Perlihatkan Tuhan Kepadaku!

3,896 kali dibaca

Di zaman dahulu ada seorang lelaki jujur dan tulus. Dia dikaruniai seorang anak lelaki cerdas dan fasih berbicara, dia sangat menikmati dan mensyukuri anugrah ini. Di waktu senggang lelaki itu sering duduk bersama dengan anaknya. Mereka berbincang-bincang seperti dua sahabat karib, sama-sama paham dan nyambung dengan apa yang dibicarakan. Seakan-akan tidak ada perbedaan usia antara ayah dan anak. Perbedaan usia antara keduanya bagai tirai sutra yang fatamorgana. Mereka berdua pintar, namun sama-sama tidak mengerti hakikat wujud dan esensi sesuatu.

Pada suatu hari lelaki itu memandangi anaknya.

Advertisements

“Kamu adalah anugerah Tuhan, anakku! Puji syukur Tuhan!”

Kemudian anaknya bilang, “Ayah sering kali berbicara tentang Tuhan. Perlihatkan Tuhan kepadaku, Ayah!”

“Apa yang kamu bilang, anakku?!” ucap lelaki itu terperangah dan bingung. Ini permintaan aneh yang dia pun tidak tahu bagaimana memenuhinya. Dia diam dan berpikir cukup lama. Kemudian berbicara kembali dengan anaknya.

“Kamu ingin aku memperlihatkan Tuhan kepadamu?”

“Iya, Ayah. Perlihatkan Tuhan kepadaku!”

“Bagaimana mungkin memperlihatkan kepadamu sesuatu yang aku sendiri belum pernah melihatnya?!”

“Kenapa Ayah belum pernah melihat-Nya?”

“Karena belum pernah berpikir untuk melihat-Nya.”

“Bagaimana kalau aku meminta ayah untuk melihat-Nya, kemudian memperlihatkan-Nya kepadaku?”

“Akan aku lakukan, anakku. Akan aku lakukan.”

Lelaki itu berdiri, saat itu juga pergi keliling kota. Dia meminta orang-orang untuk memperlihatkan Tuhan kepada dirinya, mereka justru memakinya. Mereka adalah orang-orang yang melalaikan Tuhan dan lebih mementingkan perkara dunia. Kemudian, lelaki itu mendatangi para pemuka agama dan menyampaikan keinginannya. Mereka justru mendebat dia dengan dalil-dalil dari kitab suci. Merasa tidak mendapat apa-apa dari mereka, dia pergi putus asa. Dia berjalan menyusuri jalanan, bersedih, dan bertanya-tanya pada diri sendiri: “Akankah pulang dengan tangan hampa?” Sampai akhirnya bertemu dengan seorang kakek. Kakek itu berkata padanya, memberinya saran.

“Pergilah ke pinggiran kota! Temui seorang zahid uzur! Doanya selalu dikabulkan oleh Tuhan. Barangkali dia bisa menolongmu.”

Lelaki itu segera menemui sang zahid.

“Aku datang padamu karena sesuatu hal, aku berharap tidak pulang dengan kegagalan…”

Sang zahid mengangkat kepalanya, berkata dengan nada lembut dan serius.

“Sampaikan keinginanmu!”

“Aku ingin engkau memperlihatkan Tuhan kepadaku.”

Sang zahid termenung sambil mengelus-elus jenggotnya yang putih.

“Kamu sadar dengan apa yang kamu katakan?”

“Ya, aku ingin engkau memperlihatkan Tuhan kepadaku.”

Kemudian sang zahid melanjutkan perkataannya dengan nada lembut dan serius.

“Hei! Tuhan tidak bisa dilihat dengan mata kita, juga tidak bisa dirasakan keberadaan-Nya dengan organ perasa di tubuh kita. Apa bisa kamu mengukur kedalaman laut dengan menggunakan jari seperti kamu mengukur kedalaman cangkir?

“Lantas bagaimana agar aku bisa melihat-Nya?”

“Jika Dia hadir di dalam jiwamu.”

“Kapan Dia bisa hadir di dalam jiwaku?”

“Ketika kamu memperoleh cinta-Nya.”

Lelaki itu bersujud dan membentur-benturkan dahi ke tanah. Kemudian meraih tangan sang zahid dan memohon kepadanya.

“Wahai zahid yang saleh, mohonkan pada Tuhan agar memberikan sebagian cinta-Nya kepadaku!”

Sang zahid menarik tangannya.

“Jangan serakah. Minta yang paling sedikit!”

“Kalau begitu aku minta sedirham dari cinta-Nya.”

“Tamak sekali kamu! Itu banyak!”

“Seperempat dirham?”

“Jangan serakah. Jangan serakah.”

“Kalau begitu, sebiji atom dari cinta-Nya.”

“Kamu tidak akan sanggup menerimanya walau pun hanya sebiji atom.”

“Kalau separo biji atom?”

“Barangkali bisa…”

Sang zahid mendongak ke atas, wajahnya menghadap langit, berdoa.

“Tuhan, berilah dia separo biji atom dari cinta-Mu!”

Setelah itu, lelaki itu berdiri dan pergi. Beberapa hari kemudian keluarga, anak, dan beberapa sahabatnya mendatangi sang zahid. Mereka memberitahu sang zahid bahwa dia belum juga kembali sejak kepergiannya tempo hari, dia menghilang, dan tidak ada satu pun yang tahu di mana keberadaanya. Sang zahid gelisah. Kemudian bergegas mencarinya bersama mereka. Di dalam perjalanan bertemu sekelompok penggembala. Sekelompok penggembala itu bercerita kepada mereka bahwa lelaki yang mereka cari tampak gila dan pergi menuju sebuah gunung. Kemudian sekelompok penggembala itu mengantar mereka ke tempat lelaki itu. Akhirnya mereka menemukan dia berdiri di padang pasir sedang memandangi langit. Mereka mengucapkan salam kepadanya, dia tidak menjawab. Sang zahid mendekatinya.

“Ingat aku? Aku yang kamu temui waktu itu.” Lelaki itu sama sekali tidak bergerak. Anaknya menghampirinya dengan perasaan cemas, kemudian bertanya dengan nada pelan dan penuh kasih sayang.

“Ayah tidak mengenaliku?”

Dia masih saja diam. Keluarganya berteriak memanggil-manggil dia, mencoba menyadarkanya. Namun sang zahid menggeleng-gelengkan kepala putus asa seraya bilang pada mereka:

“Percuma berteriak! Bagaimana mungkin orang yang dihatinya terdapat cinta Tuhan seberat separo biji atom, bisa mendengar ucapan manusia?! Demi Tuhan, walau pun kalian memotong-motong tubuhnya dengan gergaji, dia tidak akan tahu.”

Anaknya berteriak, “Ini salahku! Aku yang memintanya untuk melihat Tuhan.”

Sang zahid menoleh ke arahnya dan berkata seakan-akan bicara kepada diri sendiri:

“Kamu lihat? Separo biji atom dari nur Tuhan cukup untuk menghancurkan struktur tubuh manusia dan merusak jaringan saraf otak!”

Multi-Page

Tinggalkan Balasan