Pertemuan dengan Nabi Khidir

885 kali dibaca

Anto berkunjung ke rumah Pak Karsun untuk membicarakan acara Suronan yang dilaksanakan setiap bulan Asyura untuk menyantuni anak yatim dan doa bersama. Anto sebagai salah satu panitia berniat menanyakan perihal anak-anak yatim yang akan diundang. Rencananya, acara tersebut akan dilaksanakan di balai desa. Ia sudah mengantungi nama-nama anak yatim yang akan diundang di acara tersebut. Namun, ada satu anak yang membuat ia harus menanyakan ulang kepada Pak Karsun, tokoh masyarakat yang sangat disegani di desa.

Anto harus bertanya kepada Pak Karsun, karena ada salah satu anak yang memang tidak tergolong yatim, yang terlahir di luar nikah.

Advertisements

Setelah Anto menyampaikan hal itu, Pak Karsun terdiam, mengerutkan dahinya. Sesat ia menarik napas. Setelah beberapa detik, Pak Karsun mengucapkan sesuatu.

“Ikutkan saja anak itu. Kasihan dia,” ucapnya. Namun Anto merasa keberatan jika harus mengikutkan anak itu dengan beberapa alasan. Pertama, anak itu tidak membutuhkan santunan, karena anak itu sudah berkecukupan, bahkan berlebih-lebih. Alasan yang kedua, karena ibunya terkenal dengan wanita yang tidak benar. Orang bilang, ibunya adalah wanita penghibur yang setiap malam menerima uang ratusan ribu, bahkan jutaan, dari para pelanggannya.

Anto terdiam dan masih memikirkan bagaimana menyampaikan pendapatnya.

“Tapi Pak, menurut saya, anak itu tidak membutuhkan santunan. Dia sudah berkecukupan. Orang tuanya kaya. Nanti malah dikira menghina lagi,” kata Anto.

Kambali, Pak Karsun terdiam. Beberapa saat, putri Pak Karsun muncul dari ruang belakang membawa teh hangat dan pisang goreng.

“Ayo, diminum dulu,” Pak Karsun mempersilakan Anto untuk meminum minuman yang sudah disuguhkan. Pak Karsun meminum terlebih dahulu, disusul Anto. Pak Karsun mengambil pisang goreng dari piring.

Memang benar, Sari, ibu anak itu, memiliki kekayaan yang tidak tertandingi di desa, bahkan mampu melampaui penghasilan peternak kambing atau pedagang kelontong di desa itu. Tidak sedikit orang yang menggunjingnya karena hal itu. Orang bilang kalau Sari mendapatkan uang dari hasil menjual diri.

Memang, Sari datang ke desa beberapa tahun yang lalu. Waktu itu Sari masih mengandung anaknya yang sekarang sudah berusia lima tahun.

“Baiklah, kita datangi Kiai Ali di kediamannya. Siapa tahu, beliau bisa memutuskan masalah ini,” ucap Pak Karsun.

Sehari sesudah pertemuan Pak Karsun dan Anto, mereka berdua sowan ke kediaman kiai untuk meminta nasihat terkait masalah itu.

Anto datang ke rumah Pak Karsun, kemudian Pak Karsun mengajaknya ke kediaman Kiai Ali. Anto membonceng motor Pak Karsun. Pak Karsun menyetirnya sendiri. Jarak kediaman Kiai Ali dengan kediaman Pak Karsun tak terlalu jauh. Hanya membutuhkan waktu lima belas menit untuk sampai ke kediamannya dalam perjalanan yang ditempuh menggunakan kendaraan bermotor.

Mereka menuju utara desa, perbatasan antara area perkebunan dengan perumahan warga. Jalannya berkapur dan menanjak. Terlihat bukit-bukit kapur dengan jelas. Pagi itu begitu cerah. Sinar hangat mentari pagi, dipadu dengan angin karena laju motor membuat suasana semakin segar. Sementara itu, motor keluaran tahun tujuh lima semakin kepayahan dengan tanjakan. Dari knalpot, keluar asap yang tak henti-henti mengepul. Suaranya seperti gergaji mesin. Beberapa waktu berselang, perjalanan mereka sudah sampai ke dusun kecil bernama Dusun Gotong, itu berarti kediaman Kiai Ali sudah dekat.

Tiba-tiba ada lemparan batu dari arah samping yang membuat mereka terkejut dan hampir oleng. Pak Karsun memberhentikan motornya. Ia dan Anto turun dari motor, kemudian mengecek bagian motor yang terkena lemparan batu. Pandangan Anto merayap dari berbagai arah, untuk mengetahui sumber lemparan itu.

Mereka berdua dikejutkan oleh seorang kakek tua, berpakaian compang-camping, mengenakan topi dari anyaman bambu yang sudah tak berbentuk. Rambut ikalnya tampak gimbal. Kumis dan jenggotnya begitu tak beraturan. Ada sisa nasi di kumisnya. Orang tua itu membawa beberapa kain lusuh dan beberapa helai daun sawo yang dibuntal dengan sarung bermotif kotak-kotak yang berlubang dan kotor.

Orang itu menghampiri mereka. Anto terperanjat melihat lelaki yang hampir seabad itu. Sementara Pak Karsun menyimpan detak jantung yang berdebar. Ia mencoba untuk bersikap tenang. Anto menunjukkan adanya perasaan takut. Ia pikir laki-laki tua itu orang gila yang sering mengamuk di dusun itu.

Perlahan, Pak Karsun mulai berani untuk bersikap. Ia membentak dan memarahi orang yang ada di depannya. Orang tua itu tertawa terbahak-bahak, tak ambil pusing dengan kemarahan Pak Karsun. Bau keringatnya membuat Anto dan Pak Karsun tak tahan.

Orang tua itu semakin menyebalkan ketika di hadapan mereka meludah dan mengeluarkan dahak yang menjijikkan. Anto tampak sudah tidak tahan melihat tingkah orang tua itu dan ingin segera meninggalkannya.

“Mau ke mana?” tanya laki-laki tua itu. Mereka berdua tidak menjawab dan lekas meninggalkan orang yang mereka anggap gila itu.

Setelah beberapa waktu, mereka berdua tiba di kediaman Kiai Ali. Di sana, mereka mendapati banyak tamu, bahkan tamunya sampai datang dari luar daerah. Menurut orang, Kiai Ali adalah tokoh agama yang disegani oleh masyarakat setempat. Orang yang linuwih dan alim. Memiliki pesantren. Tamunya datang dan pergi.

Anto dan Pak Karsun dikejutkan dengan kehadiran orang tua yang dianggap orang gila yang mereka tinggalkan tadi. Anto seperti tidak percaya apa yang dilihatnya. Demikian dengan Pak Karsun yang terbengong melihat orang tua itu.

Tiba-tiba muncul Kiai Ali. Ia berjalan tergesa-gesa menuju orang tua itu. Ia mencium tangannya. Dia menyambutnya dengan penuh kebahagiaan, penuh kebanggaan. Para tamu dan beberapa santrinya dibuat heran, termasuk Pak Karsun dan Anto. Kiai Ali menggandeng masuk orang tua itu.

Sementara Pak Karsun dan Anto masih di halaman rumah Kiai Ali, tidak berani masuk. Setelah sekian lama, laki-laki tua itu keluar dari kediaman dengan diantar Kiai Ali. Setelah lelaki itu pergi, mereka baru masuk. Setelah masuk, mereka segara bersalaman dan menghadap dengan lelaki sepuh itu.

“Sari itu wanita baik-baik. Jangan termakan omongan orang yang belum tentu benar. Sebelum ada buktinya, kalian jangan menuduh orang sembarangan,” kata Kiai Ali.

Pak Karsun dan Anto dibuat terkejut. Mereka membatin bagaimana Kiai Ali tahu kalau kami hendak membicarakan hal itu. Mereka berdua saling tatap. Anto menelan ludah.

“Kalian telah berdosa, karena telah beranggapan bahwa Sari adalah wanita penghibur. Asal kalian tahu, bahwa anaknya memang hasil dari pernikahan yang sah. Suami Sari meninggal saat ia hamil,” lanjutnya.

“Bagaimana Kiai Ali tahu, jika Sari adalah wanita baik-baik?” tanya Pak Karsun.

“Orang tua yang kamu anggap gila dan kalian usir itu, yang memberi tahu. Tahukah kalian yang kalian usir itu sebenarnya Nabi Khidir yang menjelma sebagai orang gila?!”

Pak Karsun dan Anto kembali menelan ludah dan menyesal seketika. Penyesalan itu, berlangsung selama berhari-hari. Dan, mereka bersyukur telah bertemu dengan Nabi Khidir.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan