Perihal Kebangsaan

1,478 kali dibaca

Di beberapa surat kabar nasional yang besar dan mapan, jauh sebelum ada media online dan media sosial, ada “tradisi” menugaskan dan menempatkan reporter di tempat-tempat yang jauh. Bukan sekadar jauh dalam pengertian geografis, tapi juga jauh dari identitas diri, jauh dari “siapa dirimu”.

Seorang reporter yang baru diterima di sebuah perusahaan pers, misalnya, akan ditugaskan dan ditempatkan di daerah yang jauh, jauh dari tempat kelahirannya. Jika seorang reporter baru tersebut kelahiran Jakarta, Yogyakarta, atau Surabaya, misalnya, ia akan ditugaskan di daerah Bali, atau Lombok (Nusa Tenggara Barat), atau Kupang atau Flores (Nusa Tenggara Timur), atau di pedalaman Papua, atau di daerah Aceh, di Padang atau Bukit Tinggi (Sumatra Barat), atau daerah-daerah di Kalimantan.

Advertisements

Tidak sekali dua kali. Mungkin setelah setahun atau dua tahun atau lebih ditempatkan di suatu daerah, seorang reporter akan ditugaskan dan ditempatkan ke daerah yang lain-lain lagi. Bertukar tempat daerah penugasan liputan dengan reporter-reporter lain, reporter-reporter yang juga terus “diputar” daerah liputannya, yang biasa disebut rolling.

Dengan rotasi daerah liputan, reporter yang terlahir sebagai orang Jawa “diharuskan” tinggal, misalnya, di daerah atau komunitas etnis atau suku lain, sebutlah etnis Madura, Bali, Dayak, Gayo, Nias, Badui, Sika, Samin, dan sebagainya. Dengan rotasi daerah liputan itu pula, para reporter “dipaksa” untuk tinggal bersama-sama dengan komunitas yang tidak seetnis, tidak seagama, tidak seiman. Mereka juga “dipaksa” untuk bisa tinggal bersama dengan orang-orang yang berbeda tradisi dan adat kebiasaannya.

Di beberapa perusahaan surat kabar besar, rotasi atau rolling daerah liputan seperti ini, “haram” ditolak hukumnya. Di dunia jurnalistik (kala itu), menolak penugasan sama artinya dengan mengundurkan diri. Tak hanya daerah liputan, rolling juga sering dilakukan untuk bidang liputan. Misalnya, dari desk politik ke ekonomi, dari desk ekonomi ke kriminal, dari desk kriminal ke sosial-budaya, dan sebagainya. Rolling-rolling seperti ini, termasuk rolling daerah liputan, akan menjadi salah satu syarat bagi reporter untuk “naik pangkat”. Misalnya, dari reporter untuk diangkat menjadi redaktur, redaktur pelaksana, atau bahkan mungkin pemimpin redaksi.

Kenapa rotasi, terutama rolling daerah-daerah liputan seperti ini, dianggap penting dan bahkan menjadi syarat untuk menjadi redaktur? “Konvensi” seperti ini menegaskan satu hal: seorang redaktur, seorang editor, dilarang hidup dalam dan dari tempurungnya sendiri yang sempit itu. Ia harus berwawasan dan berpikiran luas, holistik. Ia harus mengenal banyak sudut pandang. Dan ia harus tetap menjaga sensibility.

Maka, dalam konteks Indonesia, seorang redaktur atau editor harus memiliki wawasan Nusantara. Bingkai (frame) pemikirannya adalah keindonesiaan. Sudut pandangnya (angle) adalah sudut pandang manusia Indonesia. Bukan sudut pandang orang Jawa, orang Madura, orang Bali, orang Aceh, orang Papua, orang Dayak, orang Bugis, dan sebagainya. Juga bukan sudut pandang orang Islam, orang Kristen, orang Katholik, orang Hindu, orang Budha, orang Konghucu, atau orang Sunda Wiwitan.

Bayangkanlah, seorang editor sedang menulis laporan berita tentang peristiwa sensitif yang terjadi pada masyarakat Hindu Bali. Si editor tidak pernah mengenal masyarakat Hindu Bali yang sedang diberitakan, bahkan ke Bali pun belum pernah? Dan, sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang dirinya sebagai orang Minang yang muslim? Sangat mungkin berita yang dihasilkannya akan menyulut masalah baru.

Atau bayangkahlah jika profiling pers nasional tidak berada dalam bingkai kebangsaan, kenusantaraan, keindonesiaan. Maka ia akan menjadi pendorong dan pengobar gerakan-gerakan sparatis, atau gerakan-gerakan yang merongrong kedaulatan dan keutuhan negara, dan juga menjadi penyebar paham-paham dan ideologi bangsa. Tapi sampai hari ini, sekritis apa pun sikap dan kebijakan redaksionalnya, belum ada pers nasional yang menjadi bagian dari gerakan sparatis atau penyebaran paham-paham yang merongrong ideologi bangsa.

Hal tersebut merupakan sedikit ikhtiar dari lembaga pers nasional, bagian kecil dari komponen bangsa Indonesia, dalam menjaga utuh dan ajeknya kebangsaan. Sebenarnya, “pembauran” seperti ini juga telah menjadi tradisi lembaga-lembaga negara, misalnya penempatan atau penugasan di lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau pegawai negeri sipil— yang belakangan “diintervensi” oleh otonomi daerah.

Ada masanya kita memiliki masa-masa indah itu; gairah membentuk dan membangun identitas baru, identitas nasional sebagai bangsa Indonesia, secara bersama-sama, yang mengatasi “identitas-identitas bawaan”, seperti identitas kesukuan, kedaerahan, kebahasaan, dan juga keagamaan. Tidak semua orang tahu untuk apa menjadi Indonesia; orang Jawa menjadi orang Indonesia, orang Bugis menjadi orang Indonesia, orang Sunda menjadi orang Indonesia, orang Minang menjadi orang Indonesia, orang Madura menjadi orang Indonesia, bahkana orang Tionghoa menjadi orang Indonesia, dan lain sebagainya —seperti halnya tidak semua orang Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Konghucu, atau Sunda Wiwitan tahu untuk apa menjadi orang Indonesia.

Bagi masyarakat dunia, bukan hanya kita, entitas negara-bangsa (nation state) memang terbilang sebagai lingkungan hidup yang baru. Ia baru ada di zaman yang disebut modern. Zaman yang tidak lagi memberi tempat pada bentuk-bentuk negara yang didasarkan hanya pada satu kesukuan, satu etnisitas, atau satu “identitas bawaan” belaka. Semua merujuk pada identitas baru, nationality, kebangsaan, yang mengatasi semua “identitas bawaan”. Seperti kita, tak semua warga dunia itu juga tahu untuk apa mereka menjadi warga suatu negara-bangsa.

Banyak teori yang berusaha menjelaskan munculnya negara-bangsa ini, seperti yang dibangun Ernest Renan, Ernest Gellner, Eric John Ernest Hobsbawm, atau Benedict Anderson. Teori terakhir, yang dibangun Anderson, terasa cukup “seksi” sekaligus “rapuh” jika benar adanya. Sebab, sebuah negara-bangsa sejatinya adalah sebuah “komunitas yang terbayang”, imagined communities.

Seperti itulah negara-bangsa Indonesia jika kita melihatnya dari teori Anderson; Indonesia adalah sebuah komunitas yang kita bayangkan sebagai Indonesia. Orang tak harus saling mengenal untuk menyandang identitas baru yang sama: orang Indonesia. Karena itu identitas baru ini sekaligus “rapuh”. Itulah yang terjadi hari-hari ini ketika masih banyak dari kita mendesak-desakkan “identitas bawaan” atau bahwa “identitas pinjaman”, atau kesulitan membangun relasi antara identitas-identitas itu dengan nasionalitas, dengan identitas kebangsaan.

Hal itu bisa terjadi lantaran seringkali frame kita, sudut pandang kita, bukan sudut pandang sebagai orang Indonesia —seperti yang digambarkan di awal tulisan ini. Sesungguhnya Gus Dur pernah memberikan contoh amat sederhana perihal kebangsaan kita ini. Ia ibaratkan negara-bangsa Indonesia ini sebagai rumah besar, sangat besar, yang di dalamnya terdiri dari banyak kamar. Kamar-kamar itu diumpakan sebagai kamar agama-agama dan kepercayaan berserta “identitas bawaan” lainnya. Ada nilai-nilai dan aturan-aturan khusus yang hanya berlaku di tiap kamar, dan itu bisa disebut sebagai ranah privat. Ada nilai-nilai dan aturan-aturan yang berlaku di luar kamar-kamar itu dan harus ditaati oleh seluruh penghuni rumah, dan itu bisa disebut sebagai ruang publik. Keduanya tak perlu saling dipertentangkan. Ketika berada di ruang publik, maka yang berlaku adalah nilai-nilai dan aturan-aturan ruang publik. Tidak bisa mendesakkan nilai-nilai dan aturan-aturan khusus di tiap kamar berlaku di ruang publik— kecuali atas kesepakatan bersama seluruh penghuni rumah besar itu.

Dari apa yang dicontohkan Gus Dur itu, maka memang sudah seharusnya seluruh institusi publik dan orang-orang yang berada di dalamnya haruslah orang Indonesia dalam pengertian yang sebenarnya. Sudut pandangnya adalah Indonesia. Wawasan kebangsaannya adalah Indonesia. Tak ada yang lain. Sebab, akan sangat membahayakan keutuhan dan keajekan negara-bangsa Indonesia jika yang terjadi justru sebaliknya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan