia. Sebenarnya, pesantren lahir bukan sekadar sebagai pemenuhan kebutuhan akan pentingnya pendidikan, melainkan sebagai lembaga penyiaran agama Islam.

Menurut M Dawan Raharjo, dahulu pada awal pertumbuhannya, pesantren dikenal dengan identitas pusat penyebaran agama Islam, di samping juga sebagai tempat mencari ilmu. Namun lebih dari itu, tidak berlebihan bila pesantren disebut juga sebagai intstitusi sosial. Sebab, terjadi sebuah perubahan sosial di dalam dan di luar pesantren. Pesantren tergambar jelas menunjukkan perannya sebagai agent community development (agen pembangun komunitas) dari sistem pendidikan nasional hingga menjadi pendidikan alternatif. Dalam konteks sosiologis, pesantren merupakan hasil tatanan masyarakat pesantren itu sendiri, masyarakat umum, dan pemerintah yang menempatkan pesantren dalam peran di bidang pendidikan, budaya, dan sosial.

Selain ilmu menjadi hal yang penting bagi seorang yang beragama, agama Islam juga mengharuskan manusia sadar akan esensi diciptakannya sebagai makhluk sosial di dunia ini, dengan berupaya menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama. Sebagai suatu lembaga keagamaan, tentu pesantren tidak semata hanya bergerak mengoperasikan institusinya tanpa memahami fungsi dan tujuannya.

Sebuah pesantren membawa visi misi besar dalam perjalannya. Kiai Said Aqil Siradj menjelaskan dalam karya tulisnya bahwa kehadiran pesantren dikatakan unik karena membawa dua alasan, yakni pesantren hadir untuk merespons situasi dan kondisi suatu masyarakat yang dihadapkan pada kemerosotan sendi-sendi moral hingga perubahan sosial. Tujuan yang kedua adalah sebagai sarana menyebarluaskan ajaran Islam ke seluruh pelosok Indonesia. Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa terdapat sebuah konstruksi sosial di lingkungan pesantren yang turut mempengaruhi keberhasilan suatu pesantren.

Kontruksi Sosial Pesantren

Istilah konstruksi sosial didefinisikan sebagai suatu proses sosial yang dimulai dari tindakan dan interaksi di mana seseorang menciptakan secara terus-menerus realitas yang ada dan dialami bersama secara subjektif. (Poloma, 2004:301). Artinya, terdapat sebuah kebiasaan yang terjadi secara berkala hingga terjadilah sebuah konstruk realitas sosial. Teori konstruksi sosial yang ditawarkan oleh Peter L Berger mencoba mengadakan sintesa antara fenomena sosial yang tersirat dalam tiga kerangka momentum dan menghasilkan suatu konstruk realitas sosial.

Saat ini pesantren terus berusaha berbenah, bukan karena jejaknya yang kurang baik namun sebagai bentuk penyikapan atas kemajuan dunia yang terjadi. Di sisi lain, proses pendidikan di pesantren banyak diadopsi sisi positifnya oleh komunitas luar. Dalam praktiknya, secara sosiologis dan antropologis terdapat proses take and give dalam tubuh pesantren. Ini sesuai dengan teori konstruksi sosialnya Peter L Berger. Sebagaimana yang disebutkan di atas, ada tiga momentum dalam proses terciptanya konstruksi sosial.

Pertama, eksternalisasi, yaitu proses pencurahan ekspresi seseorang atau suatu kelompok ke dunia luar yang multidimensional. Selain itu, eksternalisasi juga bisa didefinisikan sebagai proses penyesuaian diri dari sikap sebelumnya menuju tempat atau situasi terbarunya. Dalam proses eksternalisasi muncul sebuah kesan yang melahirkan identitas yang khas dibandingkan dari yang lain.

Pesantren secara konsisten terus berbenah, dibuktikan dengan realitas yang terjadi saat ini bahwa tidak sedikit dari banyaknya pesantren salaf yang mulai bertransformasi menghadirkan pendidikan formal di dalamnya. Usaha pengembangan pesantren menuju penyesuaian atas situasi dan kondisi masyarakat yang dinamis inilah yang menjadi proses eksternalisasi dalam tubuh pesantren.

Pesantren mempunyai ciri yang khas yang membedakannya dari institusi pendidikan lainnya. Sadar akan pentingnya pengakuan atas keilmuan yang dimiliki, pesantren berhasil mengupayakan adanya kelas belajar yang setara dengan lulusan perguruan tinggi. Benar, Ma’had Aly yang hanya ada di pesantren saat ini telah mendapat pengakuan dari pemerintah, beruntungnya adalah ijazah yang didapat dari jenjang Ma’had Aly setara dengan ijazah perguruan tinggi umum.

Kedua, objektifikasi, merupakan hasil dari pengekspresian dan pencurahan energi baik berupa mental spiritual maupun fisik material. Hasi dari objektifikasi berwujud realitas sosial yang subjektif dan objektif. Dalam kajian antrpologis, objektifikasi tersebut melahirkan budaya tersendiri, yakni ide atau gagasan, aktivitas, dan artefak. Objektifikasi yang terjadi di pesantren tentu mengahasilkan seperangkat gagasan atau ide, seperti adanya forum bahtsul masa’il di mana dalam forum tersebut dilaksanakan musyawarah fikih untuk mencari titik terang atas problematika fikih.

Pesantren telah melahirkan sistem bahasa, budi pekerti, pengetahuan, serta konsep masyarakat sosial yang khas dan unik dan tentu berbeda dengan sistem kelompok sosial lainnya. Lebih jauh lagi pesantren juga menjadi pranata nilai dan norma agama Islam, khususnya di Indonesia.

Ketiga, internalisasi menjadi tahapan terakhir sebelum terciptanya konstruksi sosial. Internalisasi merupakan proses penyerapan realitas subjektif dan objektif sebagai buah dari eksternalisasi dan objektifikasi. Proses internalisasi ini sekaligus menjadi pengaruh tersendiri bagi manusia. Pengaruh tersebut berkutat pada relasi antara menusia dengan manusia lainnya, dan manusia dengan lingkungan sekitarnya.

Ada banyak unsur positif yang diambil dan diserap oleh pesantren itu sendiri dan kelompok luar pesantren. Misalnya, sebagai institusi pendidikan agama pesantren memiliki tradisi keterkaitan dan keakraban dengan lingkungan sekitarnya. Hal tersebut yang akan mempengaruhi masyarakat luar pesantren untuk berkenan melibatkan anggota keluarganya ke pesantren, sebagai tempat belajar agama dan membangun karakter. Selain itu terdapat hubungan timbal balik antara pesantren dengan masyarakat. Di sini masyarakat telah berperan serta dalam pendidikan pesantren, sehingga pesantren mampu memahami masalah yang dihadapi masyarakat untuk turut membantu mencarikan alternatif pemecahannya melalui keilmuan agama.

Dengan teori kontsruksi sosial Peter L Berger tersebut, kita akan terus melihat bahwa eksistensi pondok pesantren sebagai institusi sosial tak akan pernah berhenti berproses atau bertransformasi. Sampai pada titik mana, akan sangat bergantung pada proses eksternalisasi, objektifikasi, dan internalisasi antara pesantren dengan masyarakatnya yang akan terus berkembang dan saling mempengaruhi.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan