Perempuan dan Belenggu Tradisi

622 kali dibaca

Wacana tentang perempuan tentu sudah tidak asing lagi. Seringkali menjadi topik utama yang banyak menyita waktu. Bahasan perempuan seringkali diidentikkan dengan penindasan, kekerasan, kekangan, ataupun jeratan.

Tidak dapat dimungkiri, posisi perempuan di tengah-tengah masyarakat memang seringkali diposisikan lebih rendah daripada laki-laki. Rumusan hidupnya sudah diatur oleh konstruksi sosial, seakan-akan perempuan hanyalah manusia pelengkap saja, tidak bisa menentukan arah hidup dan tidak setara dengan laki-laki dalam aspek apapun.

Advertisements

Sisi lain, jika ditelisik lebih jauh, sebenarnya kapasitas perempuan tidak berbeda jauh dengan laki-laki. Misalnya, dalam intelektualitas maupun peran sosial di masyarakat. Masalahnya, peran perempuan sejak dulu jejaknya belum terekam dengan baik.

Hal tersebut diungkapkan oleh KH Hussein Muhamaad dalam buku Perempuan Ulama di Panggung Sejarah. Sehingga yang banyak muncul dalam wacana publik hanyalah superioritas peran laki-laki. Sebaliknya, dalam hal ini peran perempuan hanya sedikit dibahas.

Namun seiring perkembangan zaman, muncullah suatu diskursus sebagai sebuah respons atas hal itu. Diskursus tersebut kemudian disebut sebagai wacana kesetaraan gender yang banyak menyoal tentang ketimpangan sosial perempuan. Sejak saat itu anggapan-anggapan lama tentang perempuan yang bertentangan dengan realitas direkonstruksi dengan tujuan terciptanya kehidupan sosial yang tidak bias gender.

Hari ini berbagai aspek sosial yang mencakup pendidikan, politik, hukum, ekonomi, agama, maupun budaya sudah terbuka secara luas untuk khalayak perempuan. Seperti yang telah terjadi, sudah ada perempuan yang sampai menjadi top leader (kepala negara), menduduki jabatan yang semula hanya diprioritaskan bagi laki-laki. Perempuan yang menduduki jabatan tinggi itu seperti Cory Aquino (Presiden Filipina 1986-1992), Megawati (Presiden Indonesia 2001-2004), Michelle Bachelet (Presiden Chilesejak 2014), Roza Otunbayeva (Presiden Kirgistan sejak 2010), dan masih banyak lagi.

Karena itu, KH Hussein mewacanakan sebuah konsepsi tentang ulama perempuan yang dianggap memiliki potensi intelektual yang sama, bahkan sebagian ada yang mengungguli laki-laki. KH Husein mengungkapkan bahwa jumlah ulama perempuan yang lebih sedikit dari ulama laki-laki bukanlah sesuatu yang esensial. Satu atau dua orang perempuan sebenarnya sudah cukup untuk membuktikan bahwa perempuan memiliki potensi dan kualitas intelektual dan moral yang tidak selalu lebih rendah atau lemah dari kaum laki-laki.

Ulama perempuan di atas panggung sejarah yang terekam jejaknya, untuk menyebut beberapa contoh, adalah Sayyidah Khadijah binti Khuwailid, Asma binti Abu Bakar, Sayyidah Aisyah binti Abu Bakar, Rabi’ah al-Adawiyah al-Bashriyyah, Nyai Khairiyah Hasyim Asy’ari, dan masih banyak lagi yang lain.

Akan tetapi, meskipun perempuan telah dinilai baik di hadapan publik, namun masih ada sebagian yang belum merasakan kebebasan dan kesetaraan seperti yang dinikmati laki-laki. Sekali waktu kadang perempuan masih menanggung beban derita karena berbagai faktor.

Masalah utamanya terletak pada kita, masyarakat, budaya, tradisi, politik, instrumen-instrumen hukum, pandangan keagamaan, dan kebijakan lain dalam memberi ruang dan akses yang sama untuk laki-laki dan perempuan.

Faktor yang sangat berpengaruh adalah kondisi sosial budaya yang secara turun-temurun selalu berpihak pada kaum laki-laki (patriarkis/superior) dan menempatkan perempuan di posisi yang rendah (subordinasi/inferior). Hal itu sering terjadi dalam kenyataan hidup perempuan desa, tidak sedikit dari mereka yang harus merelakan cita-cita demi mengikuti aturan-aturan yang ada dalam kehidupan masyarakat.

Clifford Geertz mengartikan budaya adalah pola pemaknaan yang terwujud dalam bentuk-bentuk simbolis yang ditransmisikan secara historis yang melaluinya orang berkomunikasi, mengabadikan, dan mengembangkan pengetahuannya tentang sikap terhadap hidup. Faktor yang menyebabkan tidak lain karena lingkungan secara turun temurun mempertahankan budaya yang semena-mena kepada perempuan. Sampai-sampai perempuan tidak dapat menjadi dirinya sendiri.

Budaya yang masih mengakar dalam contohnya perjodohan yang masih saja terjadi di pedesaan. Alih-alih masyarakat desa akan menjodohkan anaknya agar harta mereka terus turun sampai anak cucunya kelak. Mereka condong menjodohkan anak perempuannya dengan laki-laki yang berasal dari keluarga kaya agar anak perempuan mereka hidup dengan nyaman di masa depan.

Secara tidak langsung, perempuan di sini dipaksa untuk menuruti semua aturan yang dibuat oleh logika laki-laki. Soal perjodohan ini, bahkan ada perjodohan yang sudah dilakukan waktu mereka baru dilahirkan. Jadi semacam perjanjian lama yang harus ditepati, setelah mereka berdua sama sama dirasa cukup umur maka wajib untuk menikah.

Perjodohan pada satu sisi sama halnya dengan kata pemaksaan. Dalam konteks yang lain, perjodohan disamakan dengan perkawinan, maka tidak salah apabila secara istilah, perjodohan sering dimaknai suatu perkawinan yang diatur oleh orang tua, kerabat dekat, atau orang lain yang dimintai pertimbangan, untuk berpasangan dengan orang pilihan yang juga sudah ditentu.

Dampak dari perjodohan itu mematahkan mimpi-mimpi perempuan yang masih belum selesai dicapainya. Perjodohan dikatakan pemaksaan yang tidak menutup kemungkinan rawan penceraian karena tidak menemukan kecocokan dalam hidup berdampingan.

Lantas dalam permasalahan seperti ini, perempuan kembali dirugikan karena akan dinilai buruk oleh masyarakat sebab dianggap telah gagal mempertahankan rumah tangganya. Namun, di sisi lain, ketika perempuan menolak perjodohan akan dilabeli perawan tua dan tidak patuh pada perintah orang tua karena masih sibuk mengejar cita-citanya dan belum menikah di usia yang terbilang cukup matang di mata masyarakat.

Perempuan seolah-olah selalu dijadikan objek di masyarakat yang harus menuruti semua tradisi atau aturan yang sudah melekat. Namun, kembali lagi pada pemikiran orang masing-masing. Jika kita sama sama melihat zaman sekarang yang sudah terbilang banyak peluang untuk perempuan di berbagai bidang, maka perempuan seharusnya memanfaatkannya dengan baik.

Adanya jeratan atau belenggu tradisi ini disebabkan karena minimnya pendidikan di pedalaman sehingga pemikiran “untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi” masih terlabelkan meskipun tidak semuanya orang desa seperti itu. Memang terkesan sulit untuk menentang adanya budaya tersebut. Namun ketika perempuan selalu lemah di hadapan aturan masyarakat yang membuat gagal karier perempuan, tradisi itu akan terus menerus menjerat.

Sepertinya sudah menjadi tugas kita semua sebagai perempuan untuk mengubah pola pikir yang masih tertinggal untuk sama-sama berpikir ke depan sesuai realitas masa kini untuk mencapai keadilan. Tidak menutup kemungkinan, laki-laki juga harus memiliki kesadaran yang sama dalam memosisikan perempuan.

Gerakan perempuan untuk mendapatkan keadilan dan menuntut hak-haknya, sama sekali tidak ada kaitannya untuk melebihi derajat laki-laki. Sebagaimana dalam agama Islam, laki-laki tetaplah imam dan perempuan tetaplah makmum. Keadilan merupakan kebajikan tertinggi. Apabila dalam kehidupan kita hari ini masih belum sadar melihat perempuan memiliki potensi mengubah dunia, dan ketika kita terus mengabaikan fakta perempuan juga bisa seperti laki-laki, baik secara intelektual maupun spiritual, maka sebenarnya kita sedang melakukan ketidakadilan.

Dalam kamus antropologi, tradisi disamakan dengan adat istiadat. Yang bersifat magis religius dari kehidupan penduduk asli yang meliputi nilai-nilai budaya, norma-norma, hukum, dan aturan-aturam yang saling berkaitan. Kemudian mengakar menjadi peraturan-peraturan yang sudah menyatu dalam konsep sistem budaya, lalu mengatur tindakan manusia dalam kehidupan sosial.

Fenomena perjodohan tidak hanya terjadi pada kalangan perempuan desa, namun dapat kita jumpai juga dalam keluarga keturunan Arab maupun Pakistan. Meskipun mereka hidup di Indonesia, tradisi perjodohan tersebut masih tetap ada. Ketika perempuan Arab menikah dengan laki-laki beda ras, ia akan dijauhi oleh keluarganya karena dianggap tidak dapat melakukan pelestarian keturunan. Fakta tersebut menunjukkan adanya budaya patriarki dengan penerapan sistem patrilineal dalam perjodohan.

Feminisme hadir untuk menyelamatkan perempuan dari penindasan, kekerasan, dan belenggu yang mengekang perempuan seperti budak. Dalam catatan sejarah, kaum feminis muslim bersepakat untuk merekontruksi ajaran-ajaran agama yang ditafsirkan dengan nada misoginis (yang menunjukkan kebencian terhadap perempuan) untuk mengkaji lagi perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang telah dikukuhkan secara berabad-abad.

Yang sebenarnya, perempuan telah dimuliakan sejak zaman Rasulullah, seiring perkembangan zaman telah berubah kembali ke zaman jahiliyah sehingga muncullah tokoh-tokoh feminis yang kembali berusaha mengembalikan kesadaran moral masyarakat.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan