PEREMPUAN BERWAJAH API

5,043 kali dibaca

PEREMPUAN BERWAJAH API

Siapa peduli dari mana kau datang. Tapi bertahun-tahun kemudian, wajah itu yang selalu membayang.

Advertisements

Hari itu, begitu lekas mendung mengurung pantai selatan. Seperti hendak memuntahkan air hujan. Pada haus laut air tak bergaram.

Seperti desir angin menyisir pasir, aku menulis sajak tentang debur ombak dan risik daun yang kian berjarak. Tentang kepak sayap burung, lindap di balik mendung. Dan desir angin terus menyisir, mengusir sajak-sajakku dari atas pasir.

Siapa peduli dari mana aku datang. Lelaki yang tak lagi bersajak. Lelaki yang hilang jejak. Dan selangkah lagi labirin waktu menelan telak.

Lihatlah, di bawah gerimis tangannya terus menadah seperti pengemis hilang arah. Mengharap kata tercurah dari langit, menjadi mantra pengusir dedemit.

Dari selatan, dari selatan, gelegar ombak jadi lagu kematian. Dan ketika aku berpaling, berderet wajah-wajah asing. Aku pangling.

Itulah masa ketika hanya menyisa asa.

Dan siapa peduli dari mana kau datang, ketika kakiku seperti mengambang menyusur kali tak bercabang. Dan waktu pun rembang.

Gerimis masih menitik bagai lirik lagu kuda meringkik. Kau melaju seperti menyibak kelambu waktu. Pohon-pohon, ranting-ranting, daun-daun, diam menyambut malam. Liar bola matamu menyapu semak belukar —adakah rindu tersimpan di jejaring akar.

Dan kau seperti menemukan jejakku di akar-akar waktu yang beku. Seperti sudah berabad-abad. Berabad-abad tak kautemukan dalam babad.

Pada gemericik air kali kita berbagi. Betapa telah berabad-abad tak kautemukan sebuah abjad. Betapa di akar-akar waktu aku tersembunyi darimu.

Tatap wajahku, kau meratap dan menyeru.

Oh, seraut wajah yang terbuat dari entah. Hanya merah. Seperti bara api di tungku-tungku abadi.

Tatap wajahku, kau meratap dan menyeru.

Aku menatapmu, dan labirin waktu menyeretku. Seperti mengembara ke belantara aksara. Menyelam jauh ke lautan masa silam. Di sana kutemukan beribu-ribu abjad dari berbagai abad. Dari beribu-ribu babad.

Api di wajahmu, aku tahu, lahir dari sajak-sajakku yang dimakan waktu.

AKU DAN WAKTU

Aku:

Aku memang terlahir dari rahimmu. Tapi akhirnya aku tahu, tak selalu kita menjadi sekutu. Tak selamanya kau sebagai ibu. Entah siapa yang memulai tak bersetia. Entah siapa yang lebih dulu tak punya rindu. Hingga kita, masing-masing, menjadi asing.

Waktu:

Kau memang terlahir dari rahimku. Tapi ketika kemudian aku menjadi jalan yang bercecabang, kau selalu berdiri bimbang. Kau ingin melintas semua batas. Kau ingin lalu pada semua pintu. Akhirnya kau tak pernah tahu bahwa ketika menjadi jalan bercecabang, aku adalah sebuah labirin, yang membuat setiap ruang berpilin. Hingga kau merasa menjadi terasing.

Aku:

Aku memang terlahir dari rahimmu. Tapi siapa sebenarnya kau, kini? Dulu kau seperti seorang ibu, yang selalu membuaiku dalam timangan ninabobo. Kau selalu memberiku bulan yang dikitari bintang-bintang ketika aku terlepas dari pelukan senja dan berlarian mengelilingi malam. Di sana kadang aku bertemu mimpi, kadang terantuk janji. Ketika aku terjatuh, kau datang memeluk dan membujuk: esok masih ada matahari.

Waktu:

Kau memang terlahir dari rahimku, karena itu pada mulanya kau menganggapku sebagai seorang ibu. Tapi sesungguhnya kau juga tak pernah benar-benar tahu apa arti seorang ibu. Kau memerlukan kehadirannya hanya di masa kanak-kanakmu. Begitu juga denganku. Kau sendiri yang pada akhirnya memilih: siapa yang menjadi sekutu, siapa yang menjadi seteru. Karena itu, kini, aku adalah segala yang asing bagi dirimu.

BAJO

Kekasih, kau masih ingat aku pernah bercerita tentang Penida, pulau yang menyimpan sensasinya sendiri? Seperti di Penida, sayang kau tak turut serta ketika aku mengunjungi Bajo, tempat yang bisa membuat kita serasa terus bermimpi. Kepadaku kau pernah bertanya: mana yang lebih menarik, laut atau gunung? Dan aku memilih keduanya. Bajo, Kekasih, adalah laut dan gunung.

Seperti tentang Penida, surat ini juga kutulis ketika pagi menjadi sepi, ketika para nelayan telah berlayar ke laut impian. Bajo, begitulah orang-orang menyebutnya. Ia adalah sebuah pelabuhan, dan dari sanalah kehidupan di sini dimulai, bermula. Bermula berabad-abad lampau, ketika orang-orang yang berumah di atas air, orang-orang Bajo, singgah, meneduhkan gairah. Laut, Kekasih, bagi mereka adalah hidup senyatanya, hidup yang sebenarnya. Karena itu, setiap daratan yang dijumpainya hanya akan dijadikan pelabuhan. Sebuah tempat di mana barang sejenak orang bisa singgah, berlabuh, untuk kemudian kembali mengambang di atas gelombang. Dan kepada angin mereka berpasrah haluan. Kepada angin mereka sampirkan harapan.

Ketika berdiri di salah satu punuk gunungnya, Kekasih, kau tak akan pernah berhenti takjub. Laut yang meluas itu, laut yang dikitari gunung yang melengkung itu, akan terlihat begitu tenang, begitu dalam. Bila dari angkasa dengan mengendarai burung nasar Penida terlihat seperti kukusan, Bajo akan tampak bagai danau raksasa. Air lautnya tak berombak, tak beriak, tak bergerak. Ia begitu tenang, menyimpan kedalamannya sendiri, menyimpan rahasianya sendiri. Lihatlah, ketika di bawah terik ia begitu biru. Tapi saat matahari rebah di pangkuan Pulau Bidadari, di bawah senja air laut itu berubah menjadi hamparan permadani jingga. Ia begitu teduh, dan kita akan luruh. Dari punuk gunungnya itu, Kekasih, sejauh mata memandang kau juga akan melihat begitu banyak pulau menggunung-gunung tersebar, memencar, lalu kukuh berdiam di tengah lautan, berbarisan. Di bawah senja mereka menjadi siluet berderet-deret. Dari sebuah titik mereka kadang terlihat berjajar berurutan seperti gapura berlapis-lapis, menjadi pintu bagi mereka yang datang atau pergi.

Bayangkanlah, Kekasih, berabad-abad lampau mereka, orang-orang yang berumah di atas air itu, entah berapa lama mengambang di atas gelombang, dengan perahunya merambati gapura-gapura itu, menyisiri hamparan pulau-pulau itu. Mereka terus mengarungi gelombang, mencari kehidupan. Mereka terus berlayar, membangun kehidupan baru. Kemudian di sini mereka menemukan kesunyiannya. Karena hidup adalah, juga, kesunyian, maka mereka pun mematok batas di sini dan menyebutnya: Bajo —tempat yang begitu sunyi, begitu tenang, begitu teduh, namun di balik punggungnya menyimpan gelombang yang menantang-nantang. Begitulah, konon, kehidupan di sini dimulai, bermula.

Riuhnya sebuah kota, Kekasih, seringkali berawal dari kesunyian. Begitu pula dengan Bajo. Ia kini tak lagi sunyi. Ia telah berdandan. Ia telah berdendang. Orang ramai berkerumum. Bajo menjadi riuh, juga hiruk. Semakin banyak orang datang dan pergi, tapi tak lagi dengan perahu-perahu yang dulu, berabad-abad lampau, merambati barisan gapura-gapura itu, menyisiri hamparan pulau-pulau itu. Mereka datang dari negeri-negeri yang jauh. Mereka datang dan pergi melewati jalan lain, melintasi gapura-gapura yang berbeda.

Kini, Kekasih, Bajo adalah sebuah keriuhan. Air lautnya memang masih tak berombak, masih tak beriak, masih tak bergerak. Juga masih begitu biru. Juga masih seperti hamparan permadani jingga di bawah senja. Tapi kesunyiannya telah lama pergi, menepi. Juga mereka yang berumah di atas air, mengalir ke pinggir, menepi mencari sunyi. Sunyi yang lain. Dari sunyi ke sunyi, Kekasih, mereka mencari arti, melintasi arus gelombang yang menantang-nantang.

Kini, di sini, Kekasih, aku menemukan tilasnya, pelabuhannya. Sayang kau tak turut serta menyaksikan sebuah tilas yang banyak bercerita, bahwa betapa semua bermula dari yang sunyi, dari yang sendiri.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan